Kilas

Soal Kontrak Freeport, Mahfud MD Angkat Bicara

Kompas.com - 26/12/2018, 15:07 WIB

KOMPAS.com – Perdebatan mengenai kontrak karya (KK) PT Freeport Indonesia (PTFI) yang harus diakhiri pada 2021 menuai asumsi bahwa seharusnya Indonesia bisa mendapatkannya secara gratis. Padahal, di balik itu persoalan tak mudah.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menegaskan KK Freeport telah menyandera pemerintah. Perihal itu hanya bisa diakhiri dengan negosiasi.

“Kontrak yang menyandera dan menjerat seperti itu memang hanya bisa diakhiri dengan kontrak baru melalui negosiasi. Tak bisa diakhiri begitu saja,” tulis Mahfud pada akun resmi twitternya.

Tulisan Mahfud dibagi dalam beberapa kali cuitan. Ia menuliskan hal itu khusus untuk mengomentari asumsi sesat jika pemerintah, melalui Holding Industri Pertambangan PT Inalum (Persero), bisa mendapatkan PTFI secara gratis ketika kontrak mereka berakhir pada 2021.

Inalum pada Jumat (21/12/2018] meningkatkan kepemilikannya di PTFI dari 9,36 persen menjadi 51 persen dengan membayar 3,85 miliar dollar AS atau Rp 55 triliun. Dengan begitu, Inalum menjadi pengendali perusahaan yang memiliki tambang Grasberg di Papua dengan kekayaan emas, perunggu, dan perak sebesar Rp 2.400 triliun hingga 2041 tersebut.

Dengan beralihnya kepemilikan PTFI dari perusahaan Amerika Serikat Freeport McMoRan (FCX) ke entitas Indonesia, operasional PTFI pun beralih dari KK ke Izin Usaha Pertambangan  Khusus Operasi Produksi (IUPK).

“Menurut hukum, setiap kontrak berlaku sebagai undang-undang (UU) bagi pihak-pihak yang membuatnya. Oleh karena itu, kontrak hanya bisa diakhiri dengan kontrak baru melalui asas konsensual,” kata Mahfud dalam tulisannya pada akun twitter.

Ia juga menambahkan mengenai pertanyaan apakah kontrak tetap mengikat jika dibuat dengan dugaan adanya penyuapan.

“Itu harus diputus oleh peradilan pidana dulu untuk kasus  korupsi atau penyuapan yang memiliki masa kedaluarsa selama 18 tahun. KK itu terjadi tahun 1991. Maka kadaluarsanya pada 2009.” terang Mahfud.

Ia melanjutkan, seharusnya kalaupun ingin dipidanakan selambat-lambatnya  pada 2009.

PTFI melakukan eksplorasi dan penambangan berdasarkan KK dengan pemerintah Indonesia yang ditandatangani pada 1967 di zaman Soeharto dan diperbarui melalui KK tahun 1991 di zaman Presiden yang sama dengan masa operasi hingga 2021.

Terkait dengan masa operasi tersebut, FCX dan pemerintah memiliki interpretasi yang berbeda atas isi pasal perpanjangan.

Pengertian FCX adalah bahwa KK akan berakhir pada 2021. Meski demikian, mereka berhak mengajukan perpanjangan dua kali 10 tahun atau hingga 2041.

Pemerintah tidak akan atau tidak boleh menahan atau menunda persetujuan tersebut secara "tidak wajar".  Artinya, bila harus ditahan atau ditunda, harus ada alasan yang diterima oleh FCX.

Interpretasi yang berbeda terkait kata “tidak wajar” ini harus diselesaikan di pengadilan internasional (arbitrase).

Mahfud menjelaskan, maka itu pemerintah mengeluarkan UU No. 4/2009 tentang mineral dan batubara yang mengubah sistem KK menjadi izin usaha.

“Freeport menolak dan mengatakan UU itu hanya berlaku bagi perusahaan baru. Perjanjian hanya bisa berakhir dengan perjanjian baru. Itulah yang ditempuh oleh pemerintah,” kata dia.

Tidak dibawa ke arbitrase

Pertanyaan yang juga menjadi perdebatan di permukaan adalah mengapa pemerintah tidak membawa kasus ini ke arbitrase?

“Pemerintah sudah menyatakan siap ke arbitrase jika usaha mengambil 51 persen saham gagal. Tapi yang jadi masalah jika kalah, Indonesia akan kehilangan Freeport untuk selamanya. Sudah begitu kasus pidananya sudah kadaluarsa,” lanjut Mahfud.

Inalum sebelumnya menyayangkan asumsi-asumsi sesat yang beredar di publik seolah-olah pemerintah membeli barangnya sendiri.

“Sangat disayangkan beberapa pengamat tidak membaca data dan KK PTFI sebelumnya tetapi berani membuat analisa bodong dan menyesatkan publik seolah-olah kita membeli tanah air kita sendiri,” ujar Kepala Komunikasi Korporat dan Hubungan Antar Lembaga Inalum Rendi A Witular melalui pesan tertulis yang diterima Kompas.com, Rabu (26/12/2018).

Rendi juga menjelaskan jalur arbitrase akan berdampak pada operasional PTFI yang akan dikurangi atau bahkan dihentikan.

Hal itu akan berakibat pada runtuhnya terowongan bawah tanah sehingga biaya untuk memperbaikinya bisa lebih mahal dari harga divestasi. Perlu diketahui, tambang Grasberg adalah jalur yang terumit di dunia.

Dampak kedua adalah ekonomi Mimika akan terhenti karena sekitar 90 persen ekonomi mereka digerakkan oleh kegiatan PTFI.

Kemudian, tidak ada jaminan pula Indonesia dapat menang di arbitrase yang sidangnya dapat berlangsung bertahun-tahun. Jika kalah, pemerintah juga akan diwajibkan membayar ganti rugi jauh lebih besar dari harga divestasi.

Rendi menyebutkan bahwa pada KK tidak ada pasal yang mengatakan jika kontrak berakhir, pemerintah bisa mendapatkan PTFI dan tambang Grasberg secara gratis.

“KK PTFI tidak sama dengan kontrak yang berlaku di sektor minyak dan gas dimana jika kontrak berakhir langsung dimiliki oleh pemerintah,” tambahnya.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com