KOMPAS.com - Kota Solo dikenal sebagai salah satu destinasi pariwisata di Indonesia yang kaya akan budaya. Hingga saat ini, masyarakat Kota Solo masih menjaga dan melestarikan nilai-nilai tradisi, seperti rutin melakukan perayaan Sekaten, kirab pusaka keraton, Grebeg Maulud, hingga karnaval batik.
Tak heran banyak wisatawan baik lokal maupun mancanegara bertandang ke Solo untuk menyelami budaya asli yang masih kental. Pasalnya, masyarakat di Kota Batik itu terus berupaya merawat pakem dan orisinalitas tradisinya.
Nuansa itu pun bisa dirasakan wisatawan saat bertandang ke Kampung Batik Laweyan. Dinding tinggi dan gang-gang sempit menjadi karakter khas kampung batik ini.
Bangunan bergaya arsitektur campuran Jawa, Eropa, Tiongkok, dan Islam itu merupakan rumah sekaligus tempat bagi para perajin batik untuk menghasilkan pola-pola otentik.
Dinding yang sengaja dibuat tinggi pada bangunan-bangunan di Laweyan bukan tanpa alasan. Hal ini merupakan salah satu cara perajin batik untuk menjaga orisinalitas karya yang bersifat privat atau rahasia.
Dengan begitu, antarperajin tidak saling mengetahui pola yang dimiliki sehingga tidak ada upaya menduplikasi. Setiap karya menjadi lebih unik dan orisinal dan sesama perajin dapat saling menghargai karya satu sama lain.
Upaya menjaga orisinalitas
Salah satu perajin batik Solo yang masih memegang kuat tradisi dan merawat langgam adalah Supiyah Anggriyani. Ia adalah co-owner Batik Go Tik Swan.
Untuk diketahui, batik Go Tik Swan merupakan brand lokal kenamaan dari Solo yang diprakarsai oleh budayawan sekaligus pelopor batik Indonesia, Go Tik Swan.
Adapun Supiyah Anggriyani merupakan generasi ke-4 yang menerima warisan tersebut untuk melanjutkan tongkat estafet orisinalitas pola atau pattern yang dikreasikan leluhurnya.
“Saya berupaya menjaga batik Go Tik Swan 100 persen sesuai dengan aslinya. Enggak mengurangi, enggak menambahkan. Persis dengan corak batik sebagaimana dibuat Pak Go Tik Swan,” ujar Supiyah dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Jumat (20/8/2021).
Meski telah menjaga orisinalitas dengan berbagai cara, Supiyah mengaku prihatin ketika mendapati batik-batik palsu yang beredar di pasaran mengatasnamakan brand Go Tik Swan.
“Sedih, kecewa, sampai ngelus dodo (mengelus dada). Saya bahkan sempat putus asa dan tidak mau membuat (batik) lagi. Namun, warisan ini harus terus saya jaga,” ujar Supiyah.
Hal itu diamini oleh Hardjosoewarno, pemilik sekaligus pewaris Batik Go Tik Swan. Sebagai penerus, ia juga merasa bertanggung jawab untuk menjaga keaslian batik Solo.
“Saya ditugasi untuk melestarikan ini semua. Jadi, saya diwarisi rumah, ilmu, pengetahuan, dan tata cara adat Jawa. Tujuannya, supaya dapat melestarikan batik Go Tik Swan dan corak-corak asli yang dibuat oleh pendahulu kami,” terangnya.
Sebagai sosok yang dikenal sebagai pelopor batik Indonesia, Go Tik Swan, kisah Hardjosoewarno, sampai pernah mendapat mandat dari Presiden Soekarno untuk membuat batik Indonesia.
Merespons kepercayaan dari Presiden Soekarno, alumnus jurusan Sastra Jawa Universitas Indonesia (UI) tersebut kemudian membuat 40 potong kain batik dan membawanya ke Istana Negara. Oleh Bung Karno, batik bikinan Go Tik Swan itu diberikan kepada tamu-tamu negara sebagai buah tangan.
Tak berhenti di situ, pada 1954, Bung Karno juga menggelar pameran batik tunggal khusus untuk Go Tik Swan.
“Beliau (Go Tik Swan) adalah satu-satunya pembatik sekaligus pencipta pola dengan konsep Tunggak Semi. Ia tidak meninggalkan tonggak sejarah pola batik klasik dalam setiap lembar batik buatannya yang diberi nuansa tumbuh (semi) sesuai era kala itu,” terangnya.
Selain pewaris batik Go Tik Swan, pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) di Kota Solo yang juga gigih menjaga langgam asli adalah Suryanto, pemilik brand Surya Rotan.
Sejak awal merintis usaha, Suryanto menggunakan bahan rotan alami sebagai upaya untuk mempertahankan tradisi.
Bagi Suryanto, menjaga kualitas produk dengan menggunakan bahan terbaik adalah keharusan. Selain bahan, ia juga berinovasi menghasilkan desain-desain baru.
Saat ini, lanjut Suryanto, tak banyak kompetitor perajin rotan dunia yang menggunakan bahan alami. Ini menjadi kesempatan baginya untuk unjuk gigi menghasilkan karya seni dari rotan asli Indonesia.
“Rotan orisinal punya nilai yang lebih tinggi daripada rotan sintetis. Pangsa pasar kami adalah negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat (AS). Mereka lebih menghargai produk-produk kerajinan yang dibuat dari bahan alam dengan desain khas lokal,” kata Suryanto.
Kedekatan rasa masa kini
Merespons upaya perajin batik dan rotan di Kota Solo dalam merawat langgam, desainer fesyen sekaligus founder KaIND Meli Indiarto mengatakan, orisinalitas sebuah karya erat kaitannya dengan tren-tren yang sudah ada di tahun-tahun sebelumnya.
Ia menilai, hal itu tergantung pada kemampuan pemilik brand dalam mengemas karya dengan konsep baru yang kuat dengan mempertahankan orisinalitas secara konsisten.
“Hal itu dilakukan oleh sosok Go Tik Swan ketika mencari inspirasi untuk karya batik Indonesia buatannya,” ujarnya.
Uniknya, lanjut Meli, para perajin di industri batik tidak mengikuti tren kekinian. Oleh karena itu, motif-motif batik yang diciptakan Go Tik Swan puluhan tahun lalu masih tetap relevan dan diproduksi sampai sekarang.
“Bahkan, menjadi must have item oleh pencinta dan kolektor batik di Indonesia,” katanya.
Bicara soal mempertahankan atau merawat orisinalitas karya, imbuh Meli, hal terpenting adalah mempunyai kedekatan rasa dengan masa kini.
Pada era Go Tik Swan, misalnya, ia mengembangkan batik Indonesia dengan konsep Tunggak Semi, yaitu pengembangan budaya yang tetap mengacu pada kebudayaan lama yang diciptakan leluhur.
“Pertanyaannya, apakah batik era Pak Go Tik Swan masih relevan dengan era sekarang? Itu adalah tugas bersama untuk menerjemahkan budaya batik yang penuh filosofis agar pesannya bisa diterima anak muda masa kini,” tambahnya.
Menurutnya, hal itu bisa dilakukan dengan membangun kedekatan antara produk batik dan kebutuhan generasi masa kini.
Sebagai contoh, memunculkan sosok Go Tik Swan pada Google Doodle. Pada doodle tersebut, ia digambarkan sedang merentangkan batik klasik motif jawa keraton bertuliskan Google.
“Itu (doodle Google) kan pendekatan baru dan segar sehingga memantik rasa ingin tahu generasi muda terhadap sosok Go Tik Swan dan karya batik buatannya,” terangnya.
Meski begitu, Meli menegaskan, standar pakem dalam pembuatan batik harus tetap dipegang. Hal ini penting sebagai benang merah antara batik masa lalu dan batik masa kini. Adapun standar yang dimaksud adalah tetap membatik menggunakan canting dan lilin.
Sementara itu, Direktur Bisnis Mikro PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Supari mengatakan, orisinalitas adalah kejujuran yang hakiki.
Menurutnya, saat orisinalitas diletakkan dalam sebuah proses bisnis, yakni sejak barang dan jasa dibuat hingga tersampaikan kepada pelanggan, kelangsungan usaha itu bisa dipertahankan.
“Makna Tunggak Semi sangat relevan, yakni bagaimana sebuah nilai dan legacy diadaptasikan dengan perubahan lingkungan bisnis. Oleh karena itu, diperlukan kemampuan pelaku UMKM untuk tetap beradaptasi dengan perubahan yang sangat dinamis,” kata Supari.