Advertorial

Menilik Sosok Malahayati, Putri Istana Berjiwa Kesatria

Kompas.com - 24/12/2020, 20:21 WIB

KOMPAS.com - Peringatan Hari Ibu di Indonesia dilakukan setiap tahun pada 22 Desember. 

Hari Ibu memiliki makna sejarah perjuangan pergerakan perempuan di negeri ini. Maknanya tak sekadar memberikan hadiah atau memanjakan ibu kita.

"Lebih dari itu, Hari Ibu menjadi kebangkitan kaum perempuan dalam menggalang persatuan dan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari perjuangan bangsa Indonesia," tegas Ketua Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Giwo Rubianto, seperti diwartakan Kompas.com, Minggu (13/12/2020).

Apalagi dalam memerdekakan wilayah di Nusantara, ada banyak sosok perempuan tangguh, salah satunya adalah Keumalahayati atau yang lebih dikenal Malahayati.

Meskipun berasal dari Aceh, namanya mungkin tak seakrab Cut Nyak Dien. Namun, Malahayati sudah dikenal bangsa Eropa pada abad ke-16 sebagai panglima angkatan laut yang paling ditakuti.

Tak banyak yang tahu, perempuan berdarah biru ini ternyata adalah keturunan Laksamana Mahmud Syah. Sang ayah merupakan putra pendiri Kesultanan Aceh Darussalam, yakni Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513–1530).

Sejak kecil, Malahayati lebih gemar berlatih ketangkasan dalam berperang. Bahkan, menginjak dewasa, ia pun memilih masuk akademi angkatan bersenjata milik Kesultanan bernama Ma'had Baitul Maqdis.

Di Akademi Ma'had Baitul Maqdis inilah, Malahayati bertemu kali pertama dengan Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief, yang kelak menjadi suaminya.

Berjuang melawan penjajah

Setelah Malahayati dan Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief menikah, keduanya semakin gigih mempertahankan Aceh dari serangan bangsa Eropa.

Diberitakan Kompas.com, Minggu (12/4/2020), perjuangan Malahayati melawan penjajah dimulai saat perang di Teluk Haru, Selat Malaka pada 1581.

Pada saat itu, Kesultanan Aceh dipimpin Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Mukammil yang dibantu dua orang laksamana, salah satunya adalah Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief.

Meski Kesultanan Aceh menang telak dari pasukan Portugis, Malahayati harus menanggung kepedihan atas kematian suaminya di medan perang.

Ia pun ditunjuk oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil menjadi Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Kesultanan, menggantikan posisi sang suami.

Jabatan tersebut menjadi penanda bahwa ia telah mengikuti jejak ayah dan kakeknya yang lebih dulu menjabat sebagai laksamana angkatan laut Kesultanan Aceh.

Amanah tersebut ia pegang dengan teguh sekaligus untuk menuntut balas atas kematian suaminya.

Mendirikan pasukan perang para janda

Tak hanya memimpin armada pria, Malahayati juga mengerahkan pasukan perempuan yang didominasi para janda.

Barisan janda pemberani ini dikenal dengan nama Inong Balee. Mereka adalah perempuan yang ditinggal mati suaminya dalam perang di perairan Malaka.

Awalnya, pasukan Inong Balee hanya beranggotakan 1.000 orang. Seiring waktu, kekuatan armada ini bertambah menjadi 2.000 personel.

Selain mengawal ribuan pasukan, Malahayati juga mengawasi seluruh bandar dan pelabuhan dagang di wilayah Aceh Darussalam.

Sampai akhirnya pada 21 Juni 1599, rombongan penjelajah Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman merapat ke dermaga Aceh. 

Semula, hubungan antara pendatang Eropa ini dan Kesultanan Aceh Darussalam terjalin dengan baik. Sampai akhirnya, muncul provokasi dari orang Portugis, serta tingkah orang-orang Belanda yang memicu pertikaian.

Tak tinggal diam, Sultan Alauddin memerintahkan Laksamana Malahayati untuk menyerbu dua kapal Belanda tersebut.

Maka, terjadilah pertempuran sengit di tengah laut antara pasukan Belanda dan ribuan pasukan Malahayati, termasuk barisan Inong Balee.

Duel antara Laksamana Malahayati dan Cornelis de Houtman pun tak terelakkan. Dengan menggenggam rencong di tangannya, laksamana perempuan pertama dunia ini berhasil mengalahkan Cornelis.

Peristiwa bersejarah itu terjadi pada 11 September 1599. Di tangan Malahayati, pasukan Belanda harus menerima kekalahan mereka.

Mendapat gelar Pahlawan Nasional

Beberapa tahun setelah pertempuran itu, Laksamana Malahayati mengembuskan napas terakhir saat melawan pasukan Portugis di bawah kepemimpinan Alfonso de Castro pada Juni 1606.

Kemudian, jasadnya dimakamkan di Gampong Lamreh, Krueng Raya, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar.

Lebih dari 400 tahun berselang, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) menyematkan gelar Pahlawan Nasional kepada Malahayati pada 6 November 2017.

Gelar tersebut diberikan melalui Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 115/TK/Tahun 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.

Kini, masyarakat pun lebih tahu, Kota Serambi Mekah tidak hanya memiliki Cut Nyak Dien atau Cut Meutia, ada juga sosok perempuan ningrat berjiwa kesatria, Malahayati.

Kisah kepahlawanan dan keberanian Laksamana Malahayati menumpas penjajahan dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat modern untuk terus memperjuangkan kesetaraan serta keadilan. Hal ini sesuai dengan bunyi sila kedua Pancasila yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab”.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com