Advertorial

Frans Seda dan Generasi Muda Pelintas Batas Budaya

Kompas.com - 23/10/2018, 19:07 WIB

Tahun 2016 Marjolein van Pagee mendirikan “Histori Bersama,” sebuah yayasan yang berpusat di Rotterdam Belanda. Berbekal pengalamannya sebagai jurnalis dan memiliki pengetahuan sejarah, ia mencoba fokus pada perang kemerdekaan 1945-1949. Dengan visi ingin membangun saling pengertian antara Belanda dan Indonesia, ia memproduksi video singkat, menulis di pelbagai media dengan harapan agar baik Belanda maupun Indonesia belajar tentang apa artinya hak-hak asasi manusia dan saling pengertian.

Marjolein, begitu ia biasa dipanggil, tentu saja tidak menyadari bahwa apa yang ia perjuangkan memiliki urgensi masa depan bagi bangsanya untuk menjalin hubungan secara lebih manusiawi dan bermartabat dengan Indonesia; bahwa hidup sebagai anggota masyarakat tidak dapat dilakoni dengan baik tanpa saling pengertian yang luas dan mendalam; dan bahwa cara pandang bangsa tentang Indonesia dapat berubah jika ada perjumpaan dengan orang-orang Indonesia.

Dalam era globalisasi seperti sekarang ini, Marjolein adalah salah satu tokoh muda asing yang ingin mencari jalan bagi pemahaman dan solidaritas internasional. Kelompok internasional baru ini percaya bahwa ada begitu banyak masalah etis seperti hak asasi manusia, perdamaian dan keadilan yang penyelesaiannya tidak harus dengan jalan-jalan kekerasan tetapi dengan cara-cara etis kultural. Bahkan apa yang disebut dewasa ini dengan hoax hanya dapat diselesaikan dengan perjumpaan kultural dan etis.

Berbeda dari Marjolein, Rennie Roos, menaruh perhatian pada pendidikan kewirausahaan anak-anak Indonesia. Bersama rekan-rekan muda Indonesia, Rennie Roos mengembangkan program “Aku Pengusaha” tahun 2017. Berbekal inspirasi filosofis Fawaka Entrepreneurship School, sebuah sekolah internasional berpusat di Belanda, Rennie Roos percaya bahwa anak-anak Indonesia dapat belajar bisnis dan bertindak etis. Karena cintanya pada Indonensia, ia memilih program ini berpusat di Indonesia.

Marjolein dan Rennie adalah 2 dari beberapa alumni Seminar internasional Frans Seda Foundation yang memiliki visi membangun kerjasama internasional di kalangan kaum muda Indonesia dan Belanda. Berbekal kepandaian untuk berkomunikasi mereka yakin bahwa apa yang dipikirkan Frans Seda (1926-2009) tentang memerangi penjajahan dan mencintai kemanusiaan pantas mendapat perhatian. Mereka mengapresiasi usaha strategi politik Frans Seda menjadikan Irian Barat ke dalam kesatuan Republik Indonesia (1963) dan menempatkan Belanda sebagai ketua IGGI (Intergovernmental Group on Indonesia) untuk kepentingan pembangunan Indonesia (1966). Dalam kritik terhadap egoisme politik Negaranya, mereka percaya bahwa kerjasama demi kepentingan bersama umat manusia merupakan prinsip politik internasional. Hidup yang berarti selalu terdapat dalam ruang kebersamaan dengan orang lain. 

Belajar Interkultural

Gerakan orang-orang muda yang menaruh perhatian pada masalah-masalah internasional di negara-negara sedang berkembang bukan hal baru bagi negara-negara Eropa. Pada awal tahun 1960-an kita melihat bagaimana orang-orang muda Eropa yang merasa muak dengan budaya teknik mulai mengarahkan minatnya ke dunia Timur untuk belajar meditasi I Ching, Yen, dan Yoga, sebuah gerakan untuk menggantikan nuclear power dengan flower power. Namun gerakan-gerakan tersebut masih bersifat reaktif terhadap perkembangan teknik di Barat.

Dewasa ini, pikiran mereka lebih positif tentang dunia global. Sejak memasuki milenial baru Hans Georg Gadamer, seorang filsuf asal Jerman sudah menasehati bangsa-bangsa Eropa untuk tidak menutup diri secara psikologis dan kultural pada bangsa-bangsa lain. Ia meramalkan bahwa dunia akan menjadi menjadi sebuah rumah bagi semua orang. Karena itu menjadi tugas setiap bangsa untuk belajar secara interkultural agar menjadi tuan rumah yang baik bagi setiap orang asing yang keluar dan masuk wilayahnya.

Gadamer memang mencintai dialog dan pertemuan antara bangsa. Baginya, keterasingan suatu bangsa dalam komunitas internasional merupakan aib bagi kemanusiaan. Hidup manusia itu seperti ‘berdansa.’ Pada suatu momen seseorang dapat menggerakkan kakinya ke depan, tapi pada momen yang lain ia harus menggerakkan kakinya ke belakang untuk memberikan kesempatan pada pasangannya untuk maju. Dialog itu ibarat ‘berdansa’ yang tidak mungkin dilakukan sendiri, tetapi dijalankan bersama yang lain. Pada suatu momen saya dapat memperkenalkan diri saya dengan seluruh kebudayaan dan kebiasaan saya untuk dikenal oleh pasangan saya, tetapi pada momen yang lain, saya harus memberikan kesempatan padanya untuk memperkenalkan dirinya dan budayanya. Setiap orang yang terlibat dalam dialog harus belajar tentang lawan dialognya

Apa yang dibicarakan Gadamer di awal milenial baru itu menjadi nyata. Orang-orang muda seperti Marjolein dan Rennie adalah hasil dari semangat baru manusia Barat milenial. Berbeda dari generasi sebelumnya yang ingin menikmati romantisme dunia Timur, generasi Eropa dewasa ini memiliki kesadaran etis yang pantas diperhatikan. Selain ingin memahami dunia Timur dengan mempelajari bahasa dan budaya mereka ingin menjadi bagian dari dunia Timur pada umumnya dan Indonesia khususnya.

Saya kira, sama seperti Frans Seda, bagi Marjolein dan Rennie, Indonesia itu Taman Eden yang harus dipelihara. Hampir tidak ada wilayah di tempat ini yang sungguh-sungguh membahayakan hidup manusia. Kekayaan flora dan fauna, budaya dan seni benar-benar menjadi daya tarik. Tetapi mereka juga paham bahwa Indonesia membutuhkan kompetensi manusia yang harus dibangun dengan tekun dan berkesinambungan dalam kerjasama, dialog dan saling pengertian. Saya yakin selain mereka, masih ada orang-orang muda internasional yang menaruh perhatian pada kepentingan yang luas pada pendidikan, kemanusiaan, lingkungan hidup, pembangunan berkelanjutan, keadilan dan solidaritas. Indonesia hanya membutuhkan keterbukaan dan kemauan politik dan kultural untuk kerja sama dengan mereka. (oleh Mikhael Dua, anggota Board of Frans Seda Foundation).

 

Tulisan ini dibuat dalam rangka menyambut malam penganugerahan Frans Seda Award 2018 yang akan diselenggarakan di Kampus 1 Semanggi Unika Atma Jaya

Jumat, 26 oktober 2018, pukul 16.00 -19.30 WIB dan mengundang Menteri Keuangan RI untuk memberikan Public Lecture sebelum acara penganugerahan.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com