Kabar kesehatan

JPKL Kembali Desak BPOM Keluarkan Label Peringatan di Galon Air Kemasan, Lengkap dengan Hasil Uji Lab Migrasi BPA

Kompas.com - 19/05/2021, 08:00 WIB

KOMPAS.com - Perkumpulan Jurnalis Peduli Kesehatan dan Lingkungan (JPKL) kembali mendesak Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk mengeluarkan label peringatan konsumen pada kemasan galon isi ulang yang mengandung Bisfenol A (BPA).

Ketua JPKL Roso Daras mengatakan, pihaknya telah melakukan upaya tersebut selama empat bulan, tepatnya saat pertemuan dengan BPOM, Kamis (4/2/2021).

Upaya JPKL tersebut didasari pada hasil penelitian dari berbagai negara maju yang menyatakan bahwa BPA berbahaya bagi bayi, balita, dan janin pada ibu hamil. Selain itu, hasil riset peneliti baik internasional maupun dalam negeri menyimpulkan bahwa BPA dapat menyebabkan gangguan kesehatan.

Gangguan kesehatan tersebut di antaranya adalah berat badan lahir, perkembangan hormonal, perilaku, autisme, kerusakan sel-sel saraf otak secara permanen, dan risiko kanker di kemudian hari.

Dengan pemasangan label, bayi, balita, dan ibu hamil bisa menghindari mengonsumsi air mineral dalam kemasan (AMDK) yang mengandung BPA sehingga terhindar dari risiko-risiko tersebut.

Namun, BPOM masih bergeming dan belum menindaklanjuti desakan dari JPKL. Padahal, menurut Roso Daras, pada Maret 2021, JPKL mengirimkan sampel beberapa galon isi ulang yang kemasannya mengandung BPA, sesuai permintaan BPOM.

Galon tersebut diperoleh dari mata rantai distribusi AMDK galon isi ulang. Selanjutnya, galon tersebut dikirim ke Tuv Nord Laboratory Service untuk dianalisis kadar migrasi BPA.

Analisis tersebut dilakukan selama 25 hari menggunakan parameter BPA Metode SNI 7626-1:2017.

Penggunaan metode SNI tersebut sesuai dengan ketentuan Badan Standardisasi Nasional tentang penetapan Standar Nasional Indonesia Cara Uji Migrasi Zat Kontak Pangan dari Kemasan Pangan - Bagian 1: Plastik Karbonat (PC), Migrasi Bisfenol A (BPA).

"Kami telah menuruti permintaan BPOM. Mengingat kami mempunyai keterbatasan dalam hal penelitian, JPKL meminta Tuv Nord Laboratory Service untuk melakukan analisis terhadap migrasi BPA pada galon isi ulang polikarbonat 19 liter,” ujar Roso dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Selasa (18/5/2021).

Roso menambahkan, hasil analisis tersebut cukup mengejutkan. Penelitian menunjukkan, tingkat migrasi BPA pada sampel galon isi ulang berkisar antara 2 hingga 4 parts per million (ppm).

-Dok. JPKL -

“Padahal, batas toleransi yang diizinkan BPOM adalah 0,6 ppm atau babak per juta (bpj). Ini benar-benar skandal. Pihak yang menganalisis migrasi BPA ini adalah laboratorium berskala internasional yang kredibel dan independen," ujar Roso.

Setelah melakukan penelitian dan menerima hasil analisis terbaru dari Tuv Nord Laboratory Service, JPKL kembali mengirim surat kepada BPOM untuk melaporkan hasil penelitian tersebut.

Selain hasil analisis migrasi BPA, JPKL juga menyampaikan hasil penelitian migrasi BPA dan kajiannya ke BPOM dari referensi peraturan terkait BPA.

Referensi tersebut mengacu dari sejumlah negara maupun berbagai riset peneliti dunia dan Indonesia yang menyatakan bahwa kemasan plastik yang mengandung BPA berbahaya serta dilarang penggunaannya di negara maju.

Dengan demikian, kata Roso, JPKL berharap BPOM dapat meninjau ulang serta merevisi peraturan mengenai informasi BPA yang telah berlaku.

“(Kami berharap) BPOM mau memberi label peringatan konsumen pada kemasan galon isi ulang polikarbonat 19 liter yang mengandung BPA. Sebab, siapa lagi kalau bukan BPOM?” terangnya.

Roso menambahkan, upaya dari JPKL merupakan bentuk dukungan terhadap BPOM untuk menjaga kesehatan masyarakat Indonesia.

“Dukungan ini dilengkapi dengan hasil analisis dan kajian yang akurat. Setidaknya, analisis laboratorium dilakukan oleh pihak yang sangat kompeten," paparnya.

Pihaknya meyakini, lewat hasil penelitian dan kajian tersebut, BPOM akan memperhatikan temuan JPKL dan mendengarkan permintaan konsumen.

Sebab, menurut Roso, tim BPOM terdiri dari kalangan yang peduli terhadap kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, ia pun percaya, tim BPOM tidak melindungi pihak yang menyerukan bahaya BPA sebagai hoaks demi keuntungan dengan mengesampingkan kesehatan masyarakat Indonesia.

"Karena hasil analisis yang dilakukan Tuv Nord jauh melewati batas toleransi, yaitu migrasi BPA di atas ambang batas 0,6 ppm yang ditetapkan BPOM. Kalau saja hasilnya hanya 0,5 ppm, JPKL akan mengatakan apa adanya. Ini batas toleransi yang dilewati sudah sangat jauh dan berbahaya," tegas Roso. (Adv)

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com