Advertorial

Perkuat Ketahanan Pangan Nasional, BRI Siap Dukung Pengembangan Ekosistem Padi

Kompas.com - 20/08/2021, 15:28 WIB

KOMPAS.com – Dalam upaya mendukung ketahanan pangan dan memperingati Hari Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Nasional, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI menggelar seminar bertajuk “Memperkuat Klaster Bisnis Padi Indonesia”, Jumat (13/8/2021).

Seminar yang digelar secara daring tersebut merupakan bentuk dukungan BRI bagi petani dan pelaku UMKM, sekaligus menjadi bagian upaya pengembangan klaster UMKM unggulan.

Adapun isu yang dibahas dalam seminar tersebut adalah permasalahan dan tantangan seputar bisnis padi. Isu ini dikaji secara mendalam lantaran padi merupakan salah satu makanan pokok masyarakat Indonesia. Padi juga menjadi komoditas penting bagi ketahanan pangan nasional.

Berbagai kalangan mengikuti seminar tersebut di antaranya petani, gabungan kelompok tani (Gapoktan), anggota Perkumpulan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi), anggota dan pengurus koperasi, badan usaha milik desa (BUMDes), UMKM binaan BRI, pekerja BRI, mahasiswa, pelajar, serta masyarakat umum.

BRI menghadirkan sejumlah ahli sebagai narasumber seminar tersebut, yaitu Direktur Bisnis Kecil dan Menengah BRI Amam Sukriyanto, Ketua Umum Perpadi Sutarto Alimoeso, Dekan Fakultas Pertanian (Faperta) Universitas Gadjah Mada (UGM) Jamhari, serta Direksi PT Biogene Plantation Nasikin.

Pada kesempatan tersebut, Jamhari memaparkan dua permasalahan utama dalam bisnis padi, yaitu increasing demand dan decreasing capacity.

Ia mengatakan, kesenjangan atau gap antara keduanya di masa mendatang akan semakin lebar.

Increasingdemand disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan peningkatan suplai padi,” ujar Jamhari dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Jumat (20/8/2021).

Hal itu terjadi karena lahan persawahan semakin berkurang, profesi petani yang semakin sedikit, dan pergeseran ekonomi dari agraris ke nonagraris.

Jamhari menambahkan, permasalahan berikutnya adalah inefisiensi proses produksi dan pengolahan padi.

Seperti diketahui, kebutuhan nasional padi saat ini merata di seluruh Indonesia. Namun, produksi padi sebagian besar masih dilakukan oleh petani perorangan di Pulau Jawa.

Untuk diketahui, lahan yang dimiliki setiap petani jumlahnya terbatas, yakni kurang dari 0,5 hektare (ha) per petani. Hal inilah yang menyebabkan produksi padi kurang efisien.

“Untuk mengatasi permasalahan tersebut, terdapat beberapa model tata kelola bisnis padi yang dapat diimplementasikan. Salah satunya adalah cooperative farming yang saat ini banyak dijalankan di Indonesia,” terang Jamhari.

Adapun model berikutnya ialah cooperative farming. Dalam konsep ini, lahan tetap dikuasai petani dan dilakukan penguatan manajemen kelompok tani.

Selain itu, ada pula model contract farming. Melalui model ini, petani akan bekerja sama dengan perusahaan mitra, seperti Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), BUMDes, dan swasta dalam menggarap lahan pertanian.

“Berikutnya, model corporate farming, yakni penguasaan dan pengelolaan lahan dilakukan oleh lembaga berbadan hukum, sementara petani sebagai pemegang saham dan tenaga kerja,” papar Jamhari.

Pada kesempatan yang sama, Nasikin memberikan ulasan tentang pendampingan dan penguatan kelompok petani padi untuk meningkatkan produktivitas.

Ia menilai, petani perlu bersinergi dengan rice mill unit (RMU) atau tempat penggilingan padi. Untuk mencapai kerja sama yang saling menguntungkan antara kelompok tani dan RMU, dibutuhkan skala ekonomi gabungan kelompok tani dengan luas lahan minimal 300 ha.

“Permasalahan umum bisnis padi adalah panen hanya tiga kali per tahun. Sementara, RMU harus memenuhi kebutuhan pasar sepanjang tahun,” katanya.

Oleh karena itu, lanjut Nasikin, RMU membutuhkan dukungan permodalan untuk membeli persediaan gabah dan membangun sarana penyimpanan.

Sementara itu, Sutarto Alimoeso mengatakan bahwa padi memiliki korelasi langsung kepada inflasi sehingga pemerintah didorong untuk menjaga kestabilan pasokan padi dan harga beras.

Sunarto menjelaskan, permasalahan yang dihadapi petani saat ini adalah masa panen puncak yang terjadi di musim hujan. Di sisi lain, kapasitas mesin pengering di RMU sangat terbatas, yakni 94 persen atau 171.495 dari 182.199 RMU.

Dari jumlah RMU tersebut, sebagian besar masih berskala kecil dan belum memiliki sistem pengeringan yang baik.

“Sebenarnya, jumlah RMU di Indonesia sudah over-capacity. Namun, RMU yang ada saat ini mengalami keterbatasan teknologi sehingga tidak dapat menghasilkan beras dengan kualitas premium,” paparnya.

Hal itu berpotensi menyebabkan penyusutan pascapanen yang cukup tinggi, yaitu antara 2,8 persen sampai 3,25 persen. Oleh karena itu, RMU perlu direvitalisasi agar pengolahan beras menjadi efektif dan mampu menghasilkan beras kualitas premium.

Merespons fenomena tersebut, Amam Sukriyanto mengatakan bahwa BRI berkomitmen mendukung sektor UMKM, termasuk pertanian dan rantai pasoknya.

Untuk diketahui, BRI telah menyalurkan kredit kepada sektor pertanian sebesar Rp 117,54 triliun atau sebesar 28,03 persen dari penyaluran bank secara nasional hingga triwulan II 2021. Jumlah tersebut tumbuh 12,8 persen secara year on year (yoy).

Khusus pembiayaan ekosistem beras dan RMU, sampai dengan Juni 2021, BRI telah menjangkau 40.798 nasabah yang penyaluran kredit mencapai Rp 4,1 triliun.

“(Pembiayaan itu) terdiri dari fasilitas Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk petani, KUR dan Kredit Umum Pedesaan (Kupedes) kepada koperasi dan kios sarana produksi pertanian (saprotan), Kredit Investasi (KI), serta Kredit Modal Kerja (KMK) untuk pengusaha penggilingan padi dan distributor beras,” terang Amam.

Selain itu, Amam juga menekankan pentingnya efisiensi dalam ekosistem bisnis padi. Menurutnya, ekosistem klaster padi akan efisien apabila masing-masing pihak dalam mata rantai bisnis ini bisa mendapatkan pasokan yang sesuai dengan kebutuhan, baik dari segi ketepatan waktu maupun jumlah.

“Apabila ada salah satu yang terhambat, akan mengganggu pelaku usaha lainnya dalam ekosistem ini,” jelasnya.

Sebagai informasi, hasil diskusi seminar tersebut mengungkapkan, implementasi manajemen keuangan yang baik merupakan hal penting dalam pengembangan ekosistem klaster bisnis padi.

Meski demikian, faktor permodalan bukan satu-satunya penentu keberhasilan, melainkan diperlukan inovasi sosial, ekonomi, dan teknologi.

Oleh karena itu, sinergi antara seluruh stakeholder dalam ekosistem bisnis padi sangat dibutuhkan untuk merevitalisasi bisnis padi dan mendukung ketahanan pangan nasional.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com