KOMPAS.com - Toleransi merupakan salah satu nilai penting yang perlu diterapkan oleh seluruh kalangan di era digital. Pasalnya, keragaman multidimensi akan terasa indah jika diiringi sikap saling menghormati perbedaan.
Di atas kertas, iklim toleransi di Indonesia tercatat baik. Meski demikian, sejumlah indikator masih membutuhkan akselerasi perbaikan. Salah satunya, kecakapan pengguna teknologi.
Selain didorong untuk mampu menguasai instrumen digital, pengguna teknologi juga wajib bertanggung jawab saat beraktivitas di ranah maya.
Karena itulah, literasi digital menjadi kunci penting untuk mewujudkan praktik demokrasi dan toleransi di era digital.
Dalam rangka mendukung program Literasi Digital Nasional yang digaungkan pemerintah, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menggelar seri webinar Indonesia #MakinCakapDigital.
Kegiatan yang diselenggarakan secara virtual tersebut menjangkau 514 kabupaten atau kota seluruh Indonesia.
Pada Selasa (15/6/2021), seri webinar dengan tema "Demokrasi dan Toleransi di Dunia Digital" diselenggarakan untuk masyarakat di 14 kabupaten dan kota di wilayah DKI Jakarta dan Banten.
Sejumlah narasumber ahli dari berbagai bidang dihadirkan dalam webinar tersebut. Mereka adalah Sekretaris Jenderal (Sekjen) Indonesia Association for Public Administration (IAPA) Bevaola Kusumasari, Aktivis Perempuan Riri Khariroh, Chief Executive Officer (CEO) PT Karetech Muhammad Salahuddien Manggalanny, dan Dosen Universitas Ngurah Rai sekaligus anggota IAPA Ida Ayu Putu Sri Widnyani.
Topik yang diangkat dalam webinar itu antara lain digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety.
Pada kesempatan tersebut, Ida Ayu mengatakan, Kemkominfo telah menyusun peta jalan literasi digital 2021-2024 yang mengacu dari sejumlah referensi global dan nasional. Peta jalan ini kemudian dirumuskan menjadi empat topik dalam webinar.
Ia pun memaparkan bahwa teknologi terbaik adalah teknologi yang mampu menyatukan seluruh elemen masyarakat dalam keberagaman.
Karena itu, lanjut Ida, ada empat prinsip utama yang harus dipahami dalam berdemokrasi dan bertoleransi di era digital.
“(Keempat prinsip tersebut) antara lain paham prinsip dan tujuan demokrasi, mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan teknologi, cakap atau melek terhadap pengetahuan digital, serta bermedia secara cerdas, baik (secara) rohaniah, rasionalitas, maupun emosional,” ujar Ida dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Kamis (17/6/2021).
Sementara itu, terkait toleransi dan multikulturalisme, Bevaola Kusumasari mengatakan, keberagaman yang tersaji di internet membuat toleransi jadi hal yang wajib dipegang oleh semua orang.
Dengan demikian, kata Bevaola, setiap orang bisa hidup saling berdampingan dengan damai.
"Toleransi tumbuh dengan kesadaran bahwa keanekaragaman suku, agama, ras, dan bahasa terjadi karena sejarah dengan semua faktor yang memengaruhi," terangnya.
Ia pun menjelaskan, teknologi digital saat ini dipandang sebagai sebuah kekuasaan baru yang menghasilkan sejumlah hal. Sebut saja dalam kontestasi politik dan ekonomi. Teknologi digital menciptakan keseimbangan baru, serta menggusur kekuasaan versi lama yang bersifat tertutup, nirakses, dan digerakkan secara sentral.
"Kekuasaan baru tersebut melibatkan banyak orang, terbuka, dan partisipatif,” tambahnya.
Terkait optimalisasi media sosial untuk menggalakkan aksi toleransi di Indonesia, Bevaola mengatakan bahwa media sosial terbukti efektif di sejumlah negara untuk membangkitkan perdamaian.
Saat konflik di Palestina kembali mencuat, misalnya, Twitter dan Instagram dijadikan sebagai instrumen untuk menyuarakan perdamaian.
“Menggunakan media sosial untuk menyebarkan konten-konten yang positif, termasuk dalam hal saling bertoleransi,” papar Bevaola.
Riri Khariroh juga memaparkan hal serupa. Sebagai negara yang majemuk dan salah satu negara demokratis terbesar di dunia, nilai-nilai toleransi harus dijunjung tinggi masyarakat Tanah Air, terutama saat bermedia digital.
Riri pun mencontohkan beberapa cara untuk memperkuat demokrasi dan toleransi di era digital. Misalnya, memperbanyak pesan-pesan toleransi secara masif.
“Selain itu, memberikan porsi yang besar pada konten-konten positif dan edukatif dalam kehidupan berdemokrasi, serta membuka ruang pertemuan di dunia digital kepada kelompok-kelompok dengan latar belakang yang berbeda-beda,” jelasnya.
Sementara itu, terkait konsep digital democracy, Muhammad Salahuddien Manggalanny mengatakan, demokrasi digital adalah penggunaan media dan jaringan digital secara kolektif untuk politik, baik secara online dan offline maupun gabungan, dengan pandangan tertentu tentang demokrasi.
Melihat banyaknya penduduk Indonesia yang berpartisipasi dalam bermedia sosial, ia mengatakan bahwa demokrasi digital memiliki sejumlah manfaat.
“Misalnya, sebagai saluran baru untuk mencari berita politik, berdiskusi, dan berorganisasi atau memobilisasi,” kata Muhammad.
Selain itu, imbuh dia, demokrasi digital membuat akses informasi semakin merata sehingga setiap orang dapat memperoleh informasi yang sama.
“(Orang) yang sebelumnya diam dan tak mendapat akses, kini bisa mendapatkan informasi politik yang sama. Utamanya, mereka yang memiliki latar belakang pendidikan dan kepentingan politik yang belum memadai,” jelasnya.
Seri Modul Literasi Digital
Untuk diketahui, webinar Indonesia #MakinCakapDigital merupakan salah satu bentuk sosialisasi dan pendalaman dari Seri Modul Literasi Digital yang digaungkan Kemkominfo.
Dalam rangka mendukung program Literasi Digital Nasional, Kemkominfo menjalin kerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital.
Dengan kolaborasi tersebut, Kemkominfo meluncurkan Seri Modul Literasi Digital yang berfokus pada empat tema besar.
Empat tema tersebut adalah Cakap Bermedia Digital, Budaya Bermedia Digital, Etis Bermedia Digital, dan Aman Bermedia Digital.
Kemkominfo berharap, penerbitan modul literasi digital tersebut dapat membuat masyarakat dapat mengikuti perkembangan dunia digital secara baik, produktif, dan sesuai dengan nilai-nilai kehidupan.