Advertorial

Berani Jadi Petani Milenial?

Kompas.com - 05/07/2019, 19:36 WIB

Tidak mudah menjadi anak petani. Apalagi jadi petani. Pakaian berlumur tanah, kulit bermasker lumpur, rambut bau matahari, dan tubuh berpeluh. Itulah gambaran kasar sosok petani. Gambaran yang jauh dari benak anak-anak milenial.

Anak petani enggan menjadi petani, itu lumrah. Selumrah anak guru yang belum tentu menjadi guru. Yang luar biasa adalah tatkala mahasiswa jurusan pertanian malah kesasar menjadi teler bank, wartawan, atau profesi lain yang jauh dari disiplin ilmunya.

Bahkan sempat gencar beredar pelesetan IPB. Seharusnya Institut Pertanian Bogor menjadi Institut Perbankan Bogor. Sekilas lucu, padahal tragis. Tampak sekali bahwa citra petani, yang lusuh dan kotor, tidak memikat hati anak-anak muda.

Jika sudah begini, regenarasi petani bakal terhambat. Siapa yang bakal meneruskan kiprah Ahmad Mu'tamir, petani kentang nan sukses? Seperti dilansir MoneySmart, omzet Pak Ahmad rata-rata Rp120-170 juta per bulan.

Baiklah, kita ubah pertanyaan di atas yang sarat rasa prihatin. Benarkah citra petani masih lusuh dan kotor? Benarkah masa depan petani, termasuk pertanian, selalu kusam dan muram? Sebelum kedua pertanyaan itu bertemu jawab, ayo kita simak kisah petani milenial.

Taufik Hidayat namanya. Ayahnya kuli bangunan. Kadang ayahnya keluar kota atau pulau demi menafkahi keluarga. Taufik pun jadi matahari harapan. Setamat kuliah, ia merantau ke Jakarta untuk menyokong ekonomi keluarga. Namun, ia pulang kampung dan banting setir menjadi petani.

Di Pangalengan, ia terjun ke kebun. Jamur tiram jadi pilihannya. Ia kumpulkan modal awal dari teman-temannya. Ia pelajari seluk-beluk bertani jamur. Ia tekuri pola pasar dan pernak-perniknya.

Meski telah bertani dengan telaten, ujian tiba. Panen gagal akibat kebun jamurnya dilanda banjir.

Apakah ia patah arang? Tidak. Taufik tidak putus asa. Ia bangkit dan kembali bergiat. Kini ia memanen di "ladang gigihnya". Rata-rata per bulan ia meraup omzet Rp165 juta. Asetnya pun mencapai Rp600 juta.

Kisah Taufik bukanlah pepesan kosong. Setelah penat bekerja kantoran, ia pulang ke kampungnya untuk bertani. Kisah lengkapnya bisa kita baca di DetikFinance. Kini penghasilannya sudah jauh melebihi upahnya semasa menjadi karyawan.

Pengalaman Taufik bukan materi bualan demi memotivasi generasi muda. Tidak, itu fakta. Banyak anak muda yang terbujuk kemeja necis, dasi mahal, sepatu mengilap, serta ruang kerja yang harum dan berpendingin. Itu sah-sah saja.

Meski begitu, jangan remehkan petani. Jika petani menguasai teknologi seperti di Singapura, Jepang, atau AS, penampilan mereka sangat keren dan mentereng. Baik saat bekerja maupun waktu bersantai. Mereka petani cerdas yang berkiprah di dunia pertanian cerdas.

Apakah pertanian cerdas itu? Tunggu, kita simak dulu data mencengangkan ini. Dikutip EasternPeak dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), populasi global pada 2050 diperkirakan akan melampaui 9 miliar jiwa. Seluruh jiwa itu butuh makanan. Sungguh peluang besar bagi petani di seantero dunia.

Guna menghasilkan makanan yang cukup bagi populasi tersebut, volume produksi pertanian harus meningkat sebesar 50%. Masalahnya, sumber daya untuk operasi pertanian terbatas. Sebagian besar lahan yang cocok untuk pertanian sudah digunakan. Kalaupun ada lahan kosong, kemungkinan karena diabaikan oleh pemiliknya.

Satu-satunya cara untuk meningkatkan volume produksi adalah dengan meningkatkan efisiensi produksi.

Inilah pertanian cerdas. Kita tahu bahwa teknologi digital berkembang pesat. Revolusi Industri 4.0 bukan sekadar slogan. Hampir seluruh sendi kehidupan sudah dirasuki teknologi digital.

Jangankan bidang ekonomi dan kesehatan, bidang pertanian pun sudah dirambah.

Bagaimana cara memulai pertanian cerdas? Fondasi pertanian cerdas harus dibangun oleh Pemerintah. Ketersediaan infrastruktur, berupa jaringan internet, sangat dibutuhkan dalam pengembangan Internet of Things (IoT).

Ketika Ahmad berminat mengembangkan kentang, ia berkonsultasi dulu kepada pakar pertanian. Ia tanyakan soal kondisi lahan, pengaruh cuaca, curah hujan dan ketersediaan air, serta prediksi hama dan penanganannya. Taufik juga begitu.

Informasi yang dicari oleh Ahmad dan Taufik akan mudah didapat jika petani memanfaatkan IoT (perangkat berjaringan).

Jadi, tidak perlu heran apabila suatu saat nanti tiada lagi petani yang menyemprot tanaman. Penyemprotan, penyiraman, pemupukan, bahkan panen dilakukan oleh robot. Pengolahan tanah bukan lagi dengan bajak dan hewan, tetapi traktor virtual yang bisa dikendalikan dari jarak jauh.

Dalam beberapa dekade terakhir, dikutip dari EasternPeak, transformasi teknologi pertanian melaju pesat. Dengan berbekal gawai dan aplikasi pertanian cerdas, petani dapat mengontrol tanaman dan ternaknya dengan lebih baik. Proses pemeliharaan ternak dan tanaman makin mudah. Hasilnya pun bisa diprediksi.

Keberadaan agriculture technology (agtech), teknologi digital untuk pertanian cerdas, inilah yang menjadi celah bagi anak-anak milenial. Jika si ayah hanya bisa mengendalikan bajak dan sapi, si anak niscaya bisa mengendalikan traktor virtual. Jika sang bapak harus menyemprot sendiri, sang anak mengendalikan drone untuk penyemprotan.

Mengapa harus anak milenial? Baik, mari kita kupas tuntas alasannya.

Satu: Membaca data. Data yang dikumpulkan oleh sensor harus dibaca dan ditelaah. Kualitas tanah, misalnya, penting guna menentukan tanaman pilihan. Kondisi cuaca, misalnya, perlu untuk mengantisipasi gagal panen. Data-data tersebut lebih mudah dibaca oleh petani generasi milenial dibanding petani generasi X. O ya, data sangat penting bagi pertanian presisi.

Dua: Mengontrol kualitas. Kinerja staf, efisiensi peralatan, kemajuan pertumbuhan tanaman, atau kesehatan ternak, semuanya dapat dikontrol lewat gawai dan aplikasi pertanian cerdas. Petani yang "gagap teknologi" akan "gegar informasi" akan keteteran. Padahal, kontrol kualitas amat penting dalam menurunkan risiko produksi.

Ketiga: Menata produksi. Berkat sensor IoT, petani dapat memperkirakan hasil dan kualitas produksi, serta merencanakan distribusi produk. Petani akan tahu persis berapa banyak hasil yang akan dipanen, termasuk kualitas dan kuantitasnya.

Keempat: Mengelola gawai. Dengan otomatisasi proses maka efisiensi bisnis pertanian akan meningkat. Masalahnya, otomatisasi proses dilakukan melalui gawai. Lewat perangkat gawai pintar, petani dapat mengotomatisasi proses di seluruh siklus produksi. Sebut contoh irigasi, pemupukan, atau pengendalian hama.

Keempat hal di atas memastikan pentingnya keberadaan petani milenial. Jika gengsi yang membuat pemuda enggan menjadi petani, cobalah lirik agtech. Jika kotor yang ditakuti remaja sehingga malas bertani, selamilah bertani dalam ruangan (indoor farming).

Taufik sudah membuktikan bahwa hasil akhir tidak bertumpu pada gengsi, tetapi pada seberapa telaten kita dalam melakoni sesuatu. Aplikasi pertanian cerdas yang dikelola oleh perusahaan rintisan (start-up) lokal sudah bertebaran di internet. Tinggal niat dan hasrat.

Tentu berat bagi Pemerintah untuk mendongkrak keahlian petani dalam waktu yang singkat. Ada celah (gap) lebar antara kemampuan petani berinternet dan kemajuan agtech. Maka dari itu, generasi milenial mesti dirangsang sedemikian rupa supaya berminat menggeluti pertanian cerdas.

Penulis yakin, di luar sana banyak Taufik yang ingin kembali ke kampung. Sekarang saja, Taufik sudah menggandeng puluhan petani jamur di Pangalengan, Jawa Barat. Dengan kata lain, ia sudah berbagi kebaikan di tanah kelahiran. Malahan, ia sedang merintis sekolah jamur berbasis teknologi agrikultur.

Semua bermula dari pikiran. Inilah tantangan sebenar-benarnya dan sebesar-besarnya.

Sebenar-benarnya, karena mengubah pandangan anak milenial terhadap pertanian, apalagi jadi petani, bukan pekerjaan mudah. Aplikasi game berkebun sempat marak dan sangat digandrungi, siapa tahu mereka jatuh cinta pada kebun dan tanaman.

Sebesar-besarnya, karena kita punya lahan yang luas, infrastruktur yang memadai, pasar yang besar, tetapi jumlah petani tradisional jauh lebih dominan. Petani milenial masih kurang, bahkan langka. Padahal, dilansir Warta Ekonomi, Kementerian Pertanian punya rangsangan pinjaman modal bagi para petani milenial.

Aplikasi pertanian cerdas di Indonesia juga kian marak. Berikut beberapa contoh start-up bidang teknologi pertanian yang beroperasi di Indonesia.

Satu: Ci-Agriculture. Anak perusahaan Mediatrac ini mengembangkan sistem manajemen pertanian. Hasilnya adalah analisis komprehensif didasarkan analisis cuaca, informasi sensor tanah, serta pencitraan satelit dan drone yang dapat meningkatkan produktivitas pertanian.

Dua: Angon.id. Perusahaan rintisan binaan Indigo ini menggabungkan konsep investasi (fintech) dan pertanian (agtech). Angon.id memungkinkan masyarakat untuk investasi beternak tanpa harus memiliki kandang. Melalui layanan aplikasi ini, pengguna menggelontorkan sejumlah dana sesuai dengan kesepakatan. Dana tersebut disalurkan kepada peternak yang sudah menjadi mitra bisnis.

Tiga: 8village. Perusahan ini, bersama East West Seed Indonesia, mengembangkan aplikasi Urban Farming Indonesia. Aplikasi itu didesain untuk mengedukasi masyarakat perkotaan. Kemudian, aplikasi Petani yang dirancang khusus untuk memudahkan petani berkonsultasi dengan para pakar pertanian. Petani bisa meminta bantuan pakar untuk mengetahui kondisi tanaman secara intens dan interaktif.

Nah, ada seorang petani milenial lagi yang ingin penulis sajikan lewat artikel ini.

Ia seorang saudagar sayuran. Namanya Yogi Pamungkas. Sayur-mayur yang ia jual berasal dari kebun hidroponik yang ia kelola sendiri. Yogi baru berusia 24 tahun, tetapi penghasilannya mencapai puluhan hingga ratusan juta.

Selain itu, Yogi merekrut anak-anak milenial di sekitarnya. Mereka bahu-membahu mengolah kebun dengan gaya kekinian. Bagi Yogi, petani itu trendi dan gaul. Kabar tentang Yogi bisa khalayak baca di Trubus Edisi 575 Oktober 2017 atau di PakTaniDigital.

Kita sudah menyingkap semuanya. Petani bukan lagi profesi kumal dan kusam. Petani bukan lagi profesi dengan masa depan muram dan suram. Teknologi pertanian pun terus berkembang. Jelaslah bahwa Indonesia butuh anak-anak milenial yang berani menjadi petani.

Potensi Indonesia sebagai negara agraris tidak boleh musnah begitu saja. Penulis berharap akan ada Taufik atau Yogi lain di dunia pertanian cerdas kita. Di luar itu, revolusi industri terus berjalan. Kita, rakyat dan Pemerintah, tidak boleh berleha-leha.

Adopsi IoT pun kian lesat menembus sekat dunia pertanian. Bagaimanapun caranya, generasi milenial harus dipikat dan ditarik agar melirik dunia pertanian cerdas. Bisa sebagai pengurai data raksasa (bigdata), bisa sebagai petani milenial. Bisa bertani hidroponik, bisa bertani akuaponik, bisa juga bertani dalam ruangan.

Maka dari itu, orangtua tidak perlu merasa terlalu cemas apabila putranya sibuk mengulik gawai. Siapa tahu minat dan bakatnya di teknologi digital, lalu terpikat mengembangkan pertanian cerdas berbasis IoT. Siapa tahu, kan?

Kaum milenial juga mestinya tidak usah khawatir lagi. Menjadi petani tidak mesti berkubang di lumpur. Sekalipun begitu, yang penting halal dan banjir rupiah.

Jadi, jangan takut jadi petani milenial.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com