Advertorial

Amerika Serikat, China, dan Dunia yang Berubah di Hari jadi RRC ke 70

Kompas.com - 22/11/2019, 15:16 WIB

Perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang tengah berlangsung masih menjadi topik hangat. Situasi seperti ini pun sebenarnya sudah pernah terjadi dalam sejarah. Pada tahun 1907, seorang diplomat Inggris, Eyre Brow dalam sebuah memorandum bertajuk “The Present State of British Empire Relations with France and Germany” menyebutkan, kebangkitan Jerman merupakan ancaman bagi Imperium Britania dalam sistem internasional.

Hal serupa kini terjadi saat ini di mana Amerika Serikat melihat China sebagai ancaman. Bagi Washington, China bukan saja ancaman bagi ekonomi dan keamanan secara domestik, namun juga bagi tatanan dunia internasional atau World International Order. Pasca runtuhnya Uni Soviet, Amerika Serikat memang menjadi negara adidaya selama lebih dari 7 dekade

Sejak berakhirnya Perang Dunia ke-2, kebijakan luar negeri Amerika Serikat berorientasi pada liberal hegemony. Tujuan utamanya adalah menjadikan semua negara demokratis, terbuka, menghargai hak kebebasan individu seperti halnya Amerika Serikat.

Prinsip ini juga menjadi ciri utama dari World International Order yang mengedepankan nilai nilai demokratis, penghargaan terhadap HAM, dan kebebasan individu. Selain itu, tatanan ini juga memiliki dua komponen penting lainnya, yakni ekonomi yang termanifestasikan dengan perdagangan bebas regional maupun global antar negara.

Semua tatanan ini pun terlembagakan melalui institusi seperti WTO, IMF, World Bank , serta komponen politik melalui kerjasama  dan aliansi dalam bidang pertahanan keamanan di berbagai belahan dunia dengan Amerika Serikat sebagai formatur tunggal.

Dalam buku terbarunya, The Great Delusion, pakar hubungan internasional dari Universitas Chicago John Mearsheimer mengatakan bahwa kebijakan luar negeri Washington di bawah Trump sangat berlawanan dengan prinsip liberal hegemony yang selama ini menjadi payung utama arah kebijakan negara tersebut.

Hal senada juga disampaikan oleh profesor hubungan internasional dari Princeton University, John Ikenbery. Dalam sebuah kesempatan, Ikebenry menyampaikan keterkejutannya melihat Liberal International Order perlahan hilang akibat perbuatan negaranya sendiri. Kritik yang disampaikan oleh dua pemikir utama dalam studi hubungan internasional ini didasarkan atas beberapa keputusan Trump yang kontroversial seperti mundur dari Komisi HAM PBB, UNESCO, Paris Agreement, dan Trans Pasific Partnerships.

Rivalitas AS dan China

Perang dagang yang berlangsung saat ini pun dianggap salah satu instrumen untuk melemahkan posisi China secara global. Pada Juli lalu, 22 negara termasuk Amerika Serikat mengkritik kebijakan China terhadap etnis minoritas Uighur dalam surat yang dikirim kepada Presiden Dewan HAM PBB dan Komisaris Tinggi PBB di Genewa. Namun, 50 negara dari Asia, Afrika, Amerika Latin Eropa, dan negara anggota Organisai Konferensi Islam (OKI) justru mengapresiasi langkah yang dilakukan dan membantah adanya tindakan represif terhadap etnis Uighur.

Terpilihnya Qu Dongyu sebagai Direktur Jenderal FAO pun menajdi salah satu indikator menguatnya posisi China secara global. Qu menjadi orang Asia kedua setelah Binan Rajan Sen dari India yang masa jabatannya berakhir tahun 1967.

Rivalitas AS dan China memang sesuatu yang tidak bisa dihindari mengingat posisi AS sebagai adidaya tunggal secara global. Namun, perjalanan China untuk menjadi negara superpower sudah diprediksi sebelumnya. Dalam  laporan berjudul Global Trends 2030 yang dirilis tahun 2012, US National Inteligence memprediksi bahwa China akan menjadi negara superpower pada tahun 2030.

Professor Sejarah dari University of Wisconsin Madisson, Alfred W McCoy dalam bukunya “In the Shadows of the American Century” juga memprediksi berakhirnya American Century sebelum tahun 2041. Pendapat mengenai redupnya Amerika Serikat sebagai negara adidaya global juga dikemukakan oleh Barry Buzzan dari English School. Dalam artikelnya, “A World Without Superpower -de-centered Globalism”, Buzan memprediksi bahwa tidak akan ada satu negara yang bisa secara global mempengaruhi arah politik internasional sebagaimana yang dilakukan Amerika Serikat saat ini.

Dunia yang berubah

Profesor psikologi dari Harvard University Steven Pinker dalam bukunya menyebutkan bahwa saat ini kita hidup pada periode paling baik sepanjang sejarah peradaban umat manusia. Pinker mendasari argumennya berdasarkan beberapa indikator, seperti menurunnya perang secara global, kemiskinan yang turun menjadi dibawah 10 persen pada tahun 2016, dan angka stunting yang menurun drastis. Negara yang mengadopsi prinsip demokrasi juga meningkat dari 31 negara di tahun 1971 menjadi 103 pada tahun 2015.

Untuk semua kemajuan dan perubahan yang lebih baik ini, perlu diakui kontribusi penting AS sebagai aktor utamanya.  Belum lagi kemajuan pesat dunia dalam bidang ekonomi termasuk China, India, dan Indonesia yang diprediksi masuk dalam 4 besar kekuatan ekonomi terbesar di dunia pada tahun 2030.

Para ahli dari China pun mengakui bahwa World International Order sistem yang eksis saat ini berkontribusi penting dalam menjadikan mereka menjadi salah satu negara kekuatan ekonomi terbesar di dunia sehingga tidak ada alasan untuk mengubahnya. Karenanya, kebangkitan China perlu dilihat sebagai peluang bagi kerjasama antar negara demi mendorong pertumbuhan ekonomi global yang kian lesu. Apalagi kebijakan luar negeri AS dibawah Trump yang meninggalkan pendekatan multilateralisme menjadi unilateralism.

Dalam dunia yang berubah saat ini, masyarakat internasional tentunya menginginkan AS dan China sebagai dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia untuk bekerjasama daripada berkompetisi satu sama lain. Namun, perlu kebesaran hati dari Trump dan para pengambil kebijakan di Washington untuk menerima kenyataan menguatnya pengaruh China secara global. Warga dunia juga tentunya berharap agar China dapat terus memainkan kontribusi positifnya dalam mencegah resesi global yang saat ini mulai terasa. Kemajuan Eknomi China yang sangat pesat  dalam waktu 70 tahun ini sangat berpengaruh pada perkembangan dan perubahan geopolitik dunia.

Artikel ini merupakan tulisan Humprey Arnaldo Russel, seorang pengamat politik China. Sebagai pengamat RRC, ia mengucapkan selamat hari jadi RRC ke-70 tahun dan berharap semoga kemajuannya membawa manfaat untuk hubungan Indonesia dengan RRC serta untuk perdamaian dunia.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com