Advertorial

Perempuan di Tengah Minimnya Akses Pendidikan dan Belenggu Patriarki Tanah Air, Bagaimana Solusinya?

Kompas.com - 24/12/2020, 21:12 WIB

KOMPAS.com – Kesempatan perempuan dalam mengakses pendidikan perlu ditingkatkan. Selain sebagai upaya mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs), hal itu bertujuan untuk mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan, dan melindungi lingkungan.

Seperti kata pepatah, anak yang cerdas berasal dari ibu yang cerdas pula. Oleh karena itu, para perempuan dituntut untuk memiliki kecerdasan dan wawasan yang luas agar hal tersebut mampu diajarkan kepada anaknya.

Kenyataannya, saat ini banyak perempuan di Tanah Air yang masih belum mendapatkan pendidikan yang layak.

Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) 2016, saat ini rata-rata perempuan hanya mendapat pendidikan sampai kelas 2 sekolah menengah pertama (SMP) saja. Dengan rata-rata lama perempuan bersekolah hanya selama 7,5 tahun.

Selain itu, dari data Badan Pusat Statistik (BPS) 2019 menunjukkan, angka melek huruf pada perempuan lebih rendah dari laki-laki dengan berada di angka 94,33 persen, sedangkan laki-laki 97,48 persen.

Hal tersebut dijelaskan dalam web seminar (webinar) bertajuk “Mencerdaskan Perempuan, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Kompas TV pada Senin (21/12/2020).

Webinar yang digelar dalam rangka Hari Ibu itu membahas mengenai peran pendidikan terhadap perempuan Indonesia.

Adapun keluarga, terutama ibu, merupakan garda terdepan dalam menerapkan pendidikan untuk seorang anak sebelum mereka memulainya di sekolah formal.

Hal ini yang mendasari Sri Rossyati dan Sri Irianingsih, kakak beradik kembar yang menjadi narasumber pada acara tersebut, untuk mendirikan sebuah sekolah dengan nama Sekolah Darurat Kartini.

Sekolah ini didirikan 30 tahun lalu untuk membantu anak-anak tidak mampu dan termarjinalkan.

“Sekolah ini didirikan untuk mendukung program pendidikan di Indonesia. Kaum termarjinalkan memiliki siklus kawin muda. Ini penyebab mereka sulit melanjutkan pendidikan. Karenanya, kami ingin membantu mereka melalui pendidikan sekaligus memutus rantai kemiskinan,” ujar Sri Rossyati yang akrab disapa Rossi.

Sri Irianingsi atau biasa dipanggil Rian menambahkan, sekolah yang ia dirikan bersama saudara kembarnya tersebut tak hanya diberlakukan untuk anak-anak saja.

“Kami juga merangkul ibu dari para murid. Hal ini dilakukan karena kami ingin memberdayakan mereka juga. Setiap Jumat kami kumpulkan (mereka) untuk mengadakan pengajian. Setelah itu, kami ajarkan berbagai macam keterampilan,” jelas Rian.

Selain itu, begitu ibu atau wali murid tersebut lulus dari sekolah, mereka akan diberikan modal kerja agar bisa menyalurkan keterampilan yang telah mereka pelajari.

Adapun modal tersebut bukan berupa uang, melainkan peralatan untuk menunjang pekerjaan, seperti mesin jahit maupun alat untuk membuat batik.

Cerita yang lain

Narasumber lainnya, yakni Astatik Bestari yang merupakan penggagas dari pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) Bestari melakukan hal serupa demi membantu masyarakat Desa Catakgayam, Jombang, Jawa Timur.

Pusat belajar yang ia gagas bertujuan mendidik anak-anak yang putus sekolah. PKBM kemudian mendapat apresiasi dari pemerintah hingga mendapatkan bantuan untuk program yang mereka miliki, yakni pemberantasan buta aksara.

Meski begitu, minat perempuan untuk mengikuti program belajar tersebut masih kurang.

“Mereka menganggap pendidikan tinggi itu tidak lebih penting dari bekerja. Itu yang ingin kami ubah, kami ingin membantu mereka jika pendidikan itu sangat penting,” ujarnya.

Berdiri sejak 2008, Astatik mengakui jika PKBM Bestari tidak bisa melakukan semuanya sendiri. Maka dari itu, pihaknya melakukan kerja sama dengan berbagai pihak agar kegiatan belajar ini tersampaikan dengan maksimal.

Ia juga mengatakan, saat ini harus ada perubahan sistem dan dukungan pemerintah untuk memperbaiki tingkat pendidikan terhadap perempuan, khususnya di kawasan pedesaan.

“Saya sangat berharap ke depannya, perempuan (desa) itu harus lebih banyak belajar dan terdidik. Sebab, melalui pemahaman saja tidak cukup. Mereka harus berjuang menyuarakan sistem yang ada, tidak hanya sekadar wacana dan tidak dipolitisasi,” jelas Astatik

Terlebih, menurutnya, perempuan Indonesia sampai sekarang tidak dapat berbuat banyak karena masih kentalnya sistem patriarki Tanah Air.

Hal tersebut dibenarkan oleh narasumber lainnya, yakni Kiai Haji Husein Muhammad yang merupakan Ulama Pejuang Advokasi Kesetaraan dan Keadilan Gender.

Menurutnya, sistem patriarki sangat membebani perempuan, terutama bagi yang sudah berumah tangga. Kondisi tersebut dianggap membuat ruang gerak perempuan menjadi terbatas.

“Ini kan menyebabkan terjadinya dominasi. Padahal (pernikahan) seharusnya didasari dengan rasa saling melengkapi. Bukan lelaki jadi merasa dominan. Perempuan hanya diminta fokus terhadap rumah saja. Ini kan membuat mereka jadi tidak produktif,” jelas Husein.

Husein yang juga merupakan pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid selalu menekankan kepada santri perempuan asuhannya untuk bisa menjadi seseorang yang mandiri.

“Saya selalu tekankan ke mereka, jadi perempuan yang mandiri,” tambahnya.

Ia berharap, perempuan bisa mendapatkan perlakuan yang adil. Sudah sepatutnya perempuan mendapatkan ruang gerak yang sama dengan laki-laki.

Oleh karena itu, Husein menginginkan lebih banyak acara diskusi serupa yang bisa diikuti oleh lelaki dan perempuan. Hal tersebut bertujuan untuk membuat laki-laki paham tentang arti kesetaraan gender.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com