kabar mpr

Baiq Nuril: Segera sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Kompas.com - 23/11/2018, 10:16 WIB

Acara Diskusi Empat Pilar MPR di Media Center MPR/DPR, Kompleks Parlemen Jakarta, Rabu (21/11/2018) kedatangan tamu yakni, pegawai honorer di SMAN 7 Nusa Tenggara Barat, Baiq Nuril.

Kedatangan sosok yang kini tengah ramai diperbincangkan itu menyita perhatian para wartawan yang mengikuti diskusi bertemakan Perlindungan Perempuan dan Ancaman Kekerasan Seksual ini.

“Saya akan berjuang untuk wanita-wanita dan perempuan-perempuan di Indonesia agar tidak ada lagi kekerasan seksual terjadi pada perempuan. Segera sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” ujar dia.

Baiq Nuril sebelumnya divonis hukuman enam bulan penjara dan denda sebesar Rp 500 juta oleh Mahkamah Agung (MA). Ia dianggap melanggar UU ITE karena menyebarkan konten elektronik bermuatan asusila.

Konten itu berisi rekaman percakapan Kepala Sekolah SMAN 7 kepadanya yang dianggap mengandung muatan pornografi. Ia menganggap kepala sekolah telah melakukan pelecehan seksual kepadanya.

Hadirkan narasumber lain

Acara ini turut dihadiri oleh narasumber lain yakni dari anggota Fraksi PDI Perjuangan MPR, Rieke Diah Pitaloka. Hadir pula Kuasa Hukum Baiq Nuril, Joko Jumadi, Komisioner Komnas Perempuan, Masruchah, serta Wakil Ketua LPSK, Hasto Atmojo dan Askari Razak.

Menurut Rieke, saat ini Komnas Perempuan telah menyatakan bahwa Indonesia saat ini berada dalam keadaan darurat kekerasan seksual. Khusus untuk kasus Baiq Nuril, ia mengatakan jika harusnya penegak hukum memakai prinsip kausalitas, sebab-akibat.

Ia melanjutkan, itu berarti kasus tidak hanya dilihat dari akibat, tetapi juga dari sebabnya.” Seharusnya MA melihat apakah benar terjadi kekerasan seksual terhadap korban Baiq Nuril,” ujar dia.

Wanita yang sering disapa Oneng ini pun mendukung Baiq Nuril untuk melaporkan dugaan kekerasan seksual yang dialaminya ke Polda NTB.

“Persoalan kekerasan seksual ini harusnya menjadi perhatian semua pihak. Kekerasan seksual bisa terjadi kepada siapa saja,” ujar Rieke.

Revisi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang kini sedang dibahas Komisi VIII DPR pun menurutnya harus segera disahkan. Itu penting agar ada kepastian hukum untuk kasus kekerasan seksual.

Dorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sejak 2015

Senada dengan Rieke, Masruchah juga menyatakan bahwa Komnas Perempuan dan gerakan masyarakat sipil telah mendorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sejak tahun 2015. Itu karena banyaknya kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan di Indonesia.

“Kami meminta RUU itu menjadi RUU prioritas. Sejak April 2017, Komisi VIII sudah ditugaskan untuk membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Karena faktanya kekerasan seksual di Indonesia sudah tidak bisa ditolerir lagi,” ujar dia

Menurut Masruchah, data Komnas Perempuan tahun 2001-2011 menunjukkan setidaknya terjadi kekerasan seksual terhadap 35 perempuan. Data ini juga ibarat gunung es karena masih banyak korban yang tidak melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya.

Ia melanjutkan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual penting untuk segera dibahas. Menurutnya kekerasan verbal seperti yang dialami Baiq Nuril juga merupakan kekerasan seksual.

“Kalau sudah ada UU Penghapusan Kekerasan Seksual, maka perlindungan terhadap korban dan pemenjaraan bagi pelaku memiliki pijakan hukum,” ujar Masruchah.

Baca tentang
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com