Advertorial

Menjadi Saksi Perjalanan Waktu Dubai, Kota Ultramodern yang Terus Berkembang

Kompas.com - 15/02/2019, 19:00 WIB

Nationalgeographic.co.id - “Krak…Krak..!” suara stempel menghunjam halaman baru paspor saya di gerai imigrasi bandara Dubai International. Ekspresi petugas imigrasi tampak datar, tidak berbeda dengan petugas imigrasi di beberapa bandara lain.

Mungkin inilah satu-satunya kesempatan saya untuk bisa berinteraksi dengan warga lokal dalam rangka penjelajahan mencoba keunggulan camera phone Oppo R17 Pro, terutama fitur night mode yang tersemat di dalamnya.

Profesi strategis seperti petugas imigrasi ini hanya diperbolehkan bagi warga asli saja. Berbicara mengenai warga asli, kota ultramodern ini sendiri hanya ditinggali oleh 17 persen warga asli, dan sisanya adalah warga negara lain.

Udara dingin seketika membekap wajah, saat saya melangkahkan kaki melintasi pintu keluar bandara. Pada awal tahun, seperti saat ini, Timur Tengah memang tengah memasuki musim dingin. Inilah musim yang ideal bagi para wisatawan dari luar untuk menjelajahi Dubai.

Bus yang saya tumpangi mulai meliuk di antara gedung-gedung pencakar langit yang tampak terang dengan berbagai cahayanya. Gemerlap malam kala lepas tengah malam seakan menunjukkan seakan kota ini tidak pernah tertidur.

Saya harus benar-benar menengadahkan kepala agar bisa melihat pucuk gedung Burj Khalifa, titik gedung tertinggi Dunia dengan ketinggian 828 meter. Mengarahkan Oppo R17 Pro, memilih fitur night mode dan mengambil momen gemerlap malam Dubai. Ada waktu sekitar tiga detik sebelum imaji tertangkap. Dengan fitur ini, saya pun berhasil menangkap warna-warni gemerlap Dubai dan berbaur dalam lanskap kota kala malam.

Burj Khalifa, difoto menggunakan Oppo 17 Pro- Burj Khalifa, difoto menggunakan Oppo 17 Pro

Pemandangan ini membawa saya pada tahun 1970-an, ketika daerah ini masih berupa gurun tandus dengan suhu yang mencapai 50 derajat celcius. Hanya sedikit orang yang tertarik datang. Namun saat ini, 40 tahun kemudian, Dubai menjelma menjadi pusat perdagangan dan kota turis.

Dubai pun dinobatkan sebagai kota di Timur Tengah yang sukses melewati ekonomi era minyak.

Ikram, sahabat satu negara yang tinggal dan mencari rezeki di kota ini, menjelaskan bahwa kami akan menemui semua hal dengan predikat “ter” di Dubai. Tertinggi, terbesar, termewah, dan ratusan “ter” lainnya yang sudah direncanakan sebagai masa depan Dubai.

Bagi kaum muda, Dubai adalah model yang ideal bagi kawasan Timur Tengah. Bagaimana tidak, di sini masyarakat Islam hidup penuh toleransi, serta kenetralan dalam berpolitik.

Perjalanan waktu dan pembangunan

Gemerlap emas yang melapisi dinding Dubai frame museum, menjadi simbol transisi Dubai lama dan Dubai baru. Kota ultramodern ini menjelma menjadi penghubung bagi bisnis dan pariwisata dunia. Peleburan budaya pun tak terhindarkan, menciptakan rasa unik yang ditawarkan kota ini.

Saya berjalan kaki memasuki pasar rempah di kota lama. Rasanya seperti berada dalam labirin yang tersusun dari bangunan-bangunan tua kota. Dalam labirin ini, saya berjalan seakan dalam zona waktu yang berbeda.

Pasar rempah di kota lama, difoto menggunakan Oppo R17 Pro- Pasar rempah di kota lama, difoto menggunakan Oppo R17 Pro

Sesaat, saya berada di kota dengan gemerlap lampu. Beberapa saat kemudian, saya memasuki kawasan pasar yang bertolak belakang dengan dunia modern.

Masyarakat dunia di dalam Dubai. Difoto dengan Oppo R17 Pro.- Masyarakat dunia di dalam Dubai. Difoto dengan Oppo R17 Pro.

Tanpa perlu pendongeng, kota ini menunjukkan bukti perjalanan waktu yang dialami oleh dubai.

Percakapan yang terjadi di sana sulit untuk saya mengerti. Bukan tanpa alasan, percampuran budaya membuat bahasa yang ada juga mengalami percampuran. Belum lagi logat dari masing-masing ras yang ada. Saya mendengar logat India, bercampur Arab, dan bahkan aksen Inggris dalam percakapan saat itu. Semuanya ada dalam satu lokasi.

Hari ini sekitar 92 persen penduduk Dubai adalah pekerja asing. Mereka hadir sejak awal proses geliat perubahan wajah Dubai. Bagi para pendatang, hukum izin tinggal yang ketat di jazirah Arab ini membuat Dubai tidak bisa menjadi tempat tinggal permanen mereka. Mereka hanya menetap untuk sementara.

Makan malam di lantai 122, diambil dengan fitur Night Mode dalam Oppo R17 Pro- Makan malam di lantai 122, diambil dengan fitur Night Mode dalam Oppo R17 Pro

Dengan arus keluar masuk manusia yang terjadi di Dubai, tidak heran jika kota ini mengalami "jahitan budaya" yang tidak pernah berhenti. Benang budaya tak henti-hentinya melebur mewarnai Dubai.

Sambil menikmati panna cotta dari ketinggian 422 meter di atas permukaan tanah (lantai 122) Burj Khalifa, saya bisa memandang ladang cahaya bak lukisan di bawah sana. Badan dan pikiran berusaha beradaptasi setelah siang tadi menelusuri hamparan gurun menikmati Dune Bashing—menjelajahi gurun dengan kendaraan berpenggerak empat roda yang dimodifikasi khusus untuk area pasir gurun.

Saya membayangkan cerita Ikram tentang Dubai masa depan. Rencananya, pada tahun 2020, kota ini secara resmi akan menerapkan taksi udara—entah akan seperti apa perubahan yang akan dialami Dubai.

Imajinasi seperti tak ada batasnya bagi belahan Bumi ini. Dubai banyak mempertimbangkan keseimbangan alam dan manusia sebagai bahan pembelajaran mereka. Baik dan buruk pasti ada di dalam kota ini, tapi satu hal yang pasti, Dubai berhasil mengembangkan hal yang baik dan memperbaiki hal yang buruk.

Penjelajahan saya sebagai warga dunia di Dubai membawa saya pada sebuah kesimpulan, mari bersiap untuk menyaksikan tontonan perubahan yang diberikan Dubai. Usaha mereka menjadi yang “ter” akan menjadi persepsi baru soal modern. Discover all that’s possible!

Seluruh foto yang ada di dalam artikel ini diambil menggunakan Oppo R17 Pro.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com