Advertorial

Lebih Rinci, UU Minerba Terbaru Perbaiki Tata Kelola Pertambangan Sebelumnya

Kompas.com - 30/09/2020, 16:51 WIB

KOMPAS.com – Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara mengatur sejumlah poin untuk memperbaiki tata kelola pertambangan yang sudah berjalan.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin mengatakan, UU Minerba tersebut berupaya memaksimalkan manfaat sumber daya alam dan energi Indonesia untuk kepentingan masyarakat.

“Semangat ini sudah tertuang di dalam UU Minerba yang tidak lagi berpandangan atas kepentingan sektor, tetapi juga kepentingan nasional,” ujar Ridwan.

UU Minerba yang baru ini, lanjut Ridwan, secara garis besar memiliki empat substansi pokok. Berikut penjelasannya secara rinci.

  1. Perbaikan tata kelola pertambangan nasional

UU Minerba No. 3 Tahun 2020 menegaskan kontrol negara atas kegiatan eksplorasi. Melalui UU ini, pemerintah ingin meningkatkan gairah eksplorasi minerba.

Caranya, dengan melakukan penyelidikan dan penelitian pertambangan kepada badan usaha untuk menyiapkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Perusahaan spesialis eksplorasi juga didorong untuk mengajukan permohonan wilayah penugasan atau mengikuti lelang WIUP.

Setelah memenuhi syarat sesuai ketentuan UU, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dijamin dapat melakukan kegiatan operasi produksi.

Namun, negara mewajibkan perusahaan menyediakan Dana Ketahanan Cadangan (DKC). Dana ini akan digunakan pemegang IUP/IUPK untuk melakukan eksplorasi lanjutan yang besarannya ditetapkan dalam rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB).

Pemerintah meyakini, UU Minerba memiliki dua perizinan yang lebih sederhana dan jelas daripada UU sebelumnya, yaitu Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB) dan Izin Usaha Pertambangan Batuan (IUPB). Kedua izin ini hanya diterbitkan untuk pengusaha nasional.

Untuk memperkuat tata kelola pertambangan nasional, pemerintah menghadirkan konsep wilayah hukum pertambangan (WHP) Indonesia. Konsep WHP meliputi ruang darat, ruang laut (ruang dalam bumi), tanah di bawah perairan, dan landas kontinen.

Perlu ditekankan, WHP bukan untuk kegiatan penambangan. WHP menjadi ruang penyelidikan dan penelitian untuk mengetahui potensi mineral dan batu bara.

Apabila ingin mengeksplorasi wilayah tersebut, statusnya harus diubah menjadi wilayah pertambangan dengan melibatkan pemerintah daerah (pemda) dan masyarakat, serta sesuai rencana tata ruang.

  1. Berpihak pada kepentingan nasional

UU Minerba mewajibkan pihak asing melakukan divestasi saham sebesar 51 persen agar masyarakat Indonesia bisa berdaulat di negeri sendiri. Peraturan ini juga berlaku bagi perusahaan yang telah berada di tahap produksi dan sahamnya dimiliki asing.

Demi meningkatkan nilai tambah, pengusaha minerba juga wajib mengolah dan memurnikan mineral di dalam negeri. Khusus poin ini, pemerintah memberikan jangka waktu paling lama tiga tahun sejak UU diberlakukan kepada pemegang rekomendasi ekspor untuk membangun smelter di Indonesia.

Wewenang perizinan smelter diberikan kepada dua kementerian, yaitu Kementerian ESDM untuk smelter yang terintegrasi dengan penambangan serta Kementerian Perindustrian untuk smelter yang tidak terintegrasi.

UU ini juga menguatkan peran BUMN. Peran yang dimaksud, yaitu bisa memiliki lebih dari satu IUP/IUPK, luas WIUPK dapat melebihi luas maksimal WIUP normal, mendapat prioritas dalam pemberian wilayah penugasan penyelidikan dan penelitian, serta bisa diberikan perpanjangan IUP/IUPK sampai umur cadangan.

Selain itu, demi kepentingan nasional pula, pemerintah akan mengontrol ketat produksi dan penjualan minerba. Kontrol ini meliputi wewenang menetapkan jumlah produksi, penjualan (domestik dan ekspor), serta harga mineral dan batu bara. Dengan begitu, pemda tidak lagi berwenang penuh atas pertambangan.

Meski demikian, pemda tetap akan mendapatkan 6 persen keuntungan bersih dari pemegang IUPK. Dengan komposisi 1,5 persen untuk pemerintah provinsi (pemprov), 2,5 persen untuk pemerintah kabupaten/kota (pemkab/pemkot), dan 2 persen untuk pemkab/pemprov lain dalam satu provinsi. Sementara itu, pemerintah pusat akan mendapatkan 4 persen.

Iuran pertambangan rakyat tersebut menjadi bagian dari struktur pendapatan daerah berupa pajak dan/atau retribusi daerah. Nantinya, dana ini akan dikembalikan lagi untuk pengelolaan tambang rakyat.

  1. Kepastian hukum

UU sebagai payung hukum tentunya juga harus memberikan kemudahan investasi. Untuk itu, pemerintah memberikan jaminan tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUP/WIUPK dan WPR yang telah ditetapkan.

Pemerintah juga menyederhanakan perizinan dengan menggabungkan IUP tahap eksplorasi dan operasi produksi. Tentu saja dengan beberapa ketentuan, yaitu masa berlaku tiap tahapan kegiatan harus rinci dan kegiatan produksi bisa dilakukan setelah memenuhi kewajiban teknis dan lingkungan.

Pemegang IUP/IUPK juga mendapatkan insentif nonfiskal bila meningkatkan nilai tambah (PNT) secara terintegrasi. Bentuk insentif bisa berupa jangka waktu IUP/IUPK 30 tahun, perpanjangan selama 10 tahun, dan perpanjangan jangka waktu dimulainya pelaksanaan divestasi.

Selain itu, pemerintah juga tidak akan lepas tangan soal hak atas tanah masyarakat. Pemerintah pusat akan menjadi mediator dan/atau fasilitator dalam penyelesaian hak atas tanah, termasuk masalah ganti rugi.

Sebagai bentuk transparansi, partisipasi publik akan menjadi poin utama dalam penetapan wilayah pertambangan. Oleh sebab itu, pemerintah wajib mengumumkan wilayah tersebut kepada publik sebelum melakukan lelang WIUP.

  1. Pengelolaan lingkungan hidup

Pertambangan tak bisa dipisahkan dengan lingkungan. Untuk itu, dalam UU Minerba, pemerintah tak mengabaikan dampak lingkungan yang selalu menjadi polemik berkepanjangan.

Perusahaan pemegang izin diwajibkan melakukan reklamasi pascatambang hingga 100 persen. Aturan ini tidak berlaku bila pemerintah pusat dan daerah meminta lahannya untuk kepentingan umum.

Apabila tidak memenuhi aturan tersebut, sebagai sanksinya, pihak yang tidak melakukan reklamasi pascatambang tanpa dana jaminan akan dikenakan pidana hingga 5 tahun penjara dan denda hingga Rp 100 miliar. Sebagai konsekuensinya, IUP/IUPK perusahaan yang melanggar ini juga akan dicabut.

Dengan UU Minerba ini, Ridwan meyakini rakyat Indonesia akan semakin berdaulat di negara sendiri dalam hal pertambangan dan energi.

“Saya berharap, UU ini dapat menjadi semangat dalam memperingati Bulan Hari Pertambangan dan Energi 2020,” tutur Ridwan.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com