KOMPAS.com – Internet bak pedang bermata dua. Jika digunakan secara bijak, teknologi tersebut akan memberikan manfaat bagi penggunanya. Begitu pun sebaliknya.
Anggota Indonesian Association for Public Administration (IAPA) Nurly Meilinda mengatakan, kebebasan yang ditawarkan pada era digital pun mendorong perubahan komunikasi masyarakat. Kondisi itu membuat mereka bereaksi secara spontan dan tak jarang tanpa pikir panjang.
Mirisnya, lanjut Nurly, konten yang viral dianggap lebih penting dari kualitas dan etika. Alhasil, kini banyak miskomunikasi, disinformasi, dan hoaks bertebaran di internet.
“Karena itu, norma sosial dan etika berkomunikasi sepatutnya juga diterapkan dalam ranah digital,” katanya dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Selasa (22/6/2021).
Dalam rangka mendukung program Literasi Digital Nasional, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi meluncurkan Seri Modul Literasi Digital.
Adapun program tersebut merupakan upaya pemerintah untuk memperkuat kecakapan masyarakat dalam menggunakan teknologi dan media digital secara komprehensif.
Dengan kata lain, masyarakat diharapkan tidak hanya mampu mengoperasikan perangkat teknologi digital, tapi juga paham cara bermedia digital dengan penuh tanggung jawab.
Ada empat tema besar yang diulas dalam Seri Modul Literasi Digital, yaitu digital skills, digital culture, digital ethics, dan digital safety.
Sosialisasi modul tersebut dilakukan secara daring dalam format web seminar (webinar) bertajuk Indonesia #MakinCakapDigital pada Senin (21/6/2021). Acara ini dihadiri oleh sejumlah narasumber dari berbagai bidang dan keahlian, serta profesi.
Terkait keamanan internet, pakar pemasaran digital Eko Sugiono mewanti-wanti agar masyarakat selalu waspada saat berselancar di internet. Terlebih, jika mengakses situs web yang meminta data pribadi.
“Data yang dibagikan dan tersimpan di ranah digital berpotensi untuk disalahgunakan. Karena itu, jangan sembarangan menyebar data pribadi dan hindari tindakan memperjualbelikan data-data tersebut,” kata Eko.
Selain penyalahgunaan data pribadi, anggota Japelidi Fransiska Desiana Setyaningsih menyebut, ada banyak bentuk ancaman lain yang kerap terjadi di internet.
“(Contohnya), bullying, perdagangan manusia, pencurian data pribadi, pelecehan seksual, pornografi, dan penipuan. Semua itu berpotensi menimbulkan kekerasan dan kecanduan pada pengguna internet,” sebut Fransiska yang juga merupakan dosen Universitas Katolik (Unika) Widya Mandira Kupang.
Oleh sebab itu, ia menyarankan agar masyarakat melakukan proteksi terhadap perangkat digital yang digunakan. Selain itu, penting pula untuk mengenali dan memahami modus-modus penipuan digital.
“Untuk menunjang kenyamanan berinternet, informasi atau konten yang diunggah pun harus positif sehingga menciptakan pertemanan,” tambahnya.
Pada dasarnya, positif atau tidaknya internet tergantung dari apa yang pengguna akses dan bagikan di sana. Agar internet memberikan manfaat, anggota IAPA Alviko Ibnugroho membeberkan cara memaksimalkan teknologi itu.
“Buatlah konten sosial yang positif, daftar unggahan menarik, website yang ramah terhadap media sosial, dan pastikan membuat format posting yang bagus. Agar selalu aman dalam menggunakan internet, jauhi hal-hal negatif. Jika sikap positif tersebut diimplementasikan, kualitas diri turut meningkat,” bebernya.
Sementara itu, CEO Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Mutiara Soka dan Nemolab Pri Anton Subardio mengungkapkan, ada lima kompetensi yang perlu ditingkatkan dalam membangun keamanan digital.
“Pengamanan perangkat digital, identitas digital, mewaspadai penipuan digital, memahami rekam jejak digital, dan memahami keamanan digital bagi anak. Masyarakat juga harus mengetahui mengenai rekam jejak digital diri sendiri. Sebab, hal itu sangat sulit atau bahkan tidak bisa dihilangkan,” jelasnya.
Saat ini, tak sedikit kasus data breach atau pembobolan data terjadi di Indonesia. Terkait hal ini, Pri mengungkapkan bahwa pemerintah telah mengambil tindakan dengan memberi sanksi tegas kepada penyedia layanan internet.
Untuk pencegahan lebih lanjut, ia menekankan upaya tersebut bisa dimulai dari diri sendiri, seperti rutin mengganti password dan melakukan pembaruan perangkat lunak.
“Selain itu, masyarakat juga perlu mengetahui keamanan perangkat yang terpasang pada gawai. Pastikan aplikasi yang terpasang hanya mengakses data yang dibutuhkan dan bukan data pribadi. Hindari memberikan data pribadi dan keluarga kepada siapa saja. Terlebih, saat berada pada jaringan wifi publik,” jelasnya.
Saring sebelum sharing
Ibarat berpikir sebelum berbicara, seperti itulah makna saring sebelum sharing. Budaya ini seyogianya terpatri pada setiap pengguna internet.
Menurut pendiri Bombat Media Pradna Paramita, budaya saring sebelum sharing bisa dimulai dengan menerapkan rumus THINK setiap hendak mengunggah atau membagikan informasi ke internet.
“Ingatlah singkatan ‘THINK’. Is it True, apakah itu betul? Is it Helpful, apakah itu membantu? Is it Inspiring, apakah itu menginspirasi? Is it Necessary, apakah itu perlu? Lalu yang terakhir adalah Is it Kind, apakah itu baik?” jelasnya.
Budaya saring juga bisa dilakukan dengan membaca keseluruhan informasi atau isi berita dengan saksama.
“Jangan mudah percaya foto atau video yang beredar. Untuk mencari kebenarannya, manfaatkan Google dan Google Lens untuk verifikasi informasi,” imbuh Pradna.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Sriwijaya Krisna Murti sepakat dengan hal tersebut. Menurutnya, internet memungkinkan seseorang untuk bertindak tidak etis. Terlebih, warganet berasal dari berbagai negara dengan perbedaan bahasa, budaya, dan adat istiadat.
Karena itu, digital ethics perlu diterapkan. Jika tidak, akan sangat mudah terjadi miskomunikasi.
“Digital ethics adalah keterampilan dalam menyaring konten sebelum mengaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Etika tak hanya perlu diterapkan dalam kehidupan nyata, tapi juga di dunia digital. Jadi, ikutilah aturan tersebut,” katanya.