Advertorial

Hadapi Fintech dan Neobank di Era 5G, Arwin Rasyid: Perbankan Harus Segera Go Digital dan Menjadi Game Changer

Kompas.com - 20/08/2020, 09:43 WIB

KOMPAS.com – Perbankan konvensional menghadapi sejumlah tantangan di era digital. Tantangan tersebut berupa pertumbuhan layanan finansial berbasis teknologi (fintech).

Data CB Insight menunjukkan bahwa pertumbuhan fintech di dunia tidak main-main. Setidaknya ada dua perusahaan fintech dunia yang masuk dalam daftar 10 besar startup dengan valuasi lebih dari 10 miliar dollar Amerika Serikat (AS), atau berstatus decacorn.

Sementara di Indonesia, ada OVO, startup fintech yang saat ini telah menyandang status unicorn atau bervaluasi lebih dari 1 miliar dollar AS. Selain OVO, dikenal pula Gopay, DANA, dan masih banyak lagi.

Selain menawarkan solusi pembayaran, hadir pula fintech berformat P2P lending yang menawarkan kemudahan peminjaman dana.

Saat ini, setidaknya sudah ada 158 platform fintech P2P lending terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), meskipun baru 33 platform di antaranya yang mendapatkan izin.

Tantangan lainnya adalah neobank atau the challenger bank, yaitu bank digital yang beroperasi tanpa kantor cabang. Sejak hadir pada 2016, kini sudah terdapat 45 neobank di seluruh dunia.

Pengelola jenis bank tersebut umumnya adalah perusahaan teknologi, seperti media sosial dan e-commerce.

KakaoBank di Korea Selatan, misalnya, lahir dari aplikasi pesan singkat KakaoTalk. Sementara di China, perusahaan teknologi yang mengembangkan WeChat juga melahirkan neobank bernama WeBank. 

Contoh neobank lainnya adalah KlarnaBank yang dikembangkan oleh aplikasi belanja ShopNowPayLater asal Swedia.

Baik fintech maupun neobank bukan tidak mungkin menggeser fungsi perbankan konvensional karena menawarkan layanan yang lebih mudah untuk diakses dan kenyamanan transaksi. 

Oleh sebab itu, bankir yang juga mantan CEO CIMB Niaga Arwin Rasyid mengatakan perbankan harus bisa menjadi game changer yang selalu sigap bertransformasi mulai dari era 3G, 4G, hingga 5G yang sebentar lagi tiba.

“Era 5G akan berkembang semakin pesat sehingga bank hendaknya bersiap dengan mengadaptasi berbagai teknologi digital yang relevan bagi peningkatan layanan perbankan,” kata Arwin dalam peluncuran bukunya yang berjudul Digital Banking Revolution: Belajar dari Digital CIMB Niaga & Tips Bertahan di Era Fintech, Jumat(14/8/2020).

Dalam buku terbarunya ituia membeberkan strategi agar perbankan konvensional dapat berkompetisi atau berkolaborasi dengan fintech dan neobank di era digital.

Strategi pertama adalah mengubah paradigma bisnis. Hadirnya startup bervaluasi miliaran rupiah menunjukkan bahwa saat ini pertumbuhan aset bukan lagi segalanya bagi perusahaan. Perusahaan-perusahaan digital umumnya sudah fokus dalam pengembangan platform, ekosistem, dan omnichannel.

“Perubahan paradigma bisnis perbankan harus menyesuaikan dengan paradigma fintech dan neobank yang telah terbukti berhasil meraih kepercayaan masyarakat,” lanjut Arwin.

Oleh karena itu, menurut pria yang juga pernah menjabat sebagai CEO PT Telkom ini, transformasi digital merupakan sebuah keniscayaan. Perbankan pun harus menjalankan langkah berdasarkan empat pilar budaya, yakni inovasi, customer and user experience (CX & UX), cross-selling yang efektif, serta sumber daya manusia (SDM) yang terlatih baik.

“Bank hendaknya menyadari bahwa nasabah, dalam situasi kehidupan yang semakin complexed (rumit) and complicated (pelik) ini, akan selalu mencari alternatif yang nyaman, praktis, cepat, dan aman dalam aktivitas perbankan mereka,” lanjutnya.

Penerapan digital banking nantinya akan memberikan keuntungan bagi perbankan konvensional berupa menurunnya biaya transaksi (reduce cost of transaction), menaikkan pemasukan (increase revenue from fee-based income), dan dapat mengumpulkan dana hingga nilai terendah (amass cheapest funds).

Tak hanya itu, digital banking juga tidak membutuhkan cabang sehingga mendekatkan masyarakat pada akses keuangan dan mendukung inklusi keuangan.

Ketiadaan kantor cabang tersebut juga mengharuskan perbankan menerapan paradigma baru seperti fintech dan neobank, yakni membangun kekuatan bisnis berbasis konten dan tak lagi bergantung pada ukuran aset.

Dengan strategi tersebut, lanjut Arwin, perbankan bisa mengantisipasi tren neobank raksasa yang kemungkinan tumbuh dari platform media sosial dan e-commerce seperti di berbagai negara lain.

Semangat berkolaborasi

Sementara itu, praktisi dan CEO Investree Adrian Gunawan yang turut hadir dalam peluncuran karya Arwin Rasyid tersebut mengatakan, sebenarnya pertumbuhan fintech di Indonesia tidak lepas dari peran perbankan.

Oleh sebab itu, antara fintech dan perbankan konvensional sebaiknya mempererat kolaborasi dan kemitraan.

“Rata-rata kita masih melihat semangat dari kolaborasi atau coopetition (bermitra) daripada pure competition karena masing-masing fintech membidik sektor yang berbeda,” jelas Adrian.

Senada dengan Adrian, CEO CIMB Niaga Tigor M Siahaan pada kesempatan yang sama juga menyampaikan bahwa bank dapat bekerja sama dengan fintech. Tujuannya untuk melengkapi kelebihan dan kekurangan masing-masing dalam memberikan layanan keuangan bagi masyarakat.

“Kooperasi (kerja sama) ini sudah terjalin, tapi masih banyak yang bisa kami gali lagi. Kami (bank konvensional) masih bisa banyak belajar dari anak-anak muda di fintech ini sehingga kita bisa meningkatkan inovasi-inovasi kita ke depannya,” kata Tigor.

Kolaborasi antara fintech dan perbankan dapat menjadi salah satu solusi selagi bank belum dapat mengadopsi teknologi.

Untuk kembali menyaksikan talkshow tentang fintech dan neobank dalam peluncuran buku terbaru Arwin Rasyid, silakan klik link ini.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com