Advertorial

Fratelli Tutti, Membangun Persaudaraan Tanpa Sekat di Hari Jadi ke-66 Unpar

Kompas.com - 22/01/2021, 22:34 WIB

KOMPAS.com - Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung baru saja menyelenggarakan Dies Natalis ke-66, Senin (18/1/2021).

Pada acara tersebut, Dekan Fakultas Filsafat Unpar Dr Theol Leonardus Samosir OSC menyampaikan orasi berjudul “Fratelli Tutti”. Ia menyoroti pentingnya kerja keras dalam mencapai perdamaian sosial dengan didasari ajaran gereja Katolik yaitu kasih.

Orasi tersebut dibuka dengan pemaparan mengenai “Kultur Perjumpaan” sebagaiamana perumpamaan yang diajarkan Yesus dalam perikop “Orang Samaria yang Baik Hati”.

Dekan yang akrab disapa Pastor Leo ini menjelaskan, perjumpaan sebenarnya merupakan pengakuan akan adanya orang lain.

Agar perjumpaan menjadi manfaat, sebaiknya momen ini digunakan untuk membangun relasi tanpa adanya sekat. Perjumpaan dengan orang lain, kata dia, membutuhkan kasih.

“Di era sekarang, hal ini menjadi amat penting melihat banyaknya hal yang ditandai dengan globalisasi, egoisme kolektif, mentalitas ‘sekali pakai-buang’, dan lain sebagainya,” ujar Pastor Leo seperti tertulis dalam rilis resmi yang diterima Kompas.com, Kamis (21/1/2021).

Pada kesempatan berorasi itu, ia juga menyoroti beberapa hal. Pertama, power institusional, khususnya dalam bidang politik, perlu memperhatikan dan memahami kompleksitas masalah.

Kedua, cara menanggapi relasi antara gereja dan “yang lain”. Ia mengingatkan bahwa pluralitas berpotensi menjadi sumber konflik baru jika tak dibarengi dengan pendekatan sosial spiritual yang tepat.

Ketiga, Pastor Leo mengajak hadirin merefleksikan pesatnya perkembangan teknologi masa kini dengan martabat manusia.

“Meski manusia adalah creator dan co-creator dari teknologi, tidak bisa dimungkiri bahwa keberadaan teknologi menimbulkan potensi manusia menjadi ‘sampah’ karena tertinggal dalam perkembangan (teknologi) yang pesat tersebut,” ucap Pastor Leo.

Selain itu, ia mengemukakan pentingnya etika dan nilai, seperti agama, dalam menentukan arah serta keikutsertaan manusia dalam kemajuan teknologi.

Catatan bagi Unpar

Melihat perkembangan dunia saat ini, Pastor Leo memberikan dua catatan penting bagi Unpar. Pertama, sebagai komunitas akademik, Unpar berperan seperti communio.

“Artinya, kebersamaan dalam Unpar perlu didasari oleh nilai dan aturan yang kuat secara spiritual. Dengan begitu, Unpar dapat mewujudkan visinya sebagai komunitas pencetak manusia yang berperan pada pengembangan ilmu dan terjun dalam masyarakat,” jelas Pastor Leo.

Selanjutnya, kata Pastor Leo, terkait cara Unpar dalam mewujudkan cita-cita luhur “menjadi besar dan internasional” (Go Great and Go International).

“Saya berharap, Unpar tak hanya berkaca dan meniru dari dunia luar, tetapi membuat pengetahuan aplikatif serta menyumbangkan sesuatu yang glokal (global-lokal)—istilah yang dipakai untuk menggambarkan seseorang yang memiliki pemikiran dan perilaku lokal untuk memenangkan kompetisi global-- bagi dunia,” katanya.

Menutup orasi, Pastor Leo menekankan bahwa relasi antarmanusia sebagai kekhawatiran utama ensiklik perlu dikaji dan dijawab dalam nilai “kasih yang universal” sesuai konteks masa kini.

“Tentunya, fenomena dunia ini harus dipelajari bersama melalui beragam perspektif,” ujarnya.

Refleksi kemanusiaan

Orasi ilmiah Pastor Leo tersebut mendapatkan tanggapan dari Dekan Fakultas Teknologi Informasi dan Sains (FTIS) Unpar Dr rer nat Cecilia Esti Nugraheni dan Guru Besar Fakultas Filsafat Unpar Prof Bambang Sugiharto.

Menurut Dr Cecilia, Unpar adalah communio yang terdiri dari insan dengan peran masing-masing.

“Kini, perlu direfleksikan sejauh apa relasi insan Unpar dalam komunitasnya, apakah sudah mampu menjadi ‘saudara’ atau hanya sebatas berkenalan?,” kata Cecilia.

Untuk itu, kata Cecilia, keterbukaan dan kolaborasi di dalam maupun di luar Unpar perlu ditingkatkan.

Selain itu, universitas juga perlu terlibat dalam mewujudkan relasi persaudaraan yang baik di tengah masyarakat dunia, khususnya melalui lulusan dengan nilai spiritualis dan nilai-nilai dasar Unpar (Sindu).

Sementara untuk peran kreator teknologi, Cecilia menegaskan pentingnya menanamkan prinsip etis pada diri lulusan selaku para pencipta.

Adapun Prof Bambang dalam tanggapannya menyoroti prinsip persaudaraan sebagai intuisi insani yang tertanam dalam diri manusia.

Dengan perkembangan teknologi yang harusnya mendekatkan, kata Prof Bambang, manusia justru menciptakan kultur “tembok” yang membatasi diri. Kontradiksi ini membuat nilai persaudaraan semakin penting.

“Daripada berkutat pada problematika identitas, ajak masyarakat untuk berpikir soal kemanusiaan bersama. Yang menjadi penting adalah nilai, bukan dogma maupun aturan,” ucapnya.

Tak hanya itu,ia menekankan bahwa nilai kasih sebagai nilai universal juga perlu dijunjung tinggi. Manusia, kata Prof Bambang, harus mampu melihat perbedaan sebagai peluang untuk belajar dan berkembang bersama.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com