KOMPAS.com – Pertamina menargetkan portofolio energi hijau sebesar 17 persen dari keseluruhan bisnis energinya pada 2030 untuk mewujudkan transisi energi.
Chief Executive Officer (CEO) Pertamina New Renewable Energy (NRE) Dannif Danusaputro mengatakan, upaya itu juga merupakan dukungan Pertamina kepada pemerintah dalam mencapai target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025.
Dalam pemaparan di acara Indonesia Clean Energy Conference yang dilaksanakan secara daring, Jumat (9/7/2021), Dannif mengatakan bahwa portofolio energi hijau Pertamina mencapai 9,2 persen pada 2019.
Portofolio Pertamina tersebut terdiri dari geotermal, hidrogen, electric vehicle (EV) battery dan energy storage system (ESS), gasifikasi, bioenergi, green refinery, circular carbon economy, serta EBT.
“Sebagian besar portofolio tersebut dikelola oleh Pertamina NRE sebagai subholding Pertamina yang fokus pada pengembangan EBT,” ujar Dannif dalam rilis yang diterima Kompas.com, Selasa (13/7/2021).
Dannif menambahkan, dekarbonisasi menjadi salah satu sasaran dari pengembangan EBT di Pertamina. Hal ini menjadi salah satu upaya Pertamina untuk mendukung komitmen pemerintah dalam menekan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030.
Sebagai informasi, Pertamina NRE memiliki aspirasi untuk menjadi Indonesia Green Energy Champion pada 2026 dengan kapasitas terpasang sebesar 10 gigawatt (GW). Kapasitas ini dikontribusikan dari gas to power sebesar 6 GW, energi terbarukan 3 GW, dan pengembangan energi baru sebesar 1 GW.
“Untuk mencapai target tersebut, Pertamina NRE menyasar sektor captive market, yaitu wilayah operasi Pertamina. Selain itu, Pertamina juga melakukan ekspansi ke pasar luar negeri serta melakukan pengembangan secara anorganik,” kata Dannif.
Saat ini, Pertamina NRE telah mengopreasikan proyek EBT di antaranya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Badak dengan kapasitas 4 megawatt (MW), Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg) Sei Mangkei berkapasitas 2,4 MW, Operation and Maintenance (O&M) PLTBg Kwala Sawit dan Pagar Merbau berkapasitas 2x1 MW, dan PLTS di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) Pertamina dengan total kapasitas 260 kilowatt (KW).
Kemudian, Pertamina NRE juga sedang mengerjakan sejumlah proyek energi hijau, yakni Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Jawa-1 berkapasitas 1,8 GW, PLTS Sei Mangkei dengan kapasitas 2 MW, PLTS RU Dumai berkapasitas 2 MW, dan PLTS Refinery Unit (RU) Cilacap berkapasitas 2 MW.
“Transisi energi di Pertamina menyasar dua hal, yaitu dekarbonisasi dan efisiensi. Untuk captive market, Pertamina memiliki potensi besar untuk dikembangkan, meski sebagian besar masih berbasis energi fosil,” lanjut Dannif.
Pertamina, lanjut Dannif, diberikan mandat untuk melakukan transisi energi di wilayah operasionalnya sendiri. Dalam waktu dekat, pihaknya akan mengerjakan proyek pemasangan PLTS di 1.000 SPBU Pertamina.
Sampai saat ini, Pertamina NRE telah menjajaki berbagai inisiatif pengembangan energi baru, seperti blue hydrogen dan green hydrogen.
Beberapa waktu lalu, Pertamina NRE juga menandatangani nota kesepahaman (MoU) dan joint study agreement (JSA) dengan sejumlah perusahaan Jepang, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Industri Minyak dan Gas Bumi (Lemigas), serta Institut Teknologi Bandung (ITB).
Hal tersebut dilakukan untuk pengembangan teknologi carbon capture, utilization, and storage (CCUS) di Lapangan Gundih dan Sukowati.
Selain itu, Pertamina juga menjadi salah satu pemegang saham Indonesia Battery Corporation (IBC).
Untuk diketahui, IBC merupakan holding BUMN yang dibentuk untuk mengelola industri baterai dari hulu ke hilir. Selain Pertamina, Mining Industry Indonesia (MIND ID), PT Aneka Tambang Tbk, dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) juga menjadi pemegang saham IBC.