Advertorial

Paradigma Pembinaan Pemain Muda adalah Kunci Prestasi Sepak Bola

Kompas.com - 05/07/2019, 20:04 WIB

KOMPAS.com - Pesepak bola muda Indonesia berusia di bawah 16 tahun sering juara di ajang internasional. Namun memasuki usia remaja hingga dewasa, sepak bola Indonesia tidak kompetitif. Itu karena ada kekeliruan dalam pembinaan sepak bola di Indonesia.

”Jangan bangga juara di level muda. Sebab, itu adalah juara yang semu. Juara sejati itu ketika di level senior,” ujar mantan pelatih yang kini menjadi analis sepak bola, Timo Scheunemann, Minggu (30/6/2019) di Bogor.

Timo menyampaikan hal itu di sela-sela acara ”Meet The World” yang merupakan rangkaian persiapan Tim LKG-SKF Indonesia menuju Piala Gothia 2019 di Gothenburg, Swedia, 14-20 Juli 2019 nanti.

Menurutnya jika diibaratkan lomba lari 100 meter, pembinaan sepak bola muda adalah awal start. Pada level itu, posisi semua negara sama. Secara teknis, semua pemain baru belajar mengenal dasar sepak bola. Secara fisik, tubuh mereka juga belum jauh berbeda.

Perbedaan paradigma pembinaan pesepak bola muda

Pada masa itu, yang membedakan hanya paradigma dalam pembinaan. Di negara maju, pesepak bola usia muda diarahkan lebih banyak mengenal dan menikmati permainan. Mereka tidak dituntut juara karena itu adalah saat pembentukan fondasi, karakter, dan sikap.

”Tidak heran, negara-negara maju sering kali kalah di kejuaraan sepak bola usia muda,” kata Timo.

Sementara itu di negara-negara berkembang seperti Indonesia, pesepak bola muda sudah dituntut juara. Akhirnya, mereka main mati-matian dalam setiap kejuaraan.

Timo menuturkan, pembinaan yang salah itu akan terlihat titik lemahnya saat anak-anak tersebut beranjak remaja dan dewasa. Di negara-negara maju, pembinaan terus berkelanjutan sejak usia muda, remaja, hingga dewasa.

Sementara di negara berkembang, pembinaan umumnya tidak berkelanjutan. Para pemain muda berbakat pun akhirnya redup saat remaja dan dewasa.

Juara bukan segalanya di usia muda

President Director SKF Indonesia, Shyam Datye juga menilai jika juara bukanlah hal utama dalam kejuaraan usia muda. Juara merupakan hadiah karena permainan yang baik. Namun, hal lebih penting adalah kesempatan belajar dan menimba pengalaman.

Itulah salah satu misi Piala Gothia yang setiap tahun diikuti sekitar 1.700 tim dari seluruh dunia. Saat itu, bercampurlah semua budaya dari seluruh belahan bumi.

”Ini adalah kesempatan yang sangat baik untuk anak-anak belajar. Dari belajar ilmu sepak bola dari pemain negara-negara lain, hingga belajar mengenal budaya-budaya baru,” kata Datye.

Tim LKG-SKF Indonesia akan berpartisipasi pada kategori Boys 15 di Piala Gothia. Tim itu diperkuat oleh 18 pemain terbaik dari Liga Kompas Kacang Garuda U-14 musim 2018-2019.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com