Advertorial

Indonesia Jadi Pemenang dalam Perang Dagang Amerika dan China

Kompas.com - 27/11/2019, 10:14 WIB

Defisit perdagangan Amerika Serikat dengan China tercatat meningkat dari 371,8 miliar pada 2016 menjadi 395,8 miliar dollar Amerika pada 2017. Karenanya, Amerika Serikat mengambil kebijakan memperketat impor untuk menekan defisit perdagangan dengan China. China pun bereaksi dengan meningkatkan tarif impor terhadap 128 produk AS senilai 3 miliar dollar Amerika.

Bukan semata disebabkan oleh keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, perang dagang ini merupakan bagian dari perkembangan dan dinamika dalam kompetisi politik dan ekonomu internasional. Akibat dari perang dagang ini pun dirasakan oleh banyak pihak, tak terkecuali Amerika Serikat sendiri. Salah satunya adalah pengangguran yang semakin besar karena lesunya sektor ketenagakerjaan, manufaktur, transportasi, distribusi. Ditambah lagi dengan investasi global yang tidak menunjukkan peningkatan berarti.

Berbagai pihak pun mengkhawatirkan terulangnya resesi akibat dampak dari perang dagang ini. Ahli ekonomi dari Moody’s Analytic Mark Zandi menyatakan, langkah ini awalnya diambil Presiden Trump untuk memastikan posisi Amerika Serikat sebagai negara adidaya. Namun, aksi adu kekuatan ini justru mengancam tatanan ekonomi global. Jika tak dihentikan, perang dagang ini dikhawatirkan akan mempengaruhi negara-negara lainnya.

Kekhawatiran ini hendakmya dihadapi dengan pemahaman bersama akan tata kelola perekonomian dunia yang harmonis. Negara-negara pun diharapkan menerapkan prinsip kemitraan untuk menemukan jalan tengah antara perekonomian barat dengan Asia.

Perang dagang di antara Amerika Serikat dan China bisa menjadi peluang dan tantangan bagi kinerja perdagangan Indonesia. Indonesia dapat memanfaatkan peluang pasar ini untuk mengekspor produk nasional di pasar Amerika Serikat dan China akibat perang dagang kedua negara tersebut.

Terhambatnya produk ekspor China di Amerika Serikat membuka peluang bagi produk ekspor Indonesia,  begitu pula sebaliknya. Amerika Serikat dan China akan mencari pasar baru untuk produk ekspornya dengan harga lebih kompetitif dan pasar potensial, inilah tantangan sekaligus ancaman bagi Indonesia.

Perang dagang ini secara tidak langsung akan berdampak terhadap neraca perdagangan Indonesia. Salah satu dampak konkretnya terkait fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) dari Amerika Serikat. Pada 2017, Indonesia masih memperoleh manfaat GSP dalam kategori A yang memberikan pemotongan tarif bea masuk di AS untuk 3.704 produk aluminium, produk kayu dan baterai. Alhasil, Indonesia menikmati surplus perdagangan dengan AS sebesar US$ 9,7 miliar. Namun, tahun 2018 fasilitas ini dicabut. Karenanya, pemerintah diharapkan dapat membantu dengan serius para pelaku usaha, pelaku UMKM agar dapat merebut peluang pasar ekspor terutama di China yang sangat potensial.

Selain itu, pada 7 Agustus 2018 lalu Amerika Serikat mendesak World Trade Organization (WTO) agar memberi sanksi kepada Indonesia terkait pembatasan impor peternakan dan produk-produk hortikultura dari Amerika Serikat. Hal ini menjadi peringatan bagi Indonesia untuk memperluas pasar di negara lain, seperti China.

Di sisi lain, Indonesia adalah negara yang kaya dengan sumber daya alam dan mineral. Kekayaan alam Indonesia ini jelas memiliki posisi tawar yang tinggi bagi negara-negara industri untuk membangun kemitraan yang saling menguntungkan.

Misalnya saja komoditas minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) yang merupakan komoditas ekspor utama Indonesia ke China. Tahun 2018, impor China  terhadap CPO Indonesia sudah melampaui angka satu juta ton, lebih dari jumlah yang dijanjikan Presiden Xi Jinping sebelumnya. Kerja sama ekonomi Indonesia dan China pun diperkirakan akan bertambah intensif.

Meurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal Nasional (BKPM), China merupakan negara keempat terbesar penyumbang investasi asing langsung bagi Indonesia. Periode Januari-Desember 2018, investor China menginvestasikan 2,4 miliar dolar Amerika atau sekitar 8,2 persen dari total investasi asing yang masuk ke Indonesia.

Hubungan Indonesia dan China pun semakin kuat karena Visi Kemitraan Strategis 2030 antara China dan negara-negara anggota ASEAN untuk meningkatkan upaya pemenuhan target bersama volume perdagangan sebesar 1 triliun dollar Amerika dan investasi 150 miliar dollar Amerika pada 2020.

Hubungan Indonesia dan China juga telah dimulai sejak berabad-abad lalu. Indonesia merupakan bagian dari jalur maritim Jalur Sutera yang menghubungkan China dengan India dan dunia Arab. Secara tradisional, kepulauan Indonesia diidentifikasi oleh ahli geografi China kuno sebagai Nanyang.

Nanyang merupakan sumber dari rempah-rempah, bahan baku seperti cendana, emas,  timah, juga barang-barang langka eksotis. Sementara kain sutra yang halus dan keramik dari China dicari oleh kerajaan kuno Indonesia. Kerja sama bilateral Indonesia dan China merupakan suatu hubungan bersejarah yang bernilai diplomatis, idealis,  dan kompetitif

Di sisi lain, membandingkan kurs rupiah dan dolar Amerika Serikat dinilai tidak lagi relevan sebagai alat ukur. Kurs rupiah kini disandingkan dengan  kurs mitra dagang Indonesia dan salah satu yang terbesar adalah China. Ekspor Indonesia ke Amerika Serikat hanya menyumbang 10 sampai 11 persen dari total ekspor. Nilai tersebut lebih kecil dibandingkan porsi ekspor ke China (15,5 persen), Eropa (11,4 persen), dan Jepang (10,7 persen).

Indonesia kini bisa bertransaksi menggunakan yuan atau renminbi (RMB) dengan China. Terlebih kini sudah ada bilateral swap agreement antara bank sentral China bank sentral Indonesia.  Di tengah kondisi ekonomo internasional yang menghangat, Indonesia bisa menjadi pemenang dengan menjadi mitra dagang yang strategis bagi negara lain.

Artikel ini merupakan tulisan karya Murpin Josua Sembiring, rektor Universitas Ma Chung Malang.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com