Advertorial

Nilai Personal dan Identitas Kuat Jadi Prinsip Utama Pelaku UMKM

Kompas.com - 31/07/2021, 14:47 WIB

KOMPAS.com – "Atas nama pasar semuanya begitu banal". Begitulah penggalan lirik lagu “Cinta Melulu” milik indie rock asal Jakarta, Efek Rumah Kaca (ERK).

Pada lagu tersebut, sang vokalis, Cholil Mahmud, dan rekannya menuangkan keresahannya terhadap industri musik Indonesia yang kala itu ia nilai monoton, krisis identitas, dan minim kreativitas.

Menurutnya, warna industri musik Tanah Air terlalu seragam lantaran banyak musisi secara terus-menerus mengangkat tema percintaan pada karyanya.

Kritik tersebut memang ada benarnya. Pasalnya, di tengah keseragaman produk industri, inovasi dan diferensiasi bisa saja menjadi sebuah terobosan baru yang tak kalah bermanfaat.

Setidaknya, hal tersebut dapat dibuktikan oleh ERK dan beberapa musisi di skena independen lain. Karya mereka sukses diterima dengan baik oleh penggemar musik Tanah Air.

Namun, menyesuaikan diri terhadap keinginan pasar juga bukan hal yang salah. Hal ini penting dilakukan agar hasil karya dan kreativitas di bidang apa pun mampu bersaing di tengah kerasnya industri.

Menanggapi hal tersebut, ERK kembali menjawabnya dalam sebuah mahakarya yang merupakan hasil elaborasi dari lagu “Cinta Melulu”, yaitu “Pasar Bisa Diciptakan”.

Dalam lagu tersebut, ERK tak menampik akan iklim pasar yang mustahil dilawan begitu saja. Meski begitu, bukan berarti masyarakat harus tunduk dan berhenti berinovasi.

Punya identitas

Pada dasarnya, isu yang diangkat ERK dalam lagunya tidak berlebihan. ERK ingin menyampaikan bahwa pelaku industri semestinya menghasilkan produk yang berkualitas dan tak sekadar remah-remah.

Sebab, tiap bidang usaha atau karya harus punya kelebihan untuk menarik perhatian masyarakat. Terpenting, produk tersebut punya identitas atau jati diri dan substansi yang kuat.

Rupanya, hal tersebut yang dicoba dilakukan oleh seorang pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) Singgih Susilo Kartono.

Singgih dengan produk ciptannya bernama SpedagiDok. BRI Singgih dengan produk ciptannya bernama Spedagi

Di tengah tren bersepeda saat ini, Singgih berani membuat produk sepeda yang tak lazim berbahan dasar bambu bernama Spedagi.

Ide tersebut muncul dari kegelisahannya. Sebagai praktisi desain produk, Singgih merasa gemas lantaran di tempat tinggalnya di Desa Kandangan, Temanggung, Jawa Tengah, banyak pohon bambu liar yang tidak dimanfaatkan.

“Saya melihat di internet, produsen sepeda bambu itu kebanyakan berasal dari negara yang justru tidak memiliki bambu. Ini menampar sekali buat saya. Dari situ, saya mulai mengembangkan produk Spedagi,” ujar Singgih saat menerima kunjungan dari aktivis brand Arto Biantoro dan Mantri Bank Rakyat Indonesia (BRI) Aulia Dyah.

Sebagai informasi, kunjungan Arto dan Aulia ke workshop Spedagi merupakan bagian dari program Petualangan Brilian The Series dari BRI.

Adapun Aulia merupakan perpanjangan tangan dari BRI yang membantu pelaku UMKM dalam mendapatkan modal usaha.

Tak hanya itu, Mantri BRI juga turut andil dalam memberdayakan UMKM dan ekonomi berbasis kerakyatan yang menjadi garda depan penjaga perekonomian nasional.

Menurut Singgih, Spedagi juga merupakan bentuk revitalisasi terhadap desanya. Ia ingin menunjukkan bahwa sumber daya yang kerap dilupakan bisa jadi sesuatu yang berguna jika diolah dengan tepat.

Untuk menghasilkan satu sepeda bambu, biasanya workshop Spedagi membutuhkan waktu sekitar enam hari.

“Ketika digarap dengan serius pasti dapat menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Spedagi sudah membuktikan bahwa dengan lokalitas, kita bisa menghasilkan orisinalitas. Bahkan, Spedagi merupakan sepeda pertama di dunia yang berbahan dasar bambu petung,” kata Singgih.

Meski begitu, Singgih tidak ingin menjadikan Spedagi miliknya sebagai produk industri massal. Pasalnya, ia tidak ingin begitu saja mengikuti cara pasar bekerja dengan meniru strategi dari kompetitornya.

“Jika kami menyamai kompetitor, akhirnya branding yang dilakukan akan sama dengan mereka. Saya ingin jadi diri sendiri. Maka dari itu, saya fokus membangun jiwa brand sendiri sebagai identitas yang kuat,” jelas Singgih.

Di sisi lain, Arto mengatakan, mengendarai produk Spedagi sama seperti mengendarai hasil karya seni.

“Spedagi saat ini juga sudah menjadi sebuah ikon dari gerakan revitalisasi desa. Sejatinya, setiap desa pasti punya banyak potensi. Spedagi sendiri sudah menjadi sebuah gerakan yang dapat ditiru,” kata Arto.

Tak jauh dari workshop Spedagi, terdapat pelaku UMKM lain yang menyadari pentingnya nilai personal sebagai salah satu cara untuk membangun jati diri ataupun identitas brand, yakni Eryanti.

Eriyanti memiliki unit usaha di bidang kuliner bernama Eri Coffee. Usaha ini sebenarnya ia teruskan dari ayahnya, Purwanto, yang merupakan petani kopi.

Produk kopi dari Eri CoffeeDok. BRI Produk kopi dari Eri Coffee

 “Saya tertarik menjalankan bisnis ini karena prestasi yang bapak dapatkan. Menurut saya, akan mubazir jika usaha ini tidak ada yang melanjutkan. Jadi, sekarang bapak fokus di budidaya dan saya fokus di pemasaran,” ujar Eri.

Dalam memasarkan produknya, tambah Eri, ia selalu mengedepankan nilai personal yang menjadi identitas bisnisnya tersebut. Menurutnya, nilai personal tersebut bisa menjadi jiwa dari brand yang ia miliki.

Seperti diketahui, saat ini coffee shop merupakan salah satu bisnis yang cukup banyak dikerjakan oleh pelaku usaha.

Eri menyadari, agar dapat bersaing dengan para kompetitor, kedai kopinya harus memiliki sesuatu yang berbeda tanpa mengorbankan kualitas yang ada.

“Cita rasa kopi itu kan dipengaruhi cara budidaya. Salah satu cara yang kami lakukan terhadap produk kopi (milik) kami adalah dengan mengurangi penggunaan pupuk kimia. Selain itu, proses pengolahan lainnya juga kami lakukan secara ketat agar selalu bisa menghasilkan kopi terbaik,” tutur Eri.

Sebagai informasi, Petualangan Brilian The Series merupakan miniseries yang mengangkat kisah-kisah inspiratif dari pelaku UMKM di penjuru Tanah Air.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau