Advertorial

Sengkarut Permasalahan Pelanggaran HAM Tak Kunjung Usai, IOJI Angkat Suara ABK Perikanan Indonesia

Kompas.com - 16/04/2021, 17:17 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com – Perlindungan terhadap anak buah kapal (ABK) Indonesia yang bertugas di kapal asing masih tergolong lemah. Hingga saat ini, ABK Indonesia masih kerap mengalami eksploitasi.

Menurut riset Universitas Coventry pada 2016, kasus ketenagakerjaan paling banyak membelit ABK Indonesia. Jumlahnya mencapai 48,4 persen atau 1.148 kasus.

Kemudian, disusul kasus penyelundupan manusia sebanyak 35,1 persen atau 833 kasus dan perdagangan manusia sebanyak 12,1 persen atau 287 kasus.

Khusus untuk ABK yang bekerja di kapal ikan asing, sepanjang 2020 Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menangani 432 kasus ABK sea-based dan memfasilitasi pemulangan 22.553 ABK. Pengaduan tertinggi adalah terkait gaji yang tidak dibayarkan maupun gaji yang tidak layak.

Catatan serupa juga ditemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) selama November 2020 sampai Februari 2021.

CEO IOJI Achmad Santosa menjelaskan, banyak ditemukan praktik-praktik ilegal dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pada proses sebelum, selama, dan setelah ABK bekerja masih marak terjadi di kapal-kapal ikan asing.

Masih berdasar penelitian yang dilakukan IOJI, Ota pun mengungkapkan lima akar masalah dari lemahnya perlindungan terhadap ABK Indonesia.

“Kelimanya adalah belum adanya seperangkat peraturan pelaksanaan UU Nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia untuk menjabarkan bentuk perlindungan, duplikasi kewenangan dalam proses rekrutmen dan penempatan, belum adanya database ABK yang terintegrasi, pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggar HAM dan pelaku kejahatan. Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang belum efektif, serta rendahnya kesadaran dan pengetahuan mengenai hak-hak dasar oleh para ABK,” terang Ota dalam webinar “Mempertanyakan Komitmen Multi-Pihak dalam Melindungi ABK Indonesia di Kapal Ikan Asing”, Rabu (14/4/2021).

Pada kesempatan yang sama, Founding Director Stanford Center for Human Rights and International Justice (CHRIJ) David Cohen menjelaskan, pemberantasan perdagangan manusia dan perbudakan modern, khususnya di sektor perikanan dan kelautan, memang tidak mudah.

“Sektor perikanan kondisinya semakin buruk karena pekerja berada jauh di tengah laut, bahkan di laut lepas atau zona ekonomi eksklusif negara lain. Mereka berada di sana untuk waktu yang lama sehingga sulit terdeteksi keberadaanya. Hal ini menunjukkan kerentanan yang absolut,” ujar Cohen.

Cohen menambahkan, CHRIJ dan Stanford Center for Ocean Solution (COS) telah berkolaborasi dengan IOJI untuk mengatasi permasalahan hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di atas kapal.

“Tidak hanya memperkuat kerangka hukum dan melindungi HAM, tetapi juga mengadvokasi transparansi pada rantai pasok perikanan dengan harapan dapat mencegah segala bentuk eksploitasi ke depannya,” jelas Cohen.

Meski demikian, salah satu pembicara dalam webinar Co-Director COS James Leape menyebut, pelanggaran HAM di atas kapal ikan tidak bisa diselesaikan melalui advokasi saja. Baik pemerintah maupun pengusaha juga harus duduk bersama untuk menyelesaikan masalah tersebut.

 “Contohnya, permasalahan penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan (unsustainable fishing practice). Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah membuat aturan ketat. Sementara, pengusaha dan konsumen menggunakan kemampuan pasarnya untuk memberikan insentif terhadap pelaku penangkapan ikan yang menerapkan praktik penangkapan ikan secara berkelanjutan,” ujar Leape.

Leape pun mengapresiasi Pemerintah Indonesia karena memiliki undang-undang untuk melindungi pekerja migran di luar negeri, khususnya untuk yang bekerja di tengah laut.

Ia melihat adanya potensi melibatkan pembeli produk perikanan dunia agar lebih bertanggung jawab dengan cara memberikan insentif agar kapal-kapal ikan asing mematuhi aturan dan memperlakukan pekerjanya sebagaimana mereka harus diperlakukan.

“Pemerintah Indonesia punya peran penting untuk melindungi pekerja migrannya di kapal asing karena sangat banyak pekerja Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing dan terekspos dengan permasalahan HAM,” ucap Leape.

Suara ABK Perikanan Indonesia

Terkait pelanggaran HAM ABK, Direktur Dukungan Penegakan Hukum dan Akses Terhadap Keadilan IOJI Fadilla Octaviani mengatakan, pihaknya telah mengidentifikasi 10 permasalahan struktural dari permasalahan tersebut.

Salah satunya yakni relasi kuasa yang tidak seimbang antara perusahaan perekrut dan ABK. Ini menyebabkan pekerja tidak memiliki posisi tawar sejak tahap perekrutan.

“Perjanjian kerja diberikan satu hari sampai satu jam. Mereka tidak diberi kesempatan berkonsultasi terkait perjanjian kerja dengan siapapun. Bahkan, dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan pembayaran denda apabila tidak menyelesaikan masa kerja.” Ucap Fadilla.

Fadilla juga mengungkapkan, lemahnya pengawasan pemerintah berdampak pada tidak terpenuhinya hak ABK dari sejak sebelum, selama, dan setelah bekerja.

Webinar Mempertanyakan Komitmen Multi-Pihak dalam Melindungi ABK Indonesia di Kapal Ikan Asing Dok. IOJI Webinar Mempertanyakan Komitmen Multi-Pihak dalam Melindungi ABK Indonesia di Kapal Ikan Asing

“Ada hampir 10 jenis biaya yang dibebankan kepada ABK, seperti biaya pengurusan paspor, visa, medical check-up, uang charge penempatan, biaya broker, hingga biaya penipuan yang mengatasnamakan program G to G pemerintah” jelas Fadilla.

Selain itu, persoalan gaji merupakan permasalahan paling besar. banyak modus dilakukan oleh perusahaan, dari pemotongan gaji, permainan kurs, menolak membiayai kepulangan ABK, hingga gaji yang tidak pernah dibayarkan.

“Mayoritas ABK lebih memilih gajinya dibayarkan oleh pemilik kapal secara langsung karena tidak ada pemotongan gaji sehingga mereka dapat memastikan kapan gajinya dikirim. Salah satu ABK menunjukkan nota dimana tidak menerima gaji selama enam bulan karena berbagai potongan yang diterapkan perusahaan,” ucap Fadilla

Praktik pelanggaran tersebut terus dibiarkan oleh pemerintah dan kerap terjadi pada kapal dengan bendera yang sudah terbukti sering melakukan praktik eksploitatif dan pelanggaran HAM.

Berdasarkan, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017 Pemerintah dapat menghentikan penempatan pekerja migran Indonesia pada jabatan tertentu dengan pertimbangan pelindungan HAM.

Siapkan regulasi

Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah memastikan pemerintah akan terus berusaha melindungi pekerja migran Indonesia (PMI), termasuk ABK.

Untuk itu, pemerintah mengebut untuk menyelesaikan peraturan turunan dari UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

Beleid tersebut, kata Ida, juga mengatur tentang penempatan dan perlindungan awak kapal dan pelaut perikanan yang berada di bawah Kementerian Sekretariat Negara.

Ida mengakui beleid dari pemerintah saat ini masih belum menyeluruh. Akan tetapi, aturan turunan disusun mengacu pada konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), yakni Maritime Labor Convention 2006, Work in Fishing Convention 2007 No 188 (ILO C188), serta peraturan perundang-undangan nasional lain di bidang pelayaran, kelautan, dan perikanan.

“Jika nanti terbit, diharapkan permasalahan dualisme kewenangan, database, dan lemahnya pengawasan tidak muncul lagi,” jelas Ida.

Saat ini, lanjut Ida, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) tengah mengusahakan kerja sama bilateral dengan negara penempatan awak kapal melalui memorandum of understanding (MoU).

Pemerintah juga menjalin kerja sama dengan ILO untuk peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) pengawas, melakukan inspeksi bersama antara pengawas ketenagakerjaan dan pengawas perikanan, serta melakukan pembinaan serta pengawasan terhadap perusahaan yang menempatkan pekerja migran perikanan sehingga dalam operasionalnya tidak melanggar aturan.

“Saya berpandangan bahwa pendayagunaan potensi laut nasional beserta isi yang terkandung di dalamnya mutlak dilakukan untuk kepentingan bersama sehingga laut Indonesia dapat dimanfaatkan oleh rakyatnya sendiri dengan awak kapal perikanan kita tidak harus bekerja di kapal asing,” kata Ida.

Kepala BP2MI Benny Ramdhani yang juga menyampaikan keynote speech pada webinar mendukung langkah pemerintah untuk segera menyelesaikan aturan terkait PMI.Pasalnya, masalah tersebut berasal dari carut marutnya tata kelola penempatan dan perlindungan ABK.

“Harapannya, implementasi undang-undang perlindungan pekerja migran indonesia (PPMI) akan menjadi jawaban atas masalah ini,” jelas Benny.

Ia pun menekankan pentingnya kolaborasi dalam mengatasi permasalahan ABK Indonesia. Pasalnya, masalah ini tidak bisa diselesaikan secara sepihak.

Sebagai bagian dari pemerintah, Benny memastikan bahwa BP2MI akan terus berusaha untuk membantu ABK yang mengalami masalah, terutama yang ada di kapal ikan asing.

Upayakan diplomasi dan penegakan hukum

Rumitnya pemecahan pelanggaran HAM yang dialami ABK Indonesia diamini Direktur Jenderal Protokol dan Konsuler Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Negeri Andy Rachmianto.

Saat mengisi webinar IOJI pada hari kedua, ia memaparkan bahwa berdasarkan catatan Kemenlu, ada 1.450 kasus pelanggaran hukum terjadi di kapal perikanan asing pada tahun 2020. Angka tersebut meningkat drastis jika dibandingkan dua tahun sebelumnya, yakni 1.079 kasus pada 2018 dan 1.095 kasus pada 2019.

“Adanya pandemi membuat pelanggaran hukum terhadap ABK semakin meningkat. Perbatasan ditutup, baik itu di udara maupun laut. Para ABK ini mau tak mau harus tetap di kapal. Selain itu, ekonomi perusahaan yang memburuk di masa pandemi juga menjadi faktor utama pemicu pelanggaran hukum,” kata Andy.

Seperti diketahui, pandemi berdampak besar pada sektor ekonomi di berbagai bidang, termasuk sektor perikanan dan kelautan.

Lantaran hal tersebut, tambah Andy, banyak perusahaan melakukan pelanggaran, mulai dari tidak membayar gaji ABK, tidak menyediakan fasilitas yang layak, hingga tidak mengizinkan ABK kembali ke negara asal.

Guna membereskan masalah tersebut, pemerintah berusaha sebaik mungkin membantu para ABK lepas dari kondisi tersebut.

“Sejumlah langkah kami jalankan, seperti melakukan diplomasi dengan negara bendera kapal, memfasilitasi kepulangan ABK, memenuhi hak-hak ABK, dan mendampingi mereka yang menjadi korban perdagangan manusia,” terang Andy.

Senada dengan Andy, Ketua Dewan Pengarah Satuan Tugas Pemberantasan Sindikat Pengiriman Pekerja Migran Indonesia Secara Ilegal Komisaris Jenderal (Purn) Suhardi Alius mengatakan, melindungi keberadaan ABK di kapal asing sudah menjadi kewajiban semua pihak, terutama pemerintah. Oleh karena itu, penegakan hukum memiliki peran yang penting.

“Agar menimbulkan efek jera. Jangan semata-mata hanya diberi sanksi administrasi, tapi malah tidak pernah dicukupi. Jadi, (harus) dengan penegakan hukum, apalagi sekarang sudah ada undang-undang yang mengatur,” tegas Suhardi.

Maka dari itu, agar perlindungan terhadap ABK tepat sasaran, undang-undang perlindungan yang sudah ada harus diimplementasikan dengan baik.

“Dengan segala hormat, aturan berskala internasional atau nasional yang ada saat ini belum dipraktikkan dengan semestinya. Kita harus mempertanyakan komitmen semua pihak mengenai masalah penegakan hukum ini,” imbuh Suhardi.

Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Indonesian Fisherman Manning Agency Indonesian Fisherman Manning Agency (IFMA) Sonny Pattiselanno mengatakan, ia menyetujui penegakan dan penindakan hukum terhadap perusahaan yang melakukan praktik ilegal harus dilakukan secara adil.

Bahkan, Hingga saat ini, IFMA telah mengeluarkan beberapa perusahaan dari keanggotaanya karena dugaan praktik ilegal.

“IFMA melakukan konsolidasi organisasi melalui pembinaan kepada anggota , seperti untuk memitigasi penempatan non-prosedural pelaut, mengusulkan moratorium perekrutran dan pengiriman pelaut ke kapal maupun yang diusahakan oleh pengusaha asal Cina, dan memberikan peringatan kepada pemilik kapal yang melakukan pelarungan tidak sesuai prosedur internasional”. ujar Sonny.

Selain penegakan hukum, Deputy Director dari Stanford COS Elizabeth Selig menyampaikan bahwa transparansi merupakan peluang yang dapat diterapkan dalam rantai pasok tenaga kerja perikanan sejak tahap rekrutmen, khususnya pada sektor pembayaran gaji.

“Pada Juni 2017 para pemimpin perusahaan tuna di dunia (pembeli, perdagang, dan retailer) mendeklarasikan komitmen untuk menghapus segala bentuk perbudakan pada rantai pasok perikanan tuna”, ucap Liz

Bagi pekerja, transparansi dapat memberdayakan ABK untuk lebih memahami ketentuan yang ada dalam kontrak dan menelusuri pembayaran gaji sehingga mereka dapat melindungi hak-haknya.

Sementara itu, bagi perusahaan pembeli produk perikanan, mereka dapat menelusuri kepatuhan pelaksanaan kontrak,pembayaran gaji, dan kondisi kerja ABK di atas kapal.

Menurut Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Mohammad Abdi Suhufan, ABK yang ada di kapal ikan asing harus memiliki kesadaran tinggi akan hak mereka. Sebab, kebanyakan kasus pelanggaran HAM pada ABK bisa terjadi lantaran pemahaman hukum yang lemah.

Oleh karena itu, DFW memiliki berbagai program edukasi, penyadaran, pelatihan mengenai pengenalan resiko kerja, indikator kerja paksa, hingga pembentukan kader pada tingkat desa untuk meningkatkan kesadaran akan hak-hak pekerja.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com