Kilas

Kementan Ungkap Teknologi untuk Sulap Rawa Jadi Lahan Pertanian

Kompas.com - 13/10/2018, 19:05 WIB

KOMPAS.com – Kementerian Pertanian (Kementan) serius mengembangkan lahan rawa sebagai areal tanam baru. Dengan jumlah luas potensial lahan rawa untuk pertanian yang mencapai mencapai 9,53 juta hektare (ha), Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman optimis pengembangan lahan rawa menjadi jawaban untuk ketahanan pangan.

Pengembangan lahan rawa bahkan menjadi tema sentral pada peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) ke 38 di Kalimantan Selatan pada 18-21 Oktober 2018. Akan ada 4.000 ha lahan rawa yang dikembangkan di Kalsel, 750.000 di antaranya sudah diolah lahan dan ditanami. Bahkan direncanakan siap dipanen langsung oleh Presiden Joko Widodo.

Kepala Balai Penelitian Lahan Rawa (Balittra) Hendri Sosiawan menyatakan, saat ini lahan sawah irigasi hanya seluas 8,1 juta ha. Masih perlu pengembangan areal tanam baru seperti lahan kering 144,5 juta ha, rawa lebak 25.2 juta ha, dan lahan pasang surut 8.9 juta ha. Namun, tidak semua lahan itu cocok untuk dikembangkan untuk pertanian.

"Lahan rawa di Indonesia punya karakteristik ekosistem secara alami bersifat rapuh. Hal ini disebabkan berbagai cekaman abiotik seperti keracunan zat besi, kadar asam yang rendah, rendaman, salin serta rentan terhadap serangan penyakit blast," jelas Hendri dalam rilis yang diterima Kompas.com, Jumat (12/10/2018).

Dia menambahkan, penanganan lahan rawa yang belum tersentuh teknologi tidak mudah. Butuh kesabaran dan kecermatan dalam pengelolaannya. Karena itu, Hendri mengatakan, untuk mengoptimalkan lahan rawa perlu teknologi pengelolaan lahan yang tepat dan terpadu serta penggunaan varietas padi yang adaptif di lingkungan rawa.

Hingga tahun 2017, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan), mendukung pengembangan pertanian di lahan rawa dengan mempersiapkan aneka inovasi termasuk dengan menghasilkan sejumlah varietas unggul padi yang adaptif di lahan pasang surut dan rawa lebak. Sebanyak 35 varietas padi unggul adaptif lahan pasang surut dan lebak dengan berbagai sifat keunggulan.

Kepala Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) Priatna Sasmita menjelaskan, varietas-varietas tersebut dirakit untuk mengatasi permasalahan utama di lahan rawa.

"Pada Gelar Inovasi Teknologi (Geltek) yang menjadi rangkaian HPS, Balitbangtan ingin menunjukkan kepada petani dan masyarakat luas bahwa varietas unggul padi rawa punya potensi untuk dikembangkan dan bahkan bisa ditiru di ekosistem lahan rawa di Provinsi lain," jelas Priatna.

Peneliti BPTP Balitbangtan Kalsel Rina Dirgahayu menjelaskan, saat ini demonstration farming (demfarm) padi rawa seluas 60 ha di Geltek HPS menampilkan 4 (empat) varietas inbrida padi rawa (Inpara) yaitu Inpara 2, Inpara 3, Inpara 8 dan Inpara 9. Sedangkan untuk padi sawah irigasi/tadah hujan yang juga ditanam varietas Inpari 32, Inpari 40 dan Inpari 42 Agritan.

“Kondisi tanaman antar varietas saat ini bervariasi, ada yang sedang berbunga hingga fase pengisian biji. Performa tanaman sangat bagus sehingga menjadi daya tarik petani setempat,” jelas Rina.

Sementara itu, pemulia di BB Padi Indrastuti A Rumanti mengatakan, sejauh ini BB Padi bersama dengan peneliti BPTP Balitbangtan Kalsel menyiasati kondisi lahan yang kompleks ini dengan sejumlah modifikasi.

Hal tersebut dilakukan dengan penggunaan mikroba (Agrimeth) untuk meningkatkan vigor benih, ameliorant (kapur pertanian) untuk meningkatkan pH tanah, biotara (bahan organik khusus untuk rawa), dan penerapan sistem tanam jajar legowo 2:1 untuk meningkatkan populasi.

Biosilika juga digunakan untuk meningkatkan ketahanan varietas terhadap serangan hama/penyakit, penanaman refugia untuk meningkatkan musuh alami, _trap barrier system_ (TBS), pengomposan dan umpan racun untuk pengendalian tikus.

Penggunaan insektisida dan fungisida selektif untuk pengendalian hama/penyakit, penerapan tata air mikro menggunakan sistem aliran satu arah untuk mencuci racun mineral, dan pemupukan menggunakan _PUTR modified_ berupa penambahan kalium yang sangat diperlukan di lahan rawa.

“Beberapa kendala yang terakhir tejadi antara lain kekeringan dan pH rendah yang berpengaruh pada keluarnya malai. Namun semua itu bisa diatasi dengan meningkatkan kandungan pH air yang dimasukkan ke petak pertanaman," tambah Indras.

Pengelolaan pertanaman yang optimal dan pemberian treatment-treatment modifikasi telah berhasil mengatasi cekaman-cekaman yang terjadi. Saat ini Inpara 2, Inpari 32, Inpari 40 dan Inpari 42 sudah berumur 90-95 hari HSS (Hari Setelah Semai) dan mulai memasuki fase pengisian, sedangkan Inpara 3, Inpara 8 dan Inpara 9 Agritan masih memasuki fase pembungaan.

Untuk itu pemeliharaan pertanaman saat ini terus dilakukan untuk memastikan bahwa denfarm ini aman dari berbagai cekaman yang kompleks dan bisa panen dengan hasil yang memuaskan.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau