Advertorial

YKAN dan KPH Bengalon Dorong Pengembangan Budi Daya Kakao di Karangan Ilir Demi Tingkatkan Kualitas

Kompas.com - 29/04/2021, 20:45 WIB

KOMPAS.com - Salah satu daerah penghasil kakao terbesar di Indonesia berada di kawasan Karst Sangkulirang Mangkalihat, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Tepatnya, di Desa Karangan Ilir.

Di desa tersebut terdapat perkebunan komoditas rakyat seluas 124 hektare (ha) dengan rata-rata produksi mencapai 100 ton per tahun.

Dari total luas perkebunan itu, 104 ha lahan kini diupayakan menjadi tempat budi daya kakao organik. Sebanyak 100 petani yang terbagi ke dalam tujuh kelompok tani (poktan) dikerahkan untuk mengelola kegiatan budi daya komoditas tersebut.Ada empat jenis kakao yang dibudidayakan saat ini, yaitu Sulawesi 1, Sulawesi 2, MCC 01, dan MCC 02. Keempat klon kakao tersebut mampu menghasilkan biji kakao dengan aroma dan cita rasa yang kuat bila melewati proses fermentasi.

Berkat keunggulan itu, biji kakao dari klon-klon tersebut sering digunakan sebagai bahan dasar pembuatan cokelat oleh bean to bar chocolate maker dan artisan cokelat. Dengan kata lain, keempatnya berpotensi untuk masuk ke dalam pasar premium.

Agar mampu bersaing di pasar premium, proses budi daya perlu mendapat perhatian khusus. Terlebih, produksi varietas kakao itu diperkirakan dapat mencapai 2 hingga 2,5 ton per ha pada musim panen raya setiap tahun.

Tingginya produktivitas tersebut berkat adanya gerakan peremajaan terhadap pohon kakao tua dan pemahaman pembudidayaan kakao berdasarkan Good Agriculture Practices (GAP) atau praktik perkebunan yang baik.

Selain itu, teknik budi daya panen, pemangkasan, pemupukan, dan sanitasi (P3S) juga mampu dijalankan dengan baik oleh para petani.

Komoditas ekspor penting

Seperti diketahui, kakao merupakan salah satu komoditas ekspor dari sektor perkebunan yang penting bagi Indonesia. Menurut data Kementerian Pertanian, ekspor olahan awal biji kakao mencapai 358.482.074 kilogram (kg) pada 2019.

Sebagian besar produk olahan biji kakao yang sukses menembus pasar global terdiri dari cocoa butter (kode HS 1804) dengan proporsi ekspor 40 persen, cocoa powder 25 persen, dan cocoa liquor 19 persen.

Namun, di satu sisi, angka ekspor biji kakao relatif kecil, yakni sekitar 9 persen dan terus mengalami penurunan sejak 2011.

Sebagai solusi atas permasalahan tersebut, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berkomitmen untuk memacu pengembangan hilirisasi industri pengolahan kakao di dalam negeri.

Industri itu termasuk salah satu sektor prioritas yang harus dikembangkan sesuai Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) tahun 2015-2035.

Pengembangan tersebut bertujuan untuk menghasilkan bubuk cokelat, lemak cokelat, makanan dan minuman dari cokelat, suplemen, serta pangan fungsional berbasis kakao.

Pada tingkatan petani, pengembangan hilirisasi yang ada belum memberi pengaruh signifikan. Salah satu penyebabnya adalah banyaknya industri pengolahan di Indonesia tidak membeli biji kakao fermentasi.

Dengan biji kakao non fermentasi, petani menjual hasil panen di bawah harga referensi yang ditetapkan oleh pasar kakao New York atau London.

Sementara, harga referensi tersebut tidak memperlihatkan peningkatan dalam kurun lima tahun terakhir. Pada 2020, rentang harga yang terekam adalah antara 2,1–2,7 dollar AS per kg.

Potensi pasar kakao premium

Saat ini, Indonesia hanya mampu menyumbang 1 persen kakao premium dari jumlah produksi kakao yang ada. Angka tersebut jauh dari panel recommendation (di atas 10 persen) agar dapat menjadi anggota komite penghasil Fine or Flavour Cocoa (FFC) Dunia.

Hal tersebut lantaran teknologi pengolahan kakao di Indonesia belum dilakukan sesuai ketentuan, terlebih pada proses fermentasi dan pengeringan.

Padahal, fermentasi merupakan proses mutlak dalam terbentuknya perisa ( flavour) dan aroma biji kakao yang berkualitas.

Sementara itu, pengeringan merupakan penunjang agar hasil fermentasi yang baik tetap baik hingga pengeringan berakhir.

Hal tersebut menyebabkan mutu kakao yang dihasilkan tergolong rendah sehingga kakao Indonesia hanya dipakai sebagai bahan campuran makanan cokelat maksimal 10 persen.

Maka dari itu, fokus dari Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bengalon, Kalimantan Timur dalam mengembangkan bisnis mandiri adalah menyediakan kakao fermentasi berkualitas, baik untuk pasar domestik maupun global.

Skema pengembangan kakaoDok. YKAN Skema pengembangan kakao

Perjuangan memberikan nilai tambah itu harus diperkuat agar dapat meningkatkan persentase FFC di Indonesia, termasuk sumber biji kakao fermentasi yang dipasok oleh Kutai Timur yang termasuk di dalam areal KPH Bengalon.

Mengacu pada produksi kakao di Kutai Timur yang mampu menghasilkan sekitar 280.000 kg tiap tahun, kualitas ini dapat ditingkatkan melalui proses fermentasi.

Dengan begitu, pertambahan nilai yang didapat oleh petani bisa menjadi lebih baik dibanding hanya menghasilkan kakao asalan.

Program pengembangan kakao

Demi mendorong pengembangan budi daya tanaman kakao, Dinas Kehutanan Provinsi Kaltim melalui KPH Bengalon berencana mengembangkan bisnis pengolahan kakao dari biji menjadi produk setengah jadi maupun aneka produk akhir cokelat lainnya.

Melalui program bertajuk “Program KPH Mandiri”, pemerintah akan mendukung ketersediaan bahan baku yang dibutuhkan dalam hilirisasi industri kakao di Kalimantan Timur, khususnya biji kakao fermentasi.

Melalui program tersebut, diharapkan dapat terbangun proses peningkatan serapan biji kakao fermentasi dan produk olahan yang dapat dijadikan sebagai ikon, proses pembelajaran pengolahan kakao dan cokelat dari hulu ke hilir.

Tujuan lainnya adalah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dan kesejahteraan masyarakat setempat.

Adapun sejak akhir 2020, Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) sudah mendampingi KPH Bengalon untuk melaksanakan studi kelayakan terhadap program KPH Mandiri.

Kedua pihak tersebut juga merancang skema bisnis pengolahan biji fermentasi di Desa Karangan Ilir dan bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) agar bisa terhubung dengan beberapa industri pengolahan kakao. Khususnya, industri penghasil cokelat premium dari biji kakao fermentasi.

Skema bisnis kakaoDok. YKAN Skema bisnis kakao

Bentuk dari skema bisnis tersebut adalah pengembangan hasil hutan bukan kayu (HHBK) agroforestri kakao dengan tanaman kehutanan (pembukaan lahan budi daya secara legal) dan pengembangan usaha fermentasi kakao (penjualan biji kakao kering fermentasi).

Selain itu, terdapat juga pengelolaan kakao olahan, seperti cokelat batangan dan kakao mass atau liquor yang akan dijadikan sebagai ikon wilayah Kutai Timur. Produk ini dipilih berkat ketersediaan dana untuk memperoleh mesin yang berkualitas.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com