Advertorial

WCCE Dan Kreativitas Tanpa Batas

Kompas.com - 21/10/2018, 22:42 WIB

“Saya meyakini, masa depan Indonesia akan ada di industri kerajinan atau industri kreatif. Ini saya yakini.”
                —Presiden Joko Widodo, 2017

Setiap zaman hadir dengan karakteristik dan tantangan masing-masing. Kemajuan teknologi yang amat pesat beberapa tahun belakangan ini membawa banyak perubahan di berbagai bidang kehidupan, tak terkecuali di bidang industri. Kemunculan superkomputer, robot pintar, sistem navigasi berbasis internet, kendaraan tanpa awak, serta rekayasa genetika untuk menciptakan produk panen unggulan adalah beberapa wujud penerapannya.

Inilah yang disebut sebagai era revolusi industri keempat oleh Klaus Schwab, ekonom ternama asal Jerman yang merupakan pendiri serta ketua eksekutif di World Economic Forum, dalam bukunya The Fourth Industrial Revolution. Revolusi industri keempat atau biasa disebut revolusi industri 4.0 ditandai dengan semakin samarnya batas antara dunia digital, fisik, dan biologis.

Sebagai hasilnya, perlahan tapi pasti, kegiatan industri konvensional mengalami transformasi menjadi industri digital. Salah satu lini industri yang menanggapi kemajuan di bidang teknologi ini dengan sangat baik adalah sektor industri kreatif. Pesatnya perkembangan teknologi kian menyuburkan pertumbuhan industri kreatif yang berakibat pula pada meningkatnya pendapatan dari sektor-sektor kreatif.

Berdasarkan riset, 11 sektor industri kreatif (yaitu terdiri atas televisi, seni visual, koran & majalah, periklanan, arsitektur, buku, seni pertunjukan, gaming, film, musik, dan radio) berhasil mencetak pendapatan setidaknya 2.250 miliar USD dan telah mempekerjakan 29,5 juta orang di seluruh dunia (Ernst & Young, 2015). Angka ini setara dengan 3% PDB (Produk Domestik Bruto) dunia dan 1% dari populasi aktif dunia.

Menurut lembaga United Nation Conference on Trade and Development (UNCTAD), badan PBB yang menangani isu perdagangan, investasi, dan pembangunan, perkembangan di bidang produksi barang kreatif dan jasa telah meningkat 134% dalam rentang tahun 2003 hingga 2011. Pada 2012, industri hiburan saja berhasil menyumbang 2,2 triliun USD bagi ekonomi dunia atau setara dengan 230% ekspor minyak dari negara-negara OPEC pada tahun yang sama!

Eksklusif Jadi Inklusif

Untuk menyongsong kehadiran era revolusi industri keempat dan perkembangan ekonomi kreatif inilah, Indonesia melalui Bekraf berinisiatif menggelar World Conference on Creative Economy (WCCE) pada 6-8 November 2018 di Nusa Dua, Bali. Ini adalah forum mengenai ekonomi kreatif yang pertama kalinya diadakan di dunia. Konferensi bertema “Inclusively Creative” ini akan dihadiri oleh perwakilan dari 52 negara untuk berdiskusi, berbagi inspirasi, serta saling bertukar kiat menghadapi tantangan.

“Jadi WCCE berangkat dari kesadaran semua negara bahwa saat ini, ekonomi digital memunculkan era baru dalam berbisnis, terutama dalam bisnis kreatif. Dari yang sifatnya eksklusif menjadi inklusif. Jika sebelumnya hanya bisa dilakukan oleh kalangan tertentu yang punya modal besar, kini semua orang bisa menjalankan usaha dengan modal kreativitas. Itulah asal muasal tema Inclusively Creative yang menjadi sorotan dalam WCCE kali ini,” jelas Endah Wahyu Sulistianti, Deputi Hubungan Antar Lembaga dan Wilayah, Bekraf.

Keberadaan internet memang punya andil besar pada pergeseran karakteristik berbisnis, dari eksklusif menjadi inklusif. Salah satu bukti yang mudah diamati adalah kian banyaknya pengusaha kecil yang memasarkan produk mereka ke situs marketplace, seperti Tokopedia. Menurut William Tanuwijaya, pendiri Tokopedia, ketersediaan jalur distribusi memang menjadi salah satu tantangan terbesar brand lokal dalam berbisnis. Tanpa memiliki jalur distribusi yang jelas, mereka akan kesulitan memasarkan produknya kepada konsumen.

“Jalur distribusi ini biasanya sangat mahal, sehingga sulit dipenuhi oleh pengusaha yang tak didukung modal besar. Coba lihat di mal-mal besar, sulit ditemukan brand lokal karena terbentur persoalan kekuatan menyewa lokasi premium. Ini menyulitkan pengusaha lokal bertemu calon pembeli. Tokopedia mengakomodasi transaksi antara penjual dan pembeli di Indonesia. Dengan model seperti ini, brand lokal punya kesempatan untuk bersaing dengan brand global,” tutur William yang juga didaulat menjadi salah seorang pembicara di WCCE.

Bukan hanya dalam kegiatan niaga, inklusivitas juga tampak dalam upaya masyarakat di pelosok menciptakan nilai tambah dan peluang ekonomi dari kegiatan sehari-hari. Seperti yang dilakukan Eko Supriyanto, penari dan koreografer yang terjun ke Jailolo, Maluku Utara. Bersama warga, Eko mengolah tarian kontemporer Cry Jailolo dan Bala-Bala yang didasari tari Cakalele, yaitu tarian perang setempat. Tarian kontemporer tersebut sukses dan banyak diminta untuk dipentaskan di mancanegara. Imbasnya kini, banyak warga ikut menari karena sudah sadar tentang kegiatan ekonomi kreatif dan bahwa mereka bisa memetik pendapatan dari sana.

Kembali ke WCCE, selain dihadiri oleh para pelaku kreatif dalam negeri dan mancanegara, konferensi ini juga akan dihadiri oleh perwakilan dari pemerintah sebagai pembuat kebijakan dari banyak negara. Hal ini, menurut Ricky Joseph Pesik, Wakil Kepala Bekraf, karena belum banyak negara yang siap menghadapi revolusi industri kempat. Dari segi kebijakan, peraturan tentang industri kreatif belum menjadi mainstream bagi mayoritas negara di dunia.

“Padahal, kita sudah akan sepenuhnya berada di era industri kreatif. Artinya ada kebutuhan segera agar para pengambil kebijakan mengubah paradigma mereka dalam menyusun peraturan. Untuk itulah, WCCE menjadi penting. Ini akan menjadi semacam forum awal bagi kita untuk menyadari bersama-sama betapa industri kreatif memerlukan dukungan kebijakan yang lebih progresif di setiap negara, termasuk di Indonesia,” jelas Ricky.

Ketidaksiapan para pembuat kebijakan tersebut, salah satunya adalah karena akselerasi industri kreatif yang terjadi amat cepat. Di Indonesia saja misalnya, beberapa tahun yang lalu tak ada yang menyangka bahwa sekarang kita bisa memesan transportasi, mengirim barang, menyewa rumah, dan sebagainya, melalui aplikasi. Ada pula sosok YouTuber dan influencer dari media sosial yang mendapatkan penghasilan tinggi dari aktivitasnya di dunia maya.

“Fenomena baru ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Di Nigeria kini muncul industri film “Nollywood” yang berawal dari kegiatan merekam menggunakan ponsel. Tidak ada yang menyangka bahwa kegiatan ini bisa jadi booming. Pemerintah setempat juga tidak sadar bahwa itu bisa menjadi sumber pemasukan besar bagi negara. Hak intelektualnya ada di tangan siapa? Cara menetapkan pajaknya, bagaimana? Karena segala sesuatunya belum jelas, maka belum ada kebijakan yang pas untuk diterapkan pada usaha kreatif,” tutur Endah.

Seluk-beluk industri kreatif juga bukan sekadar persoalan internal yang dihadapi setiap negara, tetapi memasuki wilayah lintas negara. Ambil contoh Google dan Facebook yang berasal dari Amerika, namun bisa diakses oleh semua penduduk dunia (kecuali China yang memblokir kedua situs tersebut). Tanpa peraturan yang jelas mengenai penerapan pajak insentif, pemerintah akan kehilangan sumber pendapatan negara dari kedua raksasa teknologi tersebut.

Meski sudah menjadi persoalan lintas negara, kesepakatan mengenai pengembangan ekonomi kreatif belum dimiliki oleh negara-negara di dunia. Masalah ini belum menjadi perhatian khusus, terutama di organisasi PBB. Selama ini, perkara ekonomi kreatif baru sampai dibahas di UNESCO dan UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development). UNCTAD juga merupakan salah satu organisasi internasional yang mendukung penyelenggaraan WCCE.

Tidak berhenti pada persoalan pajak, masih banyak sektor lain yang perlu dibahas terkait dengan perkembangan ekonomi kreatif. Perkara hak cipta atau hak intelektual, pendanaan, distribusi, etika bisnis, hukum, dan sebagainya, juga tak kalah penting dicari rumusannya agar ruang gerak dan iklim pertumbuhan ekonomi kreatif senantiasa sehat.

Candra Darusman, Deputi Direktur organisasi World Intellectual Property Organization (WIPO) Biro Singapura, menyatakan bahwa perkara hak cipta memang perlu menjadi salah satu prioritas dalam memajukan industri kreatif. WIPO merupakan salah satu organisasi dunia yang mendukung acara WCCE.

“Sektor industri kreatif yang dilandasi kerangka hukum atau sistem hak cipta, perlu terus digunakan secara seimbang bagi kemajuan ekonomi dan eksistensi budaya suatu negara. WCCE adalah inisiatif pemerintah Indonesia yang sangat bagus dan tepat. Bagus, karena sektor kreatif Indonesia sangat kuat dan memiliki peluang konkret sebagai penggerak perekonomian. Tepat, karena sektor kreatif merupakan “softpower” yang bisa memberi sumbangsih bagi pergaulan dan perdamaian dunia,” paparnya.

Beberapa negara seperti Amerika, Inggris, dan Prancis, sudah memiliki peta yang lebih rapi tentang bentuk kebijakan yang cocok diterapkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi industri kreatif. Begitu pula dengan Korea Selatan dan Jepang yang terkenal dengan produk K-Pop, J-Pop, seri drama, komik, dan film animasinya. Sayangnya, masih banyak negara lain di dunia yang baru mulai merintis menuju pembangunan ekonomi kreatif, sehingga belum memiliki kesiapan dari segi regulasi dan sebagainya.

“Itu sebabnya, dalam ajang WCCE ini kita akan mencari sebuah common ground. Sebenarnya apa sih, pekerjaan rumah terbesar negara-negara ini dalam hal ini? Dalam WCCE, kita akan mencoba merumuskan dan mencari solusinya, supaya kelak, ketika industri kreatif ini betul-betul sudah melesat, semua tatanan kebijakan yang ada sudah benar-benar mampu mendukung perkembangannya. Sekarang kan, pemerintah masih mereka-reka bentuknya seperti apa,” jelas Endah.

Untuk menyamakan visi serta menajamkan poin-poin yang akan dibahas, telah digelar sejumlah pertemuan inisiasi menjelang WCCE. Yang pertama di Bandung pada 5-7 Desember 2017 dan kedua di Jakarta pada 2-4 Mei 2018. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh lebih dari 100 perwakilan dari 52 negara, terdiri dari instansi pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan organisasi internasional tersebut, disepakati lima isu utama yang akan dibahas dalam pertemuan WCCE mendatang, yaitu tentang kohesi sosial, regulasi, pemasaran, ekosistem, dan pendanaan.

“Melalui pertemuan-pertemuan awal tersebut disepakati bahwa forum tentang ekonomi kreatif itu memang perlu dibentuk selekasnya, ketika semua negara sedang bebenah dan mencari bentuk yang tepat. Momennya ekonomi kreatif itu tahun 2018 ini. Tahun depan mungkin sudah ada bentuk-bentuk usaha kreatif baru yang memerlukan dukungan sejumlah kebijakan baru pula,” kata Endah.

Itu sebabnya, nama-nama pembicara yang akan memberikan presentasi di konferensi WCCE juga terdiri atas orang-orang yang memiliki visi mengenai tren yang akan terjadi di masa depan. Mereka terdiri atas pelaku kreatif swasta, akademisi, serta pebisnis yang memiliki keahlian dan pengalaman sendiri di bidangnya, sehingga bisa melihat dan mengkalkulasikan tantangan apa saja yang kelak dihadapi. Tak kurang, akan ada perwakilan dari Marvel Studios dan Lego yang akan hadir sebagai pembicara di WCCE. Dari dalam negeri akan ada perwakilan dari Tokopedia dan Go-Jek.

Rencananya, pada tanggal 6, konferensi akan diawali dengan pertemuan tim kecil yang disebut Friends of Creative Economy (FCE), untuk merumuskan sejumlah poin rekomendasi berdasarkan pertemuan awal yang sudah diadakan di Bandung dan Jakarta. Poin-poin tersebut akan dideklarasikan pada hari ketiga. Konferensi besarnya sendiri akan dimulai pada hari kedua, yaitu tanggal 7 November, dibuka oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo.

Seperti apa acara konferensi yang akan digelar? Singkirkan jauh-jauh gambaran acara seminar dan diskusi panel yang membosankan, karena format acaranya dirancang dengan konsep sebuah acara hiburan. Para pembicara yang tampil akan diperlakukan seperti seorang rock star. Nantinya tidak akan ada moderator, karena acara akan dipandu oleh seorang DJ (Disk Jockey).

Selama acara berlangsung, pengunjung juga bisa singgah ke Creative Village, yang merupakan sebuah gelaran pameran interaktif, yang terdiri dari peserta lokal dan internasional. Display pameran akan dibagi berdasarkan tema, mulai dari film, musik, sosial budaya, dan intelektual. Menariknya, di sini juga tersedia 4 ruangan meeting pods berkapasitas 100 orang, yang bisa digunakan untuk bermacam kegiatan, mulai dari business meeting, workshop, seminar, screening film, dan sebagainya.

Diperkirakan, akan ada sekitar 800-1000 pengunjung yang akan menghadiri WCCE. Sebanyak 200 di antaranya merupakan perwakilan dari pemerintah negara-negara dunia. Animo masyarakat, baik dalam skala nasional maupun mancanegara terhadap acara ini memang terbilang tinggi, bahkan sebelum waktu pendaftaran diumumkan ke publik. Terlebih, organisasi UNCTAD juga ikut meng-endorse acara ini pada situs resminya.

Respons yang masuk ke Bekraf terkait WCCE pun mengalir deras. Bahkan, menurut Joshua Puji Simandjuntak, Deputi Pemasaran Bekraf, yang mengikuti side events General Assembly meetings UN-GA (General Assembly), New York, dunia yang diwakili oleh PBB menyambut baik soal WCCE ini. "PBB memiliki intensi yang sangat positif untuk mengangkat isu ekonomi kreatif ke level dunia sebagai salah satu solusi menghadapi tantangan permasalahan ekonomi dan kemudian Indonesia sebagai mitra perkembangan sektor ekonomi kreatif," jelas Joshua. Banyak negara, mulai dari Rumania hingga Prancis, ingin mengirim perwakilan dari negaranya untuk berbicara di forum ini. Polandia ingin mengirim salah seorang menterinya, Rusia menawarkan walikota di Siberia untuk bicara tentang inklusivitas. Kolombia ingin mengirim Felipe Buitrago,penulis buku Orange Economy yang membahas tentang ekonomi kreatif.

Hasil yang diharapkan dari konferensi ini adalah keluarnya rekomendasi dari forum WCCE yang bisa membuat PBB mengeluarkan resolusi terkait ekonomi kreatif. Jika resolusi PBB keluar, maka ekonomi kreatif akan menjadi salah satu pusat perhatian negara-negara di dunia dan masuk ke dalam agenda pembangunan mereka. Seluruh dunia akan sadar bahwa ekonomi kreatif ini penting untuk menciptakan kemandirian ekonomi, karena sumber daya alam di mana-mana semakin menipis. "Yang membanggakan, Indonesia nanti diproyeksikan sebagai leader di level dunia bersama dengan PBB untuk aspek ekonomi kreatif," ujar Joshua.

Dari bertemunya para pelaku kreatif di ajang WCCE, Bekraf juga berharap akan muncul kolaborasi. Baik kerjasama antara sesama pemilik bisnis, antara pemilik bisnis dan pemerintah, ataupun kerjasama antar pemerintah.

“Bagi Indonesia, ajang WCCE juga berperan sebagai media promosi untuk mengangkat produk kreatif Indonesia ke tingkat dunia. “Kita kan senang kalau Indonesia punya sesuatu yang digandrungi orang sedunia, seperti Korsel dengan K-Pop-nya. Siapa tahu nanti orang sedunia juga akan senang nyanyi dangdut dan doyan makan soto,” tutup Endah.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com