Advertorial

Kehidupan Muslimah yang Sejalan dengan Perkembangan Islam sebagai Minoritas di China

Kompas.com - 22/05/2020, 16:44 WIB

Kehidupan muslim di China mempunyai beberapa sudut pandang yang berbeda. Bahkan, tidak sedikit yang memiliki pandangan bahwa ideologi yang dianut oleh negara China menafikan agama bagi rakyatnya.

Namun, di sisi lain penyebaran Islam sebagai agama minoritas di China juga tak bisa dipandang sebelah mata. Islam telah berkembang dan menyebar di seluruh daratan China.

Lalu, bagaimana kondisi para muslim sesungguhnya di sana?

Hilyatu Millati Rusdiyah merupakan mahasiswa Indonesia yang menempuh program Doktoral Jurusan Business Administration Chingqing University menceritakan bagaimana kehidupan muslim di China.

Ia mengatakan bahwa saat pertama kali menginjakkan kaki di China pada 2011, ia jarang menemui perempuan Islam lokal yang mengenakan jilbab. Jikapun ada, mereka adalah muslimah lanjut usia yang rutin mendatangi masjid setiap hari Jumat dan di bulan Ramadan.

Jarangnya perempuan yang menggunakan jilbab, menjadikan jilbab aneh di mata warga lokal.

“Sebagai pendatang baru, saya sempat merasa risih karena terlalu banyak mata memandang dan selalu mendapat banyak pertanyaan dari warga sekitar terkait jilbab yang saya kenakan. Hal ini karena rasa ingin tahu mereka,” ujar Hilyatul.

Namun, seiring berjalannya waktu semakin banyak muslimah lokal yang berjilbab di China. Tak hanya para lanjut usia, banyak muslimah muda yang mulai mengenakan jilbab. Mereka terlihat sering mendatangi masjid di hari Jumat, bahkan konsisten menggunakannya dalam keseharian.

Di Yiwu, sebuah kota pusat grosir dunia di China, banyak muslimah muda berjilbab yang merupakan pedagang di pusat grosir tersebut. Bagitu pula di kota Xian yang pernah menjadi ibu kota China di masa lampau, banyak muslimah hilir mudik di sepanjang tempat wisata yang terletak di pusat kota.

“Para muslimah berjilbab kini tidak lagi asing di China. Keberadaannya mudah dijumpai seiring dengan menjamurnya restoran-restoran halal di setiap pelosok kota China,” cerita Hilyatul.

Berbicara mengenai restoran halal, muslim di China telah mendapat prioritas untuk mendapatkan supply makanan halal. Bahkan di Shanghai, kota metropolitan internasional di China, telah menetapkan regulasi untuk menjamin pasokan makanan halal bagi Muslim.

Pabrik, sekolah, dan kantor pemerintah yang memiliki anggota muslim diharuskan memiliki kantin Muslim dengan makanan halal. Bahkan, hampir semua kampus di China menyediakan kantin Muslim yang terpisah dengan kantin non-Muslim.

Kantin-kantin tersebut mayoritas dikelola oleh muslim China dari etnis Hui dan Uighur yang menjajakan menu makanan halal khas daerah mereka.

Sejarah Islam dan hak istimewa muslim di China

Hilyatul juga menceritakan sejarah Islam sebagai agama minoritas tetap bertahan hingga memiliki beberapa hak istimewa.

Diceritakan bahwa menjelang berdirinya Republik Rakyat China, Komite Konsultasi Politik Rakyat Tiongkok dalam Garis Besar Tatanan Negara menyatakan bahwa berbagai etnis minoritas dapat mempertahankan bahasa, adat istiadat, dan kebebasan beragama mereka.

Hilyatul Millati Rusdiyah di depan salah satu masjid di China.Dok. Pribadi Hilyatul Millati Rusdiyah di depan salah satu masjid di China.

Selain itu, Kementerian Keuangan Dewan Negara mengumumkan pada 26 Januari 1951, bahwa bangunan yang terkait dengan masjid dan makam pemimpin Sufi, serta kuil-kuil Buddha Tibet akan dibebaskan dari pajak dan reformasi tanah.

Setelah mengalami periodesasi kelam saat revolusi kebudayaan pada era Mao Zedong tahun 1960an, Islam di China telah mengalami kebangkitan sejak Deng Xiaoping mengadopsi kebijakan reformasi dan keterbukaan pada akhir 1970-an.

Pada masa tersebut, umat muslim umumnya menikmati kebebasan untuk mempraktikkan agama setelah masjid-masjid difungsikan kembali dan diuntungkan dengan kebijakan Preferensial, yaitu sebuah kebijakan yang memberikan hak istimewa kepada muslim minoritas.

Kebijakan semacam itu telah dilakukan oleh Pemerintah China sejak program identifikasi etnis minoritas dipromosikan pada tahap pertama tahun 1950-an.

Berdasarkan kebijakan tersebut, etnis minoritas muslim dapat membentuk unit otonom mereka sendiri seperti daerah, prefektur, kabupaten, dan kota, dimana kader minoritas terpilih akan diberi peran kepemimpinan.

Di China sendiri, tercatat ada 10 etnis populasi muslim, yaitu Hui, Uighur, Kazakh, Dongxiang, Kyrgyz, Salar, Tajik, Uzbek, Bonan, dan Tatar. Hui dan Uighur merupakan populasi Muslim terbesar di China yang masing-masing memiliki jumlah populasi lebih dari 10 juta jiwa.

Hilyatul mengatakan bahwa sebagai etnis minoritas, muslim China mendapatkan hal istimewa yang tidak dimiliki oleh etnis Han sebagai mayoritas.

“Sebelum kebijakan One Child Policy direvisi pada 2016, muslim China sebagai etnis minoritas mendapat pengecualian dan diperbolehkan memiliki lebih dari satu anak. Hak istimewa tersebut tentunya juga berlaku untuk semua etnis minoritas di China lainnya,” ungkapnya.

Tak hanya itu, hak istimewa lain yang didapatkan adalah muslim China mendapat fasilitas pemakaman bila meninggal dunia. Kebijakan tersebut berbeda dengan rakyat China pada umumnya yang dikremasi ketika meninggal.

Di sebagian masjid di China seperti di Guangzhou dan Quanzhou, terdapat area pemakaman muslim yang dirawat dan dilestarikan hingga sekarang.

Hak istimewa lainnya bagi etnis minoritas di China adalah memiliki daerah otonomi khusus yang mulai dibentuk pada 1958. Pemerintah China menjadikan dua provinsi sebagai daerah otonomi khusus bagi etnis muslim, yaitu Ningxia Hui Autonomous Region dan Xinjiang Uighur Autonomous Region. Kedua wilayah tersebut berlokasi di China bagian barat laut.

Di kedua daerah otonomi, Pemerintah China meliburkan kantor pemerintahan selama tiga hari pada perayaan hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha serta memberikan libur cuti kerja bagi pekerja muslim baik yang dipekerjakan oleh negara atau komunitas desa.

Sedangkan muslim China lainnya yang tersebar di selain kedua daerah tersebut, mayoritas adalah pengusaha restoran halal yang diberikan kebebasan untuk merayakan hari raya.

Masjid di China

Menurut data statistik China 2014, terdapat 39.135 masjid di China. Lebih kurang 24.000 di antaranya berlokasi di Xinjiang.

 “Pembangunan masjid-masjid tersebut dibiayai oleh komunitas muslim China, dan Pemerintahan China memberikan subsidi serta fasilitas berupa tanah,” tambah Hilyatul.

Saat perekonomian China tumbuh pesat di era Deng Xiaoping, Pemerintah China mulai meningkatkan pembangunan ekonomi di provinsi-provinsi bagian barat China yang merupakan tempat mayoritas penduduk muslim tinggal.

Sejak saat itu, masjid-masjid mulai menjamur di berbagai kota-kota di China, tidak terbatas di bagian barat China saja dan jumlahnya bisa mencapai puluhan di setiap kotanya.

Bahkan, di beberapa kota besar, masjid terletak di jantung kota yang berdampingan dengan gedung-gedung pencakar langit. Seperti masjid di kota Chengdu yang berlokasi tepat di sisi alun-alun kota, Tianfu Square, dan masjid di kota Chongqing yang berlokasi tak jauh dari Jiefangbei yang merupakan pusat bisnis terbesar di China bagian barat.

“Pemerintah China juga mendorong warga muslim yang tinggal di bagian barat China untuk merantau ke provinsi-provinsi yang pertumbuhan ekonominya lebih tinggi di bagian timur China,” tutup Hilyatul.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com