Advertorial

Rencana Pembangunan Rendah Karbon Pascapandemi demi Indonesia yang Lebih Hijau

Kompas.com - 17/12/2020, 12:11 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com – Sejatinya, pembangunan rendah karbon bukanlah hal baru. Rencana soal itu bahkan sudah digagas sejak beberapa tahun lalu di beberapa negara sebagai penanggulangan perubahan iklim dunia.

Namun, gagasan pembangunan rendah karbon ini perlu semakin diperkuat pada masa pandemi Covid-19. Tujuannya, Indonesia diharapkan bisa melakukan pemulihan krisis ekonomi pascapandemi ke kondisi yang lebih baik.

Adapun jargon atau tagline yang digaungkan untuk mewujudkan pemulihan krisis pasca pandemi adalah build back better. Jargon ini merupakan strategi pemulihan ekonomi yang perlu dilakukan dengan mempertimbangkan dampak serta manfaat jangka panjang dan menghindari kondisi kerentanan akibat perubahan iklim.

Pada dasarnya, masalah perubahan iklim merupakan isu lintas sektor, wilayah, dan negara. Masalah ini tak hanya terkait dengan isu lingkungan semata, tetapi juga berkaitan dengan isu sosial serta ekonomi dan harus diselesaikan secara terintegrasi.

Hal itu diucapkan secara langsung oleh Direktur Lingkungan Hidup Badan Pembangunan Nasional (Bappenas) Ir Medrilzam pada webinar K-Talk dengan tema “Membangun Indonesia Lebih Hijau & Tangguh dalam Rangka Pemulihan Covid-19 dengan Pembangunan Rendah Karbon”, Senin (14/12/2020).

“Artikel 3.4 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) telah menjelaskan bahwa kebijakan untuk melindungi iklim harus diintegrasikan ke dalam program pembangunan nasional. Untuk menjawab amanah itu, pembangunan rendah karbon sudah kami masukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024,” ujar Medrilzam.

Program pembangunan rendah karbon yang dilakukan oleh Indonesia, lanjutnya, masuk ke dalam prioritas nasional nomor enam dengan target membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana, dan perubahan iklim.

“Ada lima kegiatan prioritas untuk mewujudkan pembangunan rendah karbon, yaitu pembangunan energi berkelanjutan, pemulihan lahan berkelanjutan, penanganan limbah, pengembangan industri hijau, dan rendah karbon pesisir laut,” jelas Medrilzam.

Seperti diketahui, pada masa pandemi, emisi pembuangan karbon dioksida terbilang menurun akibat berkurangnya aktivitas pabrik, industri, dan operasional kendaraan bermotor.

Akan tetapi, kondisi ini tidak akan bertahan lama. Salah satu contoh nyatanya sudah terjadi di China. Setelah masa lockdown China berakhir, emisi pembuangan karbon dioksida pada periode Mei 2020 lebih besar 6 persen dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya.

“Oleh karena itu, Indonesia harus memiliki rencana strategi build back better dalam tiga periode, yakni jangka pendek, menengah, dan panjang,” jelas Medrilzam.

Pada jangka pendek, lanjutnya, hal yang harus dilakukan adalah menyusun roadmap atau peta jalan untuk implementasi pengembangan pendanaan pembangunan rendah karbon dalam bentuk stimulus green recovery.

Ekonomi hijau

Selanjutnya, rencana jangka menengah akan fokus untuk menyelesaikan perumusan kebijakan pendanaan pembangunan rendah karbon guna mendukung ekonomi hijau.

Kemudian, instrumen stimulus hijau untuk pembangunan rendah karbon diharapkan rampung dan mulai dapat diimplementasikan secara operasional pada rencana jangka panjang yang dimulai pada 2022.

“Melalui rancangan ini, kami mengharapkan green jobs dan green investments dapat meningkat, kontribusi pembangunan rendah karbon terhadap pertumbuhan ekonomi juga meningkat, serta intensitas emisi terhadap baseline dapat berkurang,” ujar Medrilzam.

Pembangunan rendah karbon melalui ekonomi sirkular sendiri, lanjut Medrilzam, diprediksi berpotensi menciptakan sebanyak 4,4 juta green jobs atau pekerjaan yang berkelanjutan dan berkontribusi meningkatkan investasi hingga Rp 598 triliun pada nilai ekonomi Indonesia di 2030.

“Tak hanya itu, pembangunan rendah karbon melalui ekonomi sirkular juga bisa mengurangi timbunan sampah sebesar 21-54 persen di 2030, mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 7 persen, dan mengurangi pemakaian air sekitar 5 persen dibandingkan baseline business-as-usual,” jelasnya.

Lebih lanjut, Medrilzam menjelaskan analisis dan rekomendasi pembangunan rendah karbon melalui pengelolaan limbah. Pemerintah bisa memberikan bantuan teknis, seperti peningkatan sumber daya manusia dalam mengelola sampah dan memberikan bantuan non-teknis.

“Bantuan non-teknis terdiri dari manajemen organisasi dan menyediakan akses finansial untuk bank sampah, tempat pengelolaan sampah reuse, reduce, dan recycle (TPS3R), dan pusat daur ulang (PDU),” ujarnya.

Melalui stimulus itu, pertumbuhan lapangan kerja pada sektor pengelolaan limbah berpotensi meningkat 10 persen dibandingkan ketersediaan lapangan kerja saat ini.

Pembangunan rendah karbon juga bisa dilakukan di sektor pertanian. Pada masa pandemi, pertanian merupakan salah satu sektor yang tetap tumbuh positif sebesar 1,5 persen (year-on-year) sepanjang kuartal I, II, dan III 2020.

“Sektor pertanian berperan sebagai penopang ekonomi. Untuk itu, pengembangan pertanian berkelanjutan perlu dilakukan,” ujar Medrilzam.

Melalui pengembangan pangan dan tata guna yang berkelanjutan, secara global sektor pertanian diprediksi bisa berkontribusi pada peningkatan nilai ekonomi sebesar 2,3 triliun dollar AS dan menciptakan lebih dari 70 juta lapangan kerja pada 2030.

Selain itu, sektor perkebunan memiliki potensi menciptakan sekitar 700.000 lapangan kerja baru melalui pembangunan berkelanjutan. Potensi-potensi tersebut jelas bisa menjadi dasar akan pentingnya pembangunan rendah karbon di berbagai lini industri.

Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Bappenas Dr Ir Arifin Rudiyanto pada webinar K-Talk, Senin (14/12/2020). (DOK. BAPPENAS) Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Bappenas Dr Ir Arifin Rudiyanto pada webinar K-Talk, Senin (14/12/2020).

Strategi kunci

Sejalan dengan rencana pembangunan rendah karbon, Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Bappenas Dr Ir Arifin Rudiyanto mengatakan bahwa kondisi saat ini bisa dimanfaatkan sebagai momentum menuju pembangunan rendah karbon yang dapat membangkitkan ekonomi di masa mendatang.

Menurutnya, ada tiga strategi kunci pemulihan ekonomi hijau yang dapat dilakukan. Pertama, mendorong agar stimulus fiskal hijau menjadi bagian dari kebijakan pemulihan ekonomi sehingga ke depannya dapat membuka lapangan kerja yang lebih berkelanjutan.

“Kedua, membangun ketahanan melalui aktivitas bantuan sosial untuk masyarakat, asuransi petani, dan aktivitas adaptasi yang mendukung ketahanan masyarakat. Ketiga, melakukan perlindungan dan pengelolaan keanekaragaman hayati untuk menyeimbangkan ekosistem,” ujar Arifin.

Meski demikian, ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi. Salah satunya adalah kurangnya pendanaan untuk pembangunan rendah karbon pascapandemi.

“Pendanaan ideal pembangunan rendah karbon adalah 2 persen dari produk domestik bruto (PDB), yakni Rp 306 triliun. Saat ini, pemerintah baru mengalokasikan sebesar Rp 23,44 - 34,87 triliun atau sebesar 8-11 persen (dari nilai yang dibutuhkan) sehingga masih terdapat gap yang cukup besar,” ujar Medrilzam.

Dengan fakta tersebut, masih diperlukan kerangka pencukupan pendanaan agar rencana dan strategi pembangunan rendah karbon di masa pascapandemi berjalan dengan lancar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com