KOMPAS.com - Kehadiran teknologi telah membawa manfaat besar untuk menunjang berbagai aktivitas manusia. Contoh paling sederhana adalah gadget. Tak hanya sebagai alat komunikasi, gadget juga membantu untuk menggali informasi.
Apalagi, di tengah situasi pandemi Covid-19, gawai semakin diandalkan banyak orang. Salah satunya untuk menunjang sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Cukup bermodalkan gawai, guru dan siswa dapat berinteraksi dan melakukan proses belajar mengajar.
Namun, di balik beragam manfaat yang ditawarkan, kemajuan teknologi berpotensi membawa dampak negatif jika tak dikelola dengan sebagaimana mestinya, khususnya bagi anak-anak.
Contohnya, penggunaan gadget yang tidak dibatasi bisa menimbulkan gangguan jiwa pada anak karena adiksi atau kecanduan gadget. Tak hanya itu, anak pun berisiko jadi korban kejahatan dunia siber.
Oleh karena itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar Indonesia #MakinCakapDigital bertema “Dampak Teknologi Terhadap Perkembangan Anak”, Rabu (23/6/2021).
Adapun topik yang diangkat dalam webinar itu antara lain digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety.
Webinar tersebut diselenggarakan Kominfo khusus bagi 14 kabupaten dan kota di wilayah DKI Jakarta dan Banten. Tujuannya, untuk mendukung program Literasi Digital Nasional yang diinisiasi pemerintah.
Kominfo menghadirkan sejumlah ahli dan profesional sebagai narasumber webinar tersebut. Mereka adalah perwakilan Kaizen Room Denisa N Salsabila, anggota Internet Development Institute Sigit Widodo, web developer dan konsultan teknologi informasi Eka Y Saputra, serta Dosen Universitas Ngurah Rai sekaligus anggota Indonesia Association for Public Administration (IAPA) Ida Ayu Putu Sri Widnyani.
Waspadai konten negatif
Denisa N Salsabila membuka webinar dengan memaparkan definisi konten negatif atau ilegal sesuai Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang telah diubah melalui UU Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE).
Denisa menjelaskan, konten negatif merupakan informasi atau dokumen elektronik yang berisi pelanggaran terkait kesusilaan, perjudian, penghinaan, pencemaran nama baik, pemerasan, pengancaman, dan penyebaran berita bohong yang merugikan pengguna internet. Sementara itu, hoaks adalah informasi yang tidak benar tetapi dibuat seolah-olah benar.
“Tujuan (pembuat) hoaks adalah membuat masyarakat merasa tidak aman, tidak nyaman, dan kebingungan. Dalam kondisi tersebut, masyarakat akan mengambil keputusan lemah, tidak meyakinkan, bahkan salah," ujar Denisa dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Jumat (25/6/2021).
Denisa menyebutkan, 34 persen hoaks saat ini telah tersebar melalui situs web. Sementara, hoaks melalui WhatsApp, Line, dan Telegram dengan persentase 62,8 persen.
Selain itu, lanjut Denisa, penyebaran hoaks paling besar justru melalui media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan Path dengan persentase 92,40 persen.
Karena itu, untuk menghindari hoaks, diperlukan etika dalam komunikasi di ruang digital, yakni dengan menggunakan kata-kata yang layak dan sopan.
"Waspada dalam menyebarkan informasi yang berkaitan dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), pornogafi, dan kekerasan. Selain itu, menghargai karya orang lain dengan mencantumkan sumber serta membatasi informasi pribadi yang ingin disampaikan,” terangnya.
Pada kesempatan yang sama, Sigit Widodo menjelaskan, teknologi yang digunakan secara benar dapat berdampak positif bagi perkembangan anak.
"Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan kemampuan manusia untuk mengidentifikasi informasi kunci yang terkubur dalam sekelompok karakter dan rangsangan visual karena teknologi yang menyatu dalam kehidupan kita," ungkapnya.
Untuk itu, Sigit berpesan agar orangtua semakin mengenali anak, mulai dari lingkungan, teman, hingga segala hal yang dikerjakan oleh anak.
Di era digital, lanjut Sigit, orangtua harus menghindari pola asuh otoriter. Sebaliknya, interaksi orangtua dan anak harus lebih terbuka.
“Mendidik anak di era digital bisa dilakukan dengan cara mendampingi anak saat menggunakan gawai, menyeleksi konten yang sesuai kebutuhan anak, memahami media, dan hal-hal positif ataupun negatif sebuah media," jelasnya.
Keamanan teknologi bagi anak
Sementara itu, Eka Y Saputra memaparkan terkait risiko keamanan teknologi informasi bagi tumbuh kembang anak.
Eka menyebutkan, salah satu risiko yang bisa dialami anak adalah adanya cyberbullying atau perundungan di dunia maya.
"Ada beberapa bentuk cyberbullying, di antaranya penghinaan, fitnah, umpatan, ancaman, impersonalisasi atau pencurian identitas, pengucilan, dan pelecehan seksual," ujar Eka.
Sebagai informasi, imbuh Eka, tak sedikit predator siber yang berseliweran di dunia maya. Para predator ini memiliki perilaku eksploitasi, baik itu pelecehan seksual, psikis, finansial, psikopat, serta kriminal. Biasanya, mereka mencari mangsa melalui media sosial, messaging, dan game dengan target anak atau remaja.
Ia melanjutkan, ada beberapa bentuk cyber predatory, yaitu sexting atau percakapan yang mengarah pada hubungan seks, sextortion paksa, ancaman melakukan hubungan seks, konten porno, perampasan uang, hingga penyebarluasan konten porno untuk mempermalukan korban.
“Sebagai bentuk mitigasi risiko kejahatan siber bagi anak, orangtua bisa memberikan perhatian dan menjalin komunikasi intensif dengan anak. Selain itu, aktifkan fitur child protection, mengajarkan etika siber, perbanyak aktivitas luring, dan mengenalkan kanal pendampingan,” jelasnya.
Terkait digital skills, Ida Ayu Putu mengatakan, meskipun aplikasi media digital mempunyai ketentuan usia pengguna, dalam praktiknya, anak-anak masa kini lincah berselancar di media sosial dengan gawai yang dimiliki.
Ida menambahkan, penggunaan aplikasi media sosial pada anak-anak hingga saat ini masih menjadi perhatian para penggiat literasi digital.
Pasalnya, anak-anak merupakan kelompok yang rentan terhadap berbagai kejahatan digital di dunia maya.
“Banyak kasus yang mengancam keselamatan anak di bawah umur. Hal ini disebabkan oleh ketidaktahuan dan kemampuan mereka dalam menggunakan media sosial dengan baik dan benar,” ucapnya.
Ida menambahkan, untuk mencegah dan mengatasi ancaman keselamatan pada anak di dunia maya, definisi anak-anak dilekatkan pada seseorang yang berusia 0 hingga 18 tahun.
Pasalnya, seorang anak belum memiliki kemampuan untuk membentengi diri dari berbagai efek buruk, termasuk dalam mengonsumsi pesan yang disiarkan melalui berbagai media.
“Oleh karena itu, peran orangtua sangat penting. Utamanya, pengawasan pada anak saat beraktivitas di ranah maya," jelasnya.
Selain digital skills, Ida juga menekankan soal cara memantau anak agar terhindar dari dampak buruk dunia digital serta aplikasi apa yang relevan untuk memantau ponsel anak.
Untuk itu, Ida memberi sejumlah tips terkait pembatasan menu dan fitur aplikasi yang dapat diakses oleh anak.
"Misalnya, untuk media sosial, batasi durasi penggunaan gadget untuk si kecil. Jika ingin bermain game, pilihkan jenis game yang aman dan edukatif. Selain itu, batasi akses ke Play Store yang memungkinkan anak mengunduh dan buat kesepakatan dengan anak," jelas Ida.
Seri Modul Literasi Digital
Perlu diketahui, webinar Indonesia #MakinCakapDigital adalah salah satu bentuk sosialisasi dan pendalaman dari Seri Modul Literasi Digital yang digaungkan Kominfo.
Kegiatan yang diselenggarakan secara virtual tersebut menjangkau 514 kabupaten atau kota seluruh Indonesia.
Untuk menyukseskan program Literasi Digital Nasional, Kominfo berkolaborasi dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital.
Adapun Seri Modul Literasi Digital berfokus pada empat tema besar, yakni Cakap Bermedia Digital, Budaya Bermedia Digital, Etis Bermedia Digital, dan Aman Bermedia Digital.
Kominfo berharap, penerbitan modul literasi digital mampu mendorong masyarakat mengikuti perkembangan dunia digital secara baik, produktif, dan sesuai dengan nilai-nilai kehidupan.