Kilas

Meski Nilai Rupiah Melemah, Perekonomian Semarang Tetap Stabil

Kompas.com - 18/09/2018, 19:39 WIB


SEMARANG, KOMPAS.com
– Perang dagang Amerika dan China telah memicu pelambatan ekonomi global. Dampaknya nilai mata uang di beberapa negara berkembang pun ikut turun, termasuk Indonesia.

Kondisi ini jelas mengancam pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah termasuk Kota Semarang. Apalagi angka ketimpangan masyarakat di Kota Lumpia ini pernah menjadi yang terbesar saat terjadi krisis ekonomi global pada 2008-2009.

Ketika itu, angka ketimpangan antara masyarakat miskin dan kaya di Kota Semarang naik tajam dari 0,26 poin pada 2008 menjadi 0,37 poin pada 2009.

Angka tersebut menjadi yang terbesar di Provinsi Jawa Tengah. Bandingkan dengan Kota Solo yang hanya 0,27, Salatiga 0,29 dan Kendal 0,22.

Namun, sejak tahun 2012 atau tepatnya pada era kepemimpinan Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi dimulai kondisi itu berubah.

Hendi, panggilan akrab Wali Kota Semarang, melakukan reformasi struktural dengan berbagai kebijakan ekonomi kerakyatan.

Salah satunya, melakukan upaya reformasi struktur konsentrasi ekonomi Kota Semarang yang semula dominan di sektor Industri menjadi lebih berkonsentasi pada sektor Perdagangan dan Jasa.

Kebijakan menghentikan penambahan kawasan industri di Kota Semarang hingga pengembangan pariwisata pun dilakukannya.

Alhasil saat perlambatan ekonomi global kembali terjadi pada 2015, Kota Semarang mampu menahan ketimpangan masyarakat lebih rendah dari sebelumnya di angka 0,31. Capaian ini di bawah Solo dengan 0,36, Salatiga 0,35 dan Kendal 0,34.

Catatan ketimpangan masyarakat miskin dan kaya di Kota Semarang pada tahun 2015 tersebut bahkan menjadi salah satu yang terendah pada Provinsi Jawa Tengah.

(BACA JUGAMeski Ekonomi Global Melambat, Ketimpangan Di Semarang Malah Turun)

Tak hanya di tingkat Provinsi Jawa Tengah, catatan Gini Rasio (ketimpangan) Kota Semarang pada 2015 lebih baik dari kota-kota besar di Indonesia.

Misalnya Kota Surabaya yang melompat jauh ketimpangan masyarakatnya di angka 0,42, Kota Denpasar yang naik di angka 0,35, Bandung yang ketimpangannya semakin parah di angka 0,44.

Tak cuma angka ketimpangan yang trennya positif, penurunan angka kemiskinan di Kota Semarang sejak Hendi menjabat Wali Kota juga terlihat.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) angka kemiskinan di Kota Semarang menurun dari 5,25 persen pada 2013 menjadi 4,62 persen pada 2017.

Bahkan indeks keparahan kemiskinan di Kota Semarang tercatat sangat kecil yaitu hanya 0,12 persen. Indeks ini menggambarkan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin dan kaya semakin kecil.

Adapun untuk tahun 2018, kondisi ekonomi kota tersebut juga stabil. Hendi mengatakan hal ini terlihat dari nilai inflasi pada Bulan Ramadhan tahun ini.

“Pertama kali dalam sejarah bahwa pada saat Bulan Ramadhan lalu, inflasi di Kota Semarang justru turun. Harga-harga juga stabil, ini membuktikan bagaimana kokoh dan kuatnya ekonomi kami saat ini,” ujar Hendi seperti tertulis dalam keterangan resmi yang Kompas.com terima, Selasa (18/9/2018).

Apa yang disebutkan Hendi merujuk pada data BPS. Berdasarkan catatan lembaga itu inflasi Kota Semarang saat Ramadhan tahun ini pada bulan Mei 2018 ada pada angka - (minus) 0,09 persen.

(BACA JUGA: Sudah Sepekan Naik, Harga Komoditas Stabil pada Hari Pertama Ramadhan)

Padahal, dua tahun sebelumnya saat Ramadhan berlangsung di bulan Juni 2016, inflasi Kota Semarang tercatat amat tinggi pada angka 1,05 persen. Kemudian pada 2017 di periode yang sama menurun menjadi 0,37 persen.

Dengan nilai inflasi di bawah 0 persen itulah tren harga-harga komoditas di Kota Semarang untuk pertama kalinya dalam sejarah dapat mengalami penurunan positif.

“Kita bicaranya data saja, kalau dikatakan ada orang yang punya usaha lalu gagal, atau bahkan juga ada masyarakat miskin yang masih susah hidupnya ya pasti ada, “ ucap Hendi.

Hendi menambahkan, angka kemiskinan sebesar 4,6 persen bukan jumlah yang sedikit. Namun, kalau bicara semakin banyak warga Kota Semarng yang bertambah miskin tunggu dulu. Ini karena data BPS tidak menunjukkan seperti itu dan optimisme harus terus di bangun.

“Insya Allah kekhawatiran tentang adanya gejolak ekonomi di Indonesia, khususnya Kota Semarang dalam kondisi perlambatan ekonomi global ini tidak akan terjadi,” tutur Wali Kota Semarang yang juga politikus PDI Perjuangan ini.

Sebab, lanjut dia, seperti yang sudah dibahas dalam G-20, bahwa tren kenaikan nilai tukar Rupiah karena Bank Sentral Amerika menaikkan suku bunga. Sedangkan itu. di sisi lain kondisi ekonomi domestik masih kuat dan kokoh.

Baca tentang
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com