Advertorial

Jadi Generasi Melek Digital, Begini Tantangan yang Harus Dihadapi

Kompas.com - 26/06/2021, 13:30 WIB

KOMPAS.com – Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) kembali menggelar seri webinar Indonesia #MakinCakapDigital, Rabu (23/6/2021).

Kali ini, webinar yang diselenggarakan secara khusus untuk 14 kabupaten dan kota di wilayah DKI Jakarta dan Banten itu mengangkat tema “Pentingnya Menjadi Generasi Melek Digital”.

Sejumlah narasumber dari berbagai bidang keahlian serta profesi hadir dalam seminar tersebut. Mereka membahas mengenai digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety.

Narasumber tersebut adalah perwakilan Kaizen Room Maureen Hitipeuw dan Rizqika Alya Anwar, Redaktur Langgar.co Abdul Rohim, serta Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Indonesia (STAIINDO) Sultan Takdir Ali Sabana.

Maureen Hitipeuw, dalam pemaparannya mengatakan, saat ini ada beberapa hambatan yang harus dihadapi untuk menjadi generasi digital.

“(Sebagian masyarakat) masih kesulitan menggunakan teknologi. Di sisi lain, mereka merasa tidak memiliki waktu untuk mempelajari teknologi karena sibuk bekerja,” kata Maureen dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Jumat (25/6/2021).

Selain itu, lanjut dia, ada pula masyarakat yang menganggap bahwa internet adalah sesuatu yang mahal. Bahkan, ada kelompok yang merasa bahwa teknologi bukan sesuatu yang penting.

Hambatan lain yang juga harus dihadapi adalah keberadaan konten negatif yang mengisi ruang digital. Sebagai contoh, cyberbullying.

Untuk diketahui, cyberbullying merupakan penyalahgunaan internet untuk melecehkan, mengancam, mempermalukan, dan mengejek orang lain melalui media digital. Konten negatif lain yang juga kerap ditemukan adalah ujaran kebencian atau hate speech.

Hate speech adalah ungkapan atau ekspresi yang menganjurkan ajakan untuk mendiskreditkan dan menyakiti seseorang atau sekelompok orang. Ini dilakukan untuk membangkitkan permusuhan, kekerasan, dan diskriminasi kepada orang atau kelompok tersebut,” jelas Maureen.

Maureen mengatakan, kedua hal tersebut berdampak besar bagi korbannya. Bahkan, dampak ini bisa bertahan lama.

Akibat konten negatif itu, lanjut Maureen, korban bisa mengalami berbagai masalah, mulai dari sakit perut atau kepala, merasa emosional dan malu, kehilangan minat terhadap hal yang disukai, selalu merasa kesal dan bodoh, hingga bunuh diri.

Oleh karena itu, kata Maureen, pengguna media sosial harus memiliki etika digital (digital ethics). Untuk diketahui, etika digital adalah kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan, dan mengembangkan tata kelola etika digital dalam kehidupan sehari-hari.

“Demi kebaikan bersama, penggunaan media digital mestinya diarahkan kepada suatu niat, sikap, dan perilaku yang etis demi kebaikan bersama," jelasnya.

Maureen memaparkan, etika digital tersebut bisa diterapkan dengan selalu menggunakan kata-kata yang layak dan sopan, menghargai karya orang lain dengan mencantumkan sumber, serta membatasi informasi pribadi yang ingin disampaikan.

Kemudian, selalu waspada dalam menyebarkan informasi yang berkaitan dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) serta pornogafi dan kekerasan.

Teknologi digital sebagai pencipta kebiasaan baru

Meski belum dimanfaatkan secara merata, Abdul Rohim menilai, teknologi digital telah menjadi realitas, sekaligus menciptakan kebiasaan baru bagi masyarakat.

"Seluruh pola komunikasi, relasi, dan interaksi kita akan sangat tergantung pada perangkat media digital. Pergaulan akan semakin terhubung dengan wilayah yang lebih luas," kata Abdul.

Selain itu, teknologi digital juga memengaruhi pola interaksi yang lebih impersonal serta lintas batas umur, budaya, strata sosial, wilayah, dan bahasa. Hal ini mengakibatkan pola pergaulan yang lebih setara.

“Pola penghidupan ekonomi, pekerjaan, aktivitas harian, serta konsumsi, baik barang, jasa, maupun informasi juga berubah. Generasi muda tidak lagi menyukai pekerjaan formal yang kaku, statis, dan monoton. Pola persepsi tentang pekerjaan ideal bergeser ke (pekerjaan) luar kantor," jelas Abdul.

Oleh karena itu, Abdul menyarankan agar orangtua dan tenaga pendidik mempersiapkan serta melatih sikap bertanggung jawab pada anak, siswa, dan bimbingan sehingga mereka dapat berintregasi dengan kehidupan digital.

Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan menerapkan pola pengasuhan dan pendidikan yang tidak asal larang, rasional, serta menekankan aspek kreativitas dengan pola pengajaran yang bersifat lebih setara dan tidak menggurui.

“Pola pengasuhan dan pendidikan itu sebaiknya menekankan pada perilaku memberi, mencipta, menyemarakkan, serta menyajikan konten dan ruang-ruang produktif,” kata Abdul.

Hal tersebut, lanjut Abdul, dapat menstimulasi konten budaya milik bangsa sendiri yang bisa menjadi sajian alternatif di tengah arus kebudayaan dunia yang tak terbatas.

Dengan begitu, generasi muda tidak hanya menjadi konsumen budaya, tetapi juga menjadi produsen budaya yang ikut mewarnai dunia dan arah dunia digital.

Lebih lanjut, Abdul menjelaskan, pengembangan pola asuh tersebut akan mencetak individu yang kreatif, berwawasan terbuka, bertanggung jawab, dan rasional. Mereka juga diharapkan memiliki kepribadian yang kukuh sehingga tidak terombang-ambing dan hanyut dalam pusaran arus banjir digital.

Hal senada diungkapkan Rizqika Alya Anwar. Menurutnya, di dalam dunia digital dan modern, internet sudah menjadi hal yang sangat wajar dan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan sehari-hari.

Meski begitu, kata Rizqika, keamanan dalam mengakses informasi di internet masih menjadi tantangan terbesar yang harus dihadapi.

“Tidak dapat dimungkiri bahwa kemajuan teknologi menciptakan tantangan baru bagi masyarakat digital. Bahkan, berpotensi menimbulkan kejahatan, termasuk aktivitas ilegal, misalnya peranti lunak bajakan (warez), cyberbullying, serta penghinaan dan pelecehan SARA,” terang Rizqika.

Oleh sebab itu, kata Rizqika, masyarakat harus lebih peduli terhadap pentingnya mengamankan perangkat digital yang dimiliki.

“Pikirkan terlebih dahulu sebelum menerima sebuah permintaan dan mengirimkan sesuatu. Mari bersama memperluas literasi digital!” tegas Rizqika.

Sesi webinar kemudian dilanjutkan dengan pemaparan dari Sultan Takdir Ali Sabana. Ia menilai, revolusi industri 4.0 merupakan integrasi antara dunia internet atau online dan dunia usaha atau produksi di sebuah industri.

“Revolusi industri 4.0 ditandai dengan hadirnya digitalisasi yang memengaruhi kehidupan masyarakat, dunia bisnis, dan sektor industri,” tutur Sultan.

Sayangnya, kata Sultan, hal tersebut berpotensi menghilangkan berbagai jenis pekerjaan. Selain itu, masih ada kesenjangan antara kebutuhan pasar kerja dan tenaga kerja yang tersedia.

Hal itu terlihat dari kondisi tenaga kerja di Indonesia. Dijelaskan Sultan, pekerja berkeahlian rendah masih mendominasi pasar kerja 2018. Pekerja ini masih didominasi oleh lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) ke bawah.

“Oleh sebab itu, Indonesia perlu mempersiapkan tenaga kerja terampil melalui pendidikan dan pelatihan vokasi. Marketer yang andal harus menguasai hard skills dan soft skills,” imbuh Sultan.

Seri webinar tersebut semakin menarik saat memasuki sesi tanya-jawab. Seorang peserta menanyakan mengenai persiapan generasi milenial dalam menghadapi era industri 4.0 di dunia digital.

Menurut Sultan, dalam menghadapi era industri 4.0, generasi milenial tidak boleh hanya menyerap ilmu dari satu sumber secara mentah.

“Generasi milenial juga perlu memiliki keterampilan lebih, seperti keterampilan berkomunikasi, public speaking, dan berorganisasi,” jelas Sultan.

Literasi digital adalah kerja besar

Untuk diketahui, seri webinar Indonesia #MakinCakapDigital merupakan bagian dari program sosialisasi dan pendalaman Seri Modul Literasi Digital yang menjangkau 514 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia.

Adapun Seri Modul Literasi Digital disusun atas kerja sama Kominfo dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital sebagai dukungan terhadap Program Literasi Digital Nasional.

Seri modul itu berfokus pada empat tema besar, yakni Cakap Bermedia Digital, Budaya Bermedia Digital, Etis Bermedia Digital, dan Aman Bermedia Digital.

Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa literasi digital merupakan kerja besar. Oleh sebab itu, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri.

“Pemerintah perlu dukungan seluruh komponen bangsa agar semakin banyak masyarakat melek digital,” kata Jokowi.

Infrastruktur digital, jelas Jokowi, tidak dapat berdiri sendiri. Ketersediaan jaringan internet harus diikuti dengan kesiapan penggunanya. Dengan begitu, manfaat positif internet dapat dioptimalkan untuk membuat masyarakat semakin cerdas dan produktif.

Oleh sebab itu, Jokowi memberikan apresiasinya pada seluruh pihak yang terlibat dalam Program Literasi Digital Nasional.

“Saya harap, gerakan itu menggelinding dan terus membesar sehingga bisa mendorong berbagai inisiatif di tempat lain serta melakukan kerja konkret agar masyarakat makin cakap memanfaatkan internet untuk kegiatan edukatif dan produktif,” ujar Jokowi.

Untuk diketahui, seri webinar Indonesia #MakinCakapDigital terbuka bagi masyarakat yang ingin menambah wawasan dan pengetahuan mengenai literasi digital. Oleh sebab itu, Kominfo berharap seluruh lapisan masyarakat dapat berpartisipasi secara aktif dalam seminar ini.

Adapun rangkaian webinar tersebut akan diselenggarakan hingga akhir 2021 dengan berbagai tema yang mendukung kesiapan masyarakat Indonesia dalam bermedia digital secara baik dan etis.

Para peserta akan mendapatkan e-certificate atas keikutsertaannya dalam webinar. Informasi selengkapnya mengenai seri webinar Indonesia #MakinCakapDigital dapat Anda temukan di akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau