Advertorial

Manfaatkan Teknologi, Komunitas Salihara Gelar Pameran Virtual Universal Iteration

Kompas.com - 21/05/2021, 14:18 WIB

KOMPAS.com – Lembaga seni-budaya Komunitas Salihara menggelar pameran virtual bertajuk Universal Iteration, mulai 22 Mei 2021 hingga 6 November 2021 melalui website www.salihara.org.

Adapun pameran berbasis digital tersebut bakal menyuguhkan pengalaman baru bagi pencinta seni menikmati karya seni rupa secara daring.

Pihak komunitas Salihara menjelaskan, pameran Universal Iteration merupakan respons pelaku seni terhadap perkembangan teknologi yang semakin mutakhir.

Saat ini, selain digunakan untuk menunjang kebutuhan dan aktivitas masyarakat sehari-hari, teknologi juga merangsek ke ranah artistik.

Hal itu terlihat dari peningkatan kegiatan pelaku seni daring, baik individu maupun kelompok, untuk menampilkan berbagai pameran, pertunjukan, festival seni, diskusi, dan seminar.

Kurator pameran seni Universal Iteration Bob Edrian mengatakan, ide pameran tersebut diambil dari konsep “iterasi” yang berarti perulangan. Menurutnya, iterasi yang dilakukan secara bersama-sama dapat membuka alternatif-alternatif terbaik untuk berbagai bentuk seni.

“Sebelumnya, (kegiatan seni) selalu dilakukan secara fisik. Namun, lewat iterasi, kami berharap dapat mencapai kesepakatan universal,” ujar Bob dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Kamis (20/5/2021).

Bob menjelaskan, spektrum karya-karya seniman berbasis digital yang dipamerkan dalam Universal Iteration tak hanya mengangkat isu-isu umum, tetapi juga akan memantik pembicaraan terkait teknologi dan kesadaran internet itu sendiri.

Dalam pameran virtual tersebut, penonton dapat menyaksikan karya Bandu Darmawan, Blanco Benz Atelier, Farhanaz Rupaidha, House of Natural Fiber dan Institut Teknologi Telkom Purwokerto, Mira Rizki Kurnia, Natasha Tontey, Riar Rizaldi, serta Tromarama.

Para seniman tersebut memang sering berkarya dengan memanfaatkan teknologi. Bandu Darmawan, misalnya, kerap menggunakan idiom dan cara kerja video game. Bandu juga pernah menampilkan karya interaktif dalam Pekan Kebudayaan Nasional pada akhir 2020. 

Pada pameran tersebut, ia menawarkan karya interaktif yang memungkinkan pengunjung untuk memilih sendiri jalan cerita di setiap karya yang dipamerkan dengan memanfaatkan platform Unity.

Blanco Benz Atelier yang terdiri tiga seniman muda, yaitu Jeffi Manzani, William Samosir dan Yura Kenn Kusnar, juga beberapa kali menggabungkan teknologi dalam karya-karyanya. Mereka pernah menyelenggarakan pameran dengan mengusung pemanfaatan manipulasi digital pada 2018.

Selain itu, untuk menciptakan karya seni, trio seniman itu juga mengangkat kemampuan algoritma generatif dan kecerdasan buatan (artificial intelligence).

Mereka menilai bahwa perkembangan dan pemanfaatan algoritma dapat memicu keterbukaan beragam kemungkinan artistik baru.

Selain Blanco Benz Atelier, seniman lain yang juga mengeksplorasi algoritma generatif berbasis interaksi adalah Farhanaz Rupaidha.

Salah satu karyanya bahkan pernah dipresentasikan dalam Festival Seni Media Internasional Instrumenta #2: Machine/Magic.

Adapun ciri khas karya Farhanaz adalah mempertanyakan hubungan “tidak terlihat” antara perkembangan teknologi digital dan lingkungan. Misalnya saja, pengaruh transaksi dan sirkulasi data digital dalam menciptakan gangguan-gangguan fisik bagi alam sekitar.

Selain ketiga seniman tadi, karya House of Natural Fiber dan Institut Teknologi Telkom Purwokerto juga tak kalah menarik untuk disimak. Pada Universal Iteration, kelompok seni tersebut membangun instalasi tentang kemungkinan terjadinya ekosistem kehidupan yang organik.

Karya instalasi tersebut kemudian akan ditanggapi oleh beberapa seniman dalam format pertunjukan yang disorot dan ditampilkan lewat fitur kamera 360 Youtube. Dengan demikian, pengunjung dapat leluasa menjelajahi seluruh instalasi, pertunjukan, dan area sekitar pameran.

Kemudian, ada pula Mira Rizki Kurnia. Ia meraih gelar sarjananya di Fakultas Seni Rupa dan Desain Studio Seni Intermedia Institut Teknologi Bandung (ITB).

Ketika memulai karier sebagai seniman media baru, Mira kerap menggunakan medium bunyi serta interaktivitas bunyi-bunyi keseharian.

Selama pandemi, Mira menelusuri beragam objek untuk dibunyikan dan dikomposisikan. Kemudian, pengalaman mengolah bebunyian tersebut ia bagikan melalui website.

Melalui website tersebut, pengunjung bisa memilih sendiri bebunyian mana yang akan dimainkan dan diharmonisasikan dengan bunyi lainnya.

Tak ketinggalan, seniman Natasha Tontey juga turut mengisi pameran virtual Salihara. Lewat karyanya, seniman yang berprofesi sebagai desainer grafis dan pengembang situs web ini menekankan aspek spekulatif dan imajinatif masa depan.

Hal itu diwujudkan Natasha melalui penelusuran-penelusuran yang bersifat lokal. Dalam sebuah karyanya, ia mengumpulkan ramalan-ramalan dari pertemuannya dengan dukun atau paranormal.

Ramalan-ramalan tersebut kemudian ia tuangkan dalam karya instalasi dan gambar bergerak.

Ada pula Riar Rizaldi. Ia merupakan salah satu seniman yang memanfaatkan media film sebagai ruang karya. Untuk diketahui, Riar pernah membuat satu karya yang mengangkat material timah sebagai unsur alam yang menopang teknologi.

Adapun karya teranyar Riar mengangkat peran penting Stasiun Radio Malabar pada masa lalu dalam memahami peran alam terhadap akselerasi teknologi. Eksplorasi medium film yang ia kerjakan banyak ditampilkan dalam format film dokumenter.

Terakhir, seniman yang bakal mengisi pameran Universal Iteration adalah Tromarama. Dalam geliat seni yang dilakoni, Tromarama mengangkat gagasan algoritma media sosial dan perilaku pengguna internet lewat karya-karya instalasi.

Tromarama mengumpulkan dan mempresentasikan ulang data yang disaring dengan menambahkan konteks spesifik. Mulai dari menyaring tagar di platform Twitter hingga data prakiraan dan perubahan cuaca untuk menghasilkan visualisasi-visualisasi tertentu. 

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau