Advertorial

Menelaah dan Memetik Pelajaran dari Demonstrasi di Hong Kong

Kompas.com - 22/12/2019, 13:35 WIB

Hong Kong merupakan negara bekas koloni Inggris yang kembali ke menjadi bagian dari China pada 1997. Sejak Juni 2019, demonstrasi terus terjadi di negara ini. Beberapa aksi demonstrasi diwarnai bentrokan antara polisi dengan massa.

Demonstrasi yang terus terjadi tersebut awalnya dipicu oleh usulan yang memungkinkan pelanggar hukum untuk diekstradisi ke China. Namun, kemudian demonstrasi berkembang dan tuntutan meluas hingga mencakup hak pilih dan sikap anti pemerintah.

Usulan amandemen bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana tersebut pertama kali diusulkan oleh pemerintah Hong Kong pada Februari 2019. Usulan tersebut merupakan tanggapan untuk kasus pembunuhan Wing Hiu Poon oleh pasangannya pada 2018 saat mereka berkunjung sebagai wisatawan ke Taiwan.

Karena tidak ada perjanjian ekstradisi dengan Taiwan, pemerintah Hong Kong mengusulkan amandemen peraturan untuk pelanggaran pidana dan bantuan hukum timbal balik dalam perkara pidana ordonansi. Tujuannya untuk mewujudkan mekanisme dalam kasus-kasus pelarian dan yursdiksi bagi kota yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi formal. Salah satu wilayah yurisdiksi tersebut adalah China.

Hal tersebut menimbulkan keprihatinan di kalangan masyarakat pro demokrasi Hong Kong. Ada ketakutan penghapusan pemisahan wilayah yurisdiksi dari hukum China yang dipimpin Partai Komunis mengikis prinsip satu negara dua sistem yang diterima Hong Kong sejak 1997. Penentang RUU tersebut mendesak pemerintah untuk mengeksplorasi jalan lain seperti membuat peraturan ekstradisi khusus.

Demonstrasi pada 2019terjadi empatsetengah tahun setelah revolusi payung yang menuntut reformasi sistem pemilihan di Hong Kong. Revolusi payung berakhir dengan kegagalan dan sejak itu demokratisasi di Hong Kong dianggap terhenti.

Oleh sebab itu, sejak 2017 aktivis demokrasi Hong Kong menaruh harapan bahwa Hong Kong dapat melakukan perbaikan politik. Terutama sejak kontroversi diskualifikasi enam anggota parlemen menyusul putusan pengadilan di China. Namun, ada beberapa aspek yang juga diduga menjadi pemicu protes di Hong Kong.

Aspek internasional

Pemerintah Cina sendiri menyatakan protes tersebut sebagai kerusuhan separatis karena dimata Beijing Selain itu China menyatakan bahwa telah terjadi campur tangan kekuatan asing mendukung para demonstran dimana hal itu berarti mengintervensi kebijakan dalam negerinya.

Presiden Amerika Serikat menandatangani dua undang-undang yang mendukung pengunjuk rasa Hong Kong. Pertama undang-undang yang mengatur soal peninjauan tahunan otonomi kota dari China. Kedua, undang-undang terkait pembatasan penjualan amunisi ke kepolisian Hong Kong.

Selain itu, ada juga undang-undang yang melindungi hak asasi manusia dan demokrasi di Hong Kong yang secara bulat telah ditanda tangani pada November 2019, bersama dengan aturan pendamping yang membatasi ekspor perangkat pengendalian massa dari Amerika Serikat bagi aparat kepolisian Hong Kong.

Undang-undang hak asasi manusia tersebut juga mengatur peninjauan berkala tentang hak otonom Hong Kong dari China, menjamin pemberian visa Amerika Serikat bagi warga yang ditahan karena ambil bagian dalam gerakan pro demokrasi, dan sanki berupa pembekuan aset dan pencekalan untuk masuk ke Amerika Serikat bagi pelanggar HAM.

Komisaris Tinggi PBB untuk HAM Michelle Bachelet juga menuntut pemerintah Hong Kong untuk melakukan investigasi atas dugaan tindak kekerasan yang dilakukan polisi terhadap para demonstran. Ia juga menyatakan bahwa meningkatnya kekerasan dari para demonstran mencapai tingkat menghawatirkan.

Sementara majalah Time juga menyebut bahwa ada peringatan terselubung bagi Hong Kong karena kekuatan PLA ditingkatkan dua kali lipat di perbatasan Hong Kong-Shenzhen sebagai agenda anti kerusuhan.

Aspek ekonomi dan status khusus

Sebagai wilayah administratif khusus di China, Hong Kong diatur dalam prinsip satu negara dua sistem. Oleh sebab itu Hong Kong diberi kekuasaan pemerintahan sendiri dengan kerangka hukum dan ekonomi yang sebagian besar terpisah dari Cina. Selain itu juga hak pemilu yang terbatas.

Memiliki sistem tersebut Hong Kong kemudian memiliki status khusus sebagai pusat keuangan dan bisnis global. Hong Kong jadi perantara antara Cina dan dunia. Terdapat lebih dari 1.300 perusahaan Amerika Serikat beroperasi di Hong Kong dan 300 di antaranya merupakan kantor yang mengoperasikan bisnis di regional Asia.

Hong Kong telah menjadi tujuan perdagangan Amerika Serikat dan surplus perdagangan terbesarnya pada 2018 berasal dari perdagangan yang melalui Hong Kong. Hal ini terjadi karena HK di percaya sebagai tempat yang relatif aman untuk mengakses ekonomi China. Karenanya, American Chamber of Commerce di Hong Kong mengatakan bahwa ide apa pun yang akan mengubah status khusus Hong Kong akan memberi efek pada perdagangan Amerika Serikat.

Bagi China sendiri kontribusi Hong Kong terhadap pertumbuhan ekonomi telah berkurang, tetapi kota ini tetap menjadi pusat keuangan penting bagi China. Hong Kong menjadi  tempat di mana perusahaan-perusahaan China mengumpulkan dana melalui pasar saham dan penerbitan obligasi. Hong Kong menjadi perpanjangan lengan keuangan dan ekonomi China ke seluruh dunia, membuka jalur ekonomi,  memfasilitasi internasionalisasi mata uang China.

Tianlei Huang dari Peterson Institute for International Economics Think Tank, menyatakan bahwa Beijing harus tahu bahwa melestarikan ekonomi unik Hong Kong memerlukan komitmen dan aturan penegakan hukum yang kuat sebagai kunci keberhasilan ekonominya.

Ia juga menyatakan bahwa jika Hong Kong kehilangan perlakuan khususnya dipastikan akan merusak perekonomian yang dapat berakibat signifikan pada sistem keuangan global. Undang-undang hak asasi manusia dan demokrasi yang ditandatangani Amerika Serikat, menurut Huang  dianggap dapat menyebabkan penghapusan status khusus dan bisa berakibat fatal pada prospek ekonomi dan bisnis yang beroperasi di sana.

Aspek sosial

Dalam Breaking China's Conundrum terungkap bahwa fenomena protes wilayah di China pada pemerintah pusat biasanya bersifat pengaduan atas ketidak beresan pemerintah daerah. Namun, protes di Hong Kong berbeda karena demonstran menggugat hegemoni pemerintah pusat pada hak hak sipil.

Namun diduga, terdapat hal lain yang memicu protes yaitu masalah sosial. Biaya hidup di Hong Kong relative tinggi, luasan tempat tinggal di Hong Kong juga yang rata-rata sempit sehingga menimbulkan stress.  Ini semua membutuhkan katarsis sosial. Bagi warga Hong Kong kebebasan bersuara melalui hak-hak sipil seperti demonstrasi adalah bagian darinya.

Aspek ideologi China

Sistem komunis pada intinya mengandalkan kekuatan komunal yang bekerjasama dalam fungsi nya menjalankan negara. Inilah yang disebut sebagai paham demokratik sosialis yang dipegang Partai Komunis China (PKC). Mereka yang melakukan pengendalian politik negara.

Sementara warga negara bukan anggota partai dan wajib untuk tunduk pada keputusan serta pengendalian negara. Namun,  mereka berhak mendapatkan berbagai pelayanan, bimbingan, perlindungan dan pendidikan dari negara. Sementara dari segi ekonomi, PKC sejak era Deng Xiaoping menerapkan liberalisme dengan istilah bird cage economy.

Pertumbuhan ekonomi dilakukan melalui strategi pengembangan wilayah. Sebuah strategi ekonomi yang terbukti sukses membawa RRC menjadi kekuatan global terkuat setelah Amerika Serikat.

Tumbukan budaya

Fenomena protes berkepanjangan yang kita lihat di Hong Kong adalah sebuah tumbukan budaya. Pada satu sisi warga merasa marah karena berkurangnya hak sipil. Namun, di sisi lain Pemerintah Pusat China ingin memberikan kebebasan dengan syarat dan ketentuan yang maksimum mereka bisa toleransi.

Pemerintah China juga menyadari kontribusi ekonomi Hong Kong pada ekonomi nasionalnya secara keseluruhan. Oleh sebab itu, ketika pengunjuk rasa menduduki obyek vital nasional seperti bandara, pemerintah China menanganinya dengan hati-hati.  

Implikasi dan pelajaran untuk Indonesia

Situasi di Hong Kong saat ini ternyata juga memberi dampak bagi Indonesia. Satu hal yang terlihat paling jelas adalah munculnya ketidak pastian di sektor ekonomi. Ekspor impor dari Indonesia ke Hong Kong atau sebaliknya berpotensi terganggu.

Terjadi keraguan akan meningkatnya indeks risiko dan terjadinya capital outflow dari Hong Kong ke negara penerima investasi. Namun hal ini juga menimbulkan peluang bagi negara lain untuk merebut investasi yang datang dari Hong Kong. Salah satu negara yang siap dan paling logis untuk menampung investasi tersebut adalah Macau yang lokasinya dekat dengan Hong Kong.

Sementara pelajaran yang dapat diambil dari Hong Kong  bagi Indonesia adalah benturan budaya yang mungkin terjadi. Hal ini mengingat Indonesia memiliki sejumlah daerah otonomi khusus dan juga rawan tindakan separatisme sehingga pembangunan infrastruktur dan ekonomi semata belum cukup. Selain itu pelajaran bahwa isu internal dapat memantik reaksi dari dunia internasional.

Artikel ini disunting dari naskah yang ditulis oleh Connie Rahakundini Bakrie, Analis Pertahanan dan Militer.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com