Advertorial

Langkah Strategis Mitigasi Perubahan Iklim Melalui Solusi Iklim Alami

Kompas.com - 28/04/2021, 17:29 WIB

KOMPAS.com – Dampak perubahan iklim kian terasa dalam beberapa tahun belakangan.

Sejak masa praindustri (1850–1900) hingga sekarang, suhu rata-rata global telah meningkat 1,2 derajat Celsius. Bahkan, menurut catatan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), 2020 tercatat sebagai tahun terpanas bumi sepanjang sejarah, mengungguli suhu terpanas sebelumnya, yakni pada 2016 dan 2019.

Pemanasan global tersebut memicu perubahan iklim yang mengancam kehidupan di bumi. Bahkan, bila kenaikan suhu menyentuh 2 derajat Celcius, kerusakan akibat pemanasan global bakal sulit dipulihkan.

Hingga saat ini saja, perubahan iklim telah menyebabkan kejadian-kejadian luar biasa. Misalnya, ratusan miliar ton es yang hilang di Greenland dan Antartika, kekeringan ekstrem di Amerika Selatan, kebakaran hutan di Amerika Serikat (AS), serta banjir bandang di Afrika dan Asia.

Di Indonesia sendiri, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa dalam 10 tahun terakhir, terjadi peningkatan bencana ekologis di luar kelaziman.

Berbagai bencana, seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan kekeringan diperkirakan telah terjadi di 90 persen wilayah Indonesia.

Bencana yang terjadi juga diperparah dengan berbagai dampak lingkungan lainnya, seperti kualitas air memburuk, perubahan habitat, keanekaragaman hayati yang terancam, dan kepunahan banyak spesies.

Selain itu, perubahan iklim yang drastis juga berdampak pada bidang lainnya, seperti pertanian dan kesehatan.

Di bidang pertanian, produktivitas menurun karena perubahan kualitas air dan pergeseran masa tanam. Sementara dalam bidang kesehatan, daya tahan tubuh masyarakat yang terdampak dapat melemah dan wabah penyakit kian mudah merebak.

Oleh karena itu, dibutuhkan langkah mitigasi perubahan iklim yang konkret dan strategis, baik dari pemerintah maupun pihak swasta, untuk mengatasi masalah perubahan iklim.

Solusi iklim berbasis alam dapat menjadi jawaban untuk mengoptimalkan berbagai upaya tersebut dengan waktu relatif singkat, efektif, dan terjangkau.

Solusi iklim alami

Untuk diketahui, pemanasan global terjadi karena peningkatan produksi gas rumah kaca yang dihasilkan dari berbagai kegiatan manusia, terutama di sektor industri.

Dari beragam gas rumah kaca, karbon dioksida atau CO2 berkontribusi terbesar terhadap pemanasan global, yaitu sekitar 82 persen.

Karenanya, upaya meminimalisasi peningkatan karbon dioksida dalam skala besar menjadi langkah strategis untuk menahan laju pemanasan global.

Adapun Indonesia telah berkomitmen menurunkan emisi karbon sebesar 834 juta ton CO2 atau 29 persen pada 2030 berdasarkan business as usual (BAU) yang tertuang pada Nationally Determined Contribution (NDC). Dengan bantuan internasional, penurunan emisi karbon tersebut ditargetkan dapat mencapai 41 persen.

Sejatinya, terdapat beberapa opsi yang efektif untuk menekan pelepasan CO2. Salah satunya adalah mengganti sumber energi konvensional dengan energi bersih dan terbarukan. Namun, hal itu membutuhkan waktu, strategi, dan dana yang besar.

Cara lain yang bisa ditempuh berdasarkan hasil riset sejumlah ilmuwan adalah mengaplikasikan solusi iklim alami (natural climate solution).

Menurut peneliti karbon hutan dan perubahan iklim di Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Nisa Novita, solusi iklim alami merupakan serangkaian upaya mitigasi berbasis sumber daya alam yang mencakup perlindungan hutan dan lahan basah, perbaikan pengelolaan hutan, serta restorasi ekosistem hutan, gambut, dan mangrove.

Nisa menambahkan, program solusi iklim alami di Indonesia tidak hanya berfokus pada pencegahan deforestasi. 

“Program tersebut juga mencakup enam strategi lainnya, yakni reforestasi hutan, pembasahan kembali gambut yang terdegradasi, pencegahan kerusakan gambut termasuk kebakaran, restorasi mangrove, pencegahan kerusakan mangrove, dan pengelolaan hutan secara lestari,” ujarnya dalam rilis yang diterima Kompas.com, Selasa (27/4/2021).

Lebih lanjut Nisa menjelaskan, berdasarkan penelitian Bronson Griscom et al yang berjudul “Natural Climate Solutions” dan dipublikasikan pada 2017 dan 2020, solusi iklim alami merupakan strategi dari alam yang berdampak signifikan dan efektif secara biaya.

 Strategi itu juga diperkirakan dapat berkontribusi setidaknya sepertiga dari seluruh upaya yang diperlukan untuk menahan laju pemanasan global di bawah 2 derajat Celsius.

“Bila aksi solusi iklim alami diimplementasikan di Indonesia secara efektif, target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen tanpa syarat diperkirakan dapat tercapai pada 2030,” ujar Nisa.

Potensi besar gambut dan mangrove di Indonesia

Dalam menahan kenaikan suhu global, Indonesia memiliki modal dan potensi besar khususnya di sektor kehutanan.

Berdasarkan catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas hutan lahan kering Indonesia sekitar 120 juta hektare (ha), lahan gambut 15 juta ha, dan mangrove 3,5 juta ha.

Lantaran hal itu, YKAN melakukan riset untuk menghitung kembali potensi maksimal Indonesia dalam menurunkan emisi karbon dengan pendekatan solusi iklim alami.

Nisa mengatakan bahwa terdapat dua parameter penting untuk menghitung emisi. Pertama, data aktivitas atau potensi luas areanya. Kedua, faktor emisinya atau flux.

“Dua parameter itu menentukan berapa besar simpanan karbon jika hutan tidak dialihfungsikan atau berapa emisi yang dirilis ke atmosfer ketika suatu area mengalami perubahan,” ujar Nisa.

Dari penelitian tersebut, YKAN menemukan bahwa potensi paling besar untuk menurunkan emisi karbon adalah melalui lahan gambut sebesar 69 persen, diikuti dengan hutan lahan kering (dryland) 29 persen, dan mangrove 2 persen.

Temuan tersebut juga menunjukkan bahwa peran lahan gambut sangat besar, walaupun luas lahannya jauh lebih kecil dibandingkan hutan lahan kering di Indonesia.

Seperti diketahui, gambut terbentuk dari akumulasi bahan-bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna selama jutaan tahun lalu. Akibatnya, terdapat kandungan karbon dalam jumlah sangat besar yang tersimpan di bawah tanah.

Meski hanya mencakup tiga persen wilayah di daratan Bumi, lahan gambut tropis menyimpan sepertiga total karbon dunia.

Sementara itu, simpanan karbon lahan gambut Indonesia yang seluas 15 juta ha setara dengan 84 persen karbon gambut di seluruh Asia Tenggara.

“Dengan besaran simpanan karbon tersebut, upaya menjaga lahan gambut tetap pada kondisi alaminya menjadi vital. Sebab, perubahan atau alih fungsi lahan gambut dapat mempercepat laju dekomposisi material organik dan melepaskan karbon dalam jumlah signifikan ke atmosfer,” jelas Nisa.

Meski demikian, terdapat tantangan besar dari pengelolaan lahan gambut di Indonesia. Hampir setengah dari lahan gambut digunakan untuk kegiatan perkebunan dan hutan tanaman industri. Imbasnya, lebih dari 1 juta ha hutan lahan gambut di Indonesia hilang dalam satu dekade terakhir.

Selain itu, lahan gambut yang kering atau terdegradasi akan mengalami perubahan struktur tanah secara permanen. Karbon yang tadinya tersimpan di dalam tanah akan terus-menerus terlepas ke atmosfer. Hal tersebut mengubah fungsi lahan gambut dari penyerap karbon menjadi sumber penghasil karbon.

Selain gambut, ekosistem mangrove juga berkontribusi besar dalam penurunan emisi karbon. Adapun seperempat dari ekosistem mangrove dunia berada di Indonesia. Ekosistem ini menyimpan 3,14 miliar ton karbon atau setara dengan sepertiga stok karbon dunia yang ada di wilayah pesisir.

Namun, ekosistem mangrove tersebut terus terdegradasi dan menyempit setiap tahunnya. Dalam satu dekade terakhir, Indonesia kehilangan 260 ribu ha mangrove akibat konversi lahan untuk keperluan tambak atau budidaya perairan, pertanian, dan infrastruktur perkotaan.

Melihat potensi tersebut, upaya pelestarian ekosistem lahan gambut, mangrove, dan hutan lahan kering semakin penting. Terlebih, ekosistem lahan ini tidak hanya berkontribusi pada penurunan emisi karbon.

Pelestarian ekosistem lahan juga bermanfaat dalam regulasi temperatur udara, menjaga kepadatan tanah, mempertahankan keanekaragaman hayati, mengurangi limpasan air, dan meningkatkan kualitas hidup.

Nisa menjelaskan, mitigasi perubahan iklim membutuhkan respons darurat dan solusi iklim alami bisa menjadi langkah quick wins. Karenanya, komitmen dan sikap para pengambil kebijakan menjadi kunci untuk keberlangsungan hidup di masa depan.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com