Advertorial

Kebijakan Kampus Merdeka, Decoupling atau Recoupling Perguruan Tinggi?

Kompas.com - 30/11/2020, 16:25 WIB

KOMPAS.com – Sebagai lembaga pendidikan yang menjadi kelanjutan pendidikan menengah, perguruan tinggi memiliki tugas untuk mempersiapkan peserta didik agar memiliki kemampuan akademis dan profesional.

Rektor Universitas Katolik Parahyangan Mangadar Situmorang menjelaskan setidaknya terdapat tiga kewajiban yang dimiliki perguruan tinggi. Pertama, menghasilkan lulusan yang memenuhi beberapa kualifikasi, yakni lulusan perguruan tinggi seharusnya bekerja dan berkarier atau tidak boleh menganggur.

“Lulusan perguruan tinggi seharusnya menjadi teladan dalam banyak kebaikan dan keutamaan, seperti pengetahuan, keterampilan, sikap tangguh, jujur, tidak koruptif, pembelajar, serta berkontribusi bagi kemajuan diri, keluarga, dan masyarakat,” kata Mangadar dalam rilis yang diterima Kompas.com, Kamis (26/11/2020).

Kedua, pengaplikasian Tri Dharma perguruan tinggi. Menurut Mangadar, lulusan perguruan tinggi harusnya mampu menjawab dan mengatasi berbagai masalah yang dihadapi masyarakat, seperti kemiskinan, pengangguran, dan pelanggaran hukum.

Ketiga, perguruan tinggi harus mampu bersaing dengan perguruan tinggi luar negeri dan berada di jajaran peringkat secara internasional dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

Belum mampu memenuhi tugas

Sayangnya, menurut Mangadar, perguruan tinggi belum mampu memenuhi tugas dan kewajiban tersebut. Hal ini terlihat dari semakin tingginya jumlah lulusan perguruan tinggi yang menganggur dan rendahnya peringkat perguruan tinggi Indonesia dalam pemeringkatan global.

“(Kemudian) pelaku pelanggaran hukum, khususnya korupsi, kebanyakan lulusan perguruan tinggi dan menumpuknya persoalan masyarakat yang tidak terselesaikan,” ujar Mangadar.

Lebih lanjut, Mangadar mengatakan, perguruan tinggi di Indonesia juga memiliki beberapa kecenderungan yang bertentangan dengan tugasnya. Misalnya, kecenderungan komersialisasi dan mahalnya pendidikan.

Selain itu, perguruan tinggi cenderung semakin eksklusif sehingga menimbulkan pandangan hanya dapat diakses oleh masyarakat yang mampu secara ekonomi atau yang tinggal di perkotaan.

Kemudian, imbuh Mangadar, perguruan tinggi terlalu berorientasi pada ranking dunia dan kurang berakar pada konteks lokal kemasyarakatan. Konteks yang dimaksud dalam konteks keilmuan yang memiliki karakter kebenaran universal, seperti bidang sains dan teknologi.

“Tetapi, lebih kepada pemanfaatan untuk mengatasi persoalan sosial-kemasyarakatan setempat dan mengangkat potensi-potensi lokal ke tataran global, baik itu sumber daya alam maupun kearifan lokal,” paparnya.

Antara decoupling dan recoupling

Mangadar juga mengatakan, untuk mengatasi kelambanan dan ketidak-fleksibelan program studi (prodi) perguruan tinggi tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan kebijakan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM).

Kebijakan ini mewajibkan kampus memberikan hak kepada mahasiswa untuk belajar di luar program studinya selama 3 semester. Dengan begitu, mahasiswa dapat keluar dari stagnasi akibat ketidakfleksibelan kampus.

Menurut Mangadar, langkah itu menjadi cara Kemendikbud untuk merombak dan melepaskan (decoupling) prodi dan perguruan tinggi dari kemapanan sistemiknya. Persoalan ketidakcocokan (mismatch) antara perguruan tinggi dan dunia usaha dan industri pun dapat diatasi.

Namun, hingga saat ini, program MBKM itu masih sebatas penawaran bagi mahasiswa dan tidak bersifat wajib untuk dilaksanakan. Padahal, jika hal itu diwajibkan kepada mahasiswa, perubahan yang radikal dan fundamental akan segera terjadi.

Sebab, dengan MBKM, lulusan perguruan tinggi diharapkan tidak lagi gagap memasuki dunia kerja karena ketika menempuh studi sudah memiliki pengalaman lewat magang atau praktik kerja di industri.

Rektor Universitas Katolik Parahyangan Mangadar Situmorang (Dok. Universitas Katolik Parahyangan) Rektor Universitas Katolik Parahyangan Mangadar Situmorang

“Lebih dari itu, dengan berbekal pengetahuan dan keterampilan kerja dan terutama sikap adaptif dan terbuka untuk terus belajar, mereka serta-merta menjadi bagian dari proses kerja yang produktif dan konstruktif,” kata Mangadar.

Ia menilai, cara itu bisa memperpendek masa tunggu kerja dan menekan tingkat pengangguran lulusan perguruan tinggi. Selain itu, korporasi atau lembaga pun bisa mendapatkan tenaga kerja yang dapat meningkatkan kinerja perusahaan atau lembaganya.

Proses decoupling, kata Mangadar, juga berlangsung dengan terbukanya perguruan tinggi untuk berkolaborasi dengan industri serta membuat perguruan tinggi semakin dekat dengan persoalan riil yang ada di masyarakat.

“Melalui program pembangunan desa atau kuliah kerja nyata (KKN) tematik, satu demi satu persoalan dapat diatasi. Pola hidup sehat, ketertiban sosial, dan kepatuhan hukum dapat ditingkatkan melalui program kerja yang tidak saja berkelanjutan tetapi juga meluas,” paparnya.

Mangadar mengatakan, KKN tematik tidak sekadar program pengumpulan kredit (SKS), tetapi juga bagian dari darma penelitian dan pengabdian masyarakat. Hasil penelitian tidak berakhir dengan publikasi scopus semata, tapi bermuara pada dampak nyata (impactful).

Selanjutnya, terkait persaingan peringkat dengan perguruan tinggi asing, Mangadar menilai, hal itu akan sia-sia jika dilakukan dengan menggunakan aturan main yang ditetapkan sendiri oleh “lawan”.

Pasalnya, menurut Mangadar, standardisasi pendidikan tinggi dan pemeringkatan perguruan tinggi yang beresensi kapitalisasi, apalagi berkarakter imperialisme, tidak dapat diterima.

Jauh lebih penting, imbuhnya, membuat perguruan tinggi Indonesia mampu mencerdaskan warga negara dan mengatasi persoalan-persoalan nasional. Lulusan yang mampu berbahasa Inggris dan peneliti yang dapat menguasai dan mengembangkan formula-formula Iptek merupakan efek samping positif.

“Berdaya saing secara global di bidang ketenagakerjaan, industri, dan iptek tentu membanggakan. Akan tetapi, mengatasi persoalan-persoalan lokal dan nasional diiringi dengan peningkatan potensi serta kearifan lokal ke tataran global adalah sebuah keharusan. Ini merupakan program decoupling yang lebih jauh,” kata Mangadar.

Di sisi lain, menurut Mangadar, kebijakan MBKM belum tentu tanpa risiko. Jika salah diterapkan, MBKM justru bisa menjadi recoupling yang dapat berimbas pada aspek pendidikan tinggi lainnya.

Misalnya, dalam kebijakan MBKM dan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (Dikti), daya saing perguruan tinggi dan lulusannya seringkali tampak lebih dominan daripada kualifikasi dan kompetensi lain yang ingin diraih, seperti mandiri, inovatif, berkontribusi bagi kemajuan bangsa, peningkatan peradaban, dan kesejahteraan manusia.

Karena itu, kata Mangadar, selama masih mengadopsi aturan main dan standar yang ditetapkan secara sepihak oleh pihak lain dalam mengukur kinerja perguruan tinggi nasional, proses decoupling tidak akan pernah terjadi.

Akan tetapi, pandemi Covid-19 tampaknya dapat memperkuat proses terjadinya decoupling lewat kebijakan MBKM tersebut. Pasalnya, pandemi tidak hanya memaksa adopsi dan adaptasi teknologi, tetapi juga mengembalikan perguruan tinggi pada konteks sosial kemasyarakatan Indonesia yang lebih nyata.

Dengan kata lain, imbuh Mangadar, perguruan tinggi di Indonesia harus mampu menjawab persoalan-persoalan nasional serta mampu menawarkan alternatif-alternatif peradaban.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com