KOMPAS.com – Perkembangan pesat teknologi telah memengaruhi banyak orang, termasuk anak-anak usia dini.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Jumeri mengatakan, teknologi ibarat pisau bermata dua yang memiliki dampak positif dan negatif.
“Penggunaan teknologi secara benar akan bermanfaat. Namun, jika digunakan secara sembarangan, akan menjadi bumerang,” ujar Jumeri dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (19/1/2021).
Hal tersebut diucapkan Jumeri dalam seminar daring yang diselenggarakan SiberKreasi Direktorat Sekolah Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Sabtu (16/1/2021).
Pernyataan Jumeri tersebut diamini dokter spesialis saraf anak dari Departemen Neurologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Yetty Ramli.
Pada kesempatan yang sama, ia memaparkan, penggunaan gawai sebagai sarana untuk mengakses teknologi terbukti memberikan dampak buruk pada anak.
“Banyak penelitian menyebut (bahwa) perubahan pada struktur otak anak usia dini yang sering terpapar gawai,” katanya.
Penggunaan gawai yang berlebihan, sambung Yetty, ternyata bisa mengganggu kemampuan kognitif anak, yang meliputi daya ingat, bahasa, daya tangkap, serta kemampuan motorik dan sensorik.
“Adanya pandemi Covid-19 mengharuskan anak-anak belajar daring. Ini merupakan salah satu dampak positif, tapi buruk dari sisi kesehatan, psikologis, dan emosi anak,” terangnya.
Selain itu, ia menjelaskan, penggunaan gawai secara berlebihan juga turut memberikan efek samping pada fisik, contohnya mata kering, sakit kepala, nyeri leher, kurang nafsu makan, dan gangguan tidur.
“Jangan lupakan hal-hal negatif seperti kecanduan atau adiksi gawai yang bisa memengaruhi mental anak,” lanjut Yetty.
Kesalahpahaman transformasi digital
Dalam acara seminar online tersebut, turut hadir pula Dirjen Aplikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Semuel Pangerapan.
Ia menjelaskan, ada kesalahpahaman terkait transformasi digital yang seolah-olah berpindah tempat dari ruang fisik ke ruang digital.
“Transformasi digital ini kan bagaimana kita merangkul ruang digital untuk menjadi bagian dari realitas. Dengan begini, nantinya akan muncul balance (keseimbangan),” katanya.
Menurutnya, agar muncul keseimbangan dalam konsumsi teknologi anak-anak, orangtua perlu menciptakan disiplin dalam memanfaatkan ruang digital.
“Diusahakan porsinya tidak berlebihan agar nantinya tidak terbawa arus ruang digital yang terlalu dalam sehingga melupakan ruang fisik,” ujar Semuel.
Di samping itu, Semuel berpendapat, munculnya pandemi Covid-19 turut memengaruhi percepatan transformasi digital seperti yang diinstruksikan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Saat ini, ada 196 juta atau 73 persen penduduk Indonesia yang belum bisa mengakses internet secara layak. Hal inilah yang diupayakan Kominfo,” katanya.
Kominfo, kata dia, berencana membangun menara base transceiver station (BTS) dan satelit yang akan diluncurkan pada akhir 2022
Pengembangan literasi digital
Semuel memaparkan, selain fokus pada transformasi digital, Kominfo juga melakukan literasi digital. Semua akses literasi digital ini dirangkum dalam Roadmap Literasi Digital 2021-2024.
“Banyaknya masalah yang timbul akibat teknologi, seperti seminar kali ini yang membahas dampak teknologi pada anak, merupakan bentuk ketidaktahuan kita akan ruang digital,” paparnya.
Untuk itu, sambung Semuel, perlu ada upaya pengembangan digital skill dan kemampuan individu dalam memahami penggunaan perangkat keras, perangkat lunak, serta sistem operasi digital dalam kehidupan sehari-hari.
Selain pengembangan digital skill, Semuel menekankan tiga pilar penting dalam menciptakan ruang digital yang aman, yakni digital culture (budaya digital), digital ethics (etika digital), dan digital safety (keamanan digital).
“Budaya digital sebagai bentuk aktivitas masyarakat di ruang digital yang harus tetap memiliki wawasan kebangsaan, nilai-nilai Pancasila, dan kebinekaan,” ujar Semuel.
Adapun etika digital dijabarkan Semuel sebagai bentuk kemampuan menyadari, mempertimbangkan, dan mengembangkan tata kelola etika digital (netiquette) dalam kehidupan sehari-hari.
“Sementara itu, keamanan digital adalah kemampuan masyarakat untuk mengenali, menerapkan, serta meningkatkan kesadaran perlindungan data pribadi dan keamanan digital,” jelasnya.
Sebagai informasi, seminar daring dengan tema “Dampak Teknologi terhadap Perkembangan Otak pada Anak”ini menghadirkan sejumlah tokoh penggiat literasi digital.
Tokoh tersebut adalah Dewan Pengarah Siberkreasi dan Founder Sejiwa Diena Haryana, Direktur Sekolah Dasar Kemendikbud Sri Wahyuningsih, dan Praktisi Neurosains Terapan sekaligus Founder Vigor Anne Gracia.
Turut hadir pula Ketua Umum Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) ‘56 sekaligus Dewan Pengarah SiberKreasi Marcella Zalianty serta Ketua Tim Komunikasi Publik Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) Basra Amru.
Semua pembicara yang hadir tersebut memberikan kiat-kiat untuk adaptif dalam menghadapi perkembangan teknologi, utamanya penggunaan gawai secara aman dan sehat bagi anak-anak.
Lebih lanjut, melalui program SiberKreasi, Kemendikbud berharap orangtua dan tenaga pendidik memperoleh kiat-kiat memanfaatkan gawai untuk mengoptimalkan penggunaan teknologi pada anak.