Advertorial

Diadakan Secara Daring, BWCF 2020 Angkat Tema Pandemi yang Terjadi di Masa Lalu Nusantara

Kompas.com - 30/11/2020, 15:17 WIB

KOMPAS.com - Borobudur Writer and Cultural Festival (BWCF) kembali diselenggarakan meski di tengah pandemi 2020. Ajang festival penulis dan peneliti tahunan yang ke-9 ini diadakan secara virtual untuk pertama kali pada 19-29 November 2020. 

Pada perhelatan tahun ini, BWCF mengangkat tema “Bhumisodhana, Ekologi dan Bencana dalam Refleksi Kebudayaan Nusantara”.

Tema itu dipilih karena dunia, termasuk Indonesia, sedang menghadapi pandemi Covid-19.

Oleh karena itu, BWCF 2020 berusaha mengangkat berbagai peristiwa pandemi yang pernah dialami Nusantara. Hal tersebut bertujuan agar masyarakat bisa mengetahui bahwa dunia dan bumi Nusantara pernah melewati situasi seperti sekarang. 

Festival penulis dan budaya tersebut dibuka secara resmi oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Hilmar Farid yang disiarkan secara langsung melalui Youtube BWCF, Kamis (19/11/2020).

Hilmar menjelaskan, BWCF memiliki kontribusi penting di dalam pembentukan wacana publik di Indonesia. Sebagai contoh, kata dia, BWCF 2013 mengangkat tema “Arus Balik: Memori Rempah dan Bahari Nusantara antara Kolonial dan Poskolonial” dan wacana tersebut kini menjadi program resmi dari Kemendikbud.

“Tema BWCF tahun ini sangat diperlukan dan relevan untuk situasi sekarang. Banyak ahli dan praktisi (kebudayaan) yang merespons situasi sekarang. Saya sangat berharap kontribusinya terhadap Indonesia, (terutama) terhadap keselamatan kita dan bangsa,” ujar Hilmar Farid.

Adapun BWCF 2020 dimeriahkan dengan beberapa sesi yang bisa dinikmati para penonton secara daring. Di antaranya, pidato kebudayaan, simposium, forum call for papers, seni pertunjukan, peluncuran buku, hingga ceramah kebudayaan. Selain itu, terdapat pula sesi jumpa penerbit dan meditasi yoga.

Rangkaian acara BWCF 2020 dimulai dengan Pidato Kebudayaan oleh KRT Manu J Widyaseputra dengan topik “Pandemik Aji Candabirava dalam Bratayuda Jayabina?un Menurut Serat Bratayuda”.

Dilanjutkan dengan program launching dan mempresentasikan 4buku dalam format webinar yang berkisah tentang wabah-wabah di Nusantara. 

Di antaranya, Perang Melawan Influenza, Pandemi Flu Spanyol di Hindia Belanda 1918-1919 yang ditulis oleh Ravando, Wabah Penyakit & Penanganannya di Cirebon 1906-1940 oleh Imas Emalia, Jaman Woneng – Wabah Sampar di Priangan 1925-1937 oleh Atep Kurnia, dan Epidemi Penyakit PES di Malang 1911-1916 oleh Syefri Luwis. 

Selanjutnya, ada program simposium yang memiliki 4 topik dengan tema wabah untuk dibahas dalam 4 sesi. Pertama ada “Penyakit-penyakit Zaman Pra Sejarah dari Periode Homo Erectus sampai Kedatangan Migrasi Astronesia”Kedua ada seni pertunjukan dengan tema “Seni Sakral Nusantara dan Relasinya dengan Wabah”. 

Selanjutnya, ada “Komunitas Adat Nusantara, Mitigasi Tradisional dan Epistemologis Sains Lokal dalam Menghadapi Wabah”Topik terakhir dalam simposium adalah “Revolusi Sosial, Perang, dan Wabah”. 

Penghormatan untuk dua seniman

Secara khusus, BWCF ke-9 juga memberikan tribute untuk dua seniman besar Indonesia yang wafat belum lama ini, yaitu tokoh meditasi gerak Suprapto Suryodarmo dan sastrawan Ajip Rosidi. 

Dua acara penghormatan tersebut diberi tajuk “Amerta: Tribute to Suprapto” dan “Jatiniskala: Tribute to Ajip Rosidi”Pada kedua acara ini, BWCF menampilkan kesaksian para tokoh budaya, agama, jurnalis, dan peneliti. 

Untuk Tribute to Suprapto, BWCF menyuguhkan pertunjukan tari, ritual, serta video seni. Pertunjukan tersebut diisi oleh lima seniman yaitu, Melati Suryodarmo, Benny Krisnawardi, Arahmaini, Fitri Setyaningsih, dan Hallilintar Lathief. Pertunjukan ini dipersiapkan khusus sebagai bentuk penghormatan kepada Suprapto Suryodarmo.

Sementara, pada Tribute to Ajip Rosidi, BWCF mengadakan pembacaan surat dan teks yang ditulis langsung oleh Ajip Rasidi. Acara ini diisi oleh lima budayawan, yakni Dr Hawe Setiawan, Aditia Gunawan, Dr Munawar Holil, Dadan Sutisna, dan Dr Jajang A Rohmana.

Adapun teks yang dibaca mengenai naskah Sunda Kuna seperti Manuskrip Wasangkerta, dan Wawacan. Ada juga pembacaan fragmen untuk melengkapinya.

Sebagai penghormatan kepada sastrawan tersebut, BWCF juga memutar film dokumenter yang digarap oleh sutradara asal Belanda, Kos Janssen. Pemutaran film berlangsung pada Kamis-Jumat (19-20/11/2020).

Acara reguler

Meski diselenggarakan secara daring, BWCF tidak menghilangkan rangkaian acara khas festival tahunan tersebut. Sesi Morning Meditation dan Yoga yang sudah ada sejak 2017 tetap diselenggarakan. 

Sesi tersebut dipandu oleh Brenda ie McRae dari Yayasan Dhamma-Sukha dan Yudhi Widdyantoro dengan tema “Nature Healing”.

Ceramah Umum juga tetap diselenggarakan pada festival tahun ini. Sesi tersebut diisi oleh Penasihat BWCF Hudaya Kandahjayayang akan memaparkan tema utama BCWF tahun ini mengenai makna Bh?mi?odhana.

Pada hari ke-2, BWCF virtual akan dibuka dengan program Ceramah Umum sesi ke-2 bersama Fadjar Ibnu Tufailyang. Ia menyajikan pembicaraan tentang Digitalisasi Borobudur Sebagai Kerja Ontologis.

Program khas BWCF lainnya, yakni Baca Relief, tetap dilaksanakan meski tidak bisa dilakukan di Candi Borobudur. Program ini juga sukses dilaksanakan secara virtual melalui webinar bersama Destario Metusala dan Handaka Vijjandanda. 

Program Baca Relief kali ini membedah aneka relief tumbuhan di panel-panel Lalitavistara Candi Borobudur sebagai upaya merekonstruksi diversitas tumbuhan pada masa Jawa Kuno. Dengan demikian, masyarakat era sekarang bisa melihat perspektif masyarakat Jawa Kuno terhadap keragaman tumbuhan.

Untuk festival kebudayaan, BWCF 2020 menampilkan sesi webinar dari Forum Call for Paper yang menyuguhkan makalah-makalah peserta festival. Forum ini terselenggara berkat kerja sama Kemendikbud dan Penerbit Ombak. 

Festival tersebut juga memperkenalkan dua jilid buku Menolak Wabah: Suara-suara Manuskrip, Relief, Khazanah Rempah, dan Ritual Nusantara. Kedua buku setebal 800 halaman ini berisi seluruh makalah peserta forum.

Pada acara puncak, BWCF memberikan penghargaan Sang Hyang Kamahayanikan kepada Dr Riboet Darmosoetopo atas jasa dan dedikasi beliau dalam menggali dan melestarikan manuskrip Nusantara.

Festival tahunan ini dapat terselenggara atas dukungan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, PT Bank Central Asia, Gallery Cemara bersama Studio Banjarmili, Laboratorium Sinema, Penerbit Ombak, Uvindo, dan mitra-mitra media.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com