JAKARTA, KOMPAS.com – Sebagai penyakit yang sering kali menyerang kaum lanjut usia (lansia), parkinson merupakan gangguan neurodegeneratif yang paling umum terjadi setelah Alzheimer.
Penyakit tersebut terjadi akibat kerusakan sel pada beberapa daerah di otak, khususnya substansia-nigra yang bertanggung jawab atas produksi dopamin.
Untuk diketahui, dopamin adalah senyawa kimia di dalam otak yang mampu mengirimkan pesan antara otak dan sel saraf. Tugas hormon ini adalah mengontrol gerakan tubuh. Kekurangan dopamin menyebabkan seseorang tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya dengan baik.
Akibatnya, kontrol gerakan otot menurun sehingga penderitanya kesulitan untuk bicara, berjalan, hingga mengalami masalah keseimbangan dan koordinasi.
Adapun beberapa tanda utama yang ditunjukkan penderita parkinson di antaranya adalah tremor, rigiditas atau kekakuan, dan kelambatan.
Spesialis bedah saraf Mayapada Hospital Bogor BMC dr Muhammad Agus Aulia mengatakan, sebagai penyakit yang progresif, gejala penyakit parkinson dapat bervariasi dan berbeda pada setiap orang.
“Penderita parkinson juga dapat disertai gejala nonmotorik atau psikiatri, seperti depresi, demensia, dan konstipasi atau kesulitan buang air besar (BAB). Akan tetapi, penderita parkinson pasti memiliki tiga tanda utama tersebut,” kata dr Agus saat dihubungi Kompas.com, Jumat (27/8/2021).
Selain itu, gejala parkinson juga bisa ditunjukkan melalui tulisan tangan seseorang yang semakin mengecil atau mikrografia.
Penyakit parkinson sendiri dibagi menjadi dua jenis, yakni primary parkinson (parkinson primer) dan secondary parkinson (parkinson sekunder). Dokter Agus menjelaskan, penyebab penyakit primary parkinson masih belum dapat diketahui. Namun, beberapa kasus parkinson primer umumnya disebabkan oleh faktor genetik.
“Kemudian, pada secondary parkinson, bisa disebabkan oleh kecelakaan atau cedera yang terjadi di area kepala, seperti pascastroke. Misalnya, stroke di area sirkuit dopamin sehingga area itu terganggu. Bisa juga disebabkan tumor,” papar dr Agus.
Dokter Agus menambahkan, riwayat trauma kepala berupa benturan juga dapat memicu terjadinya parkinson. Sebagai contoh, petinju yang sering kali terkena pukulan pada area kepala.
Walau begitu, parkinson biasanya baru muncul saat lansia, bukan di usia muda.
“Contoh nyatanya adalah petinju Muhammad Ali. Ia menderita parkinson sekunder. Selain itu, beberapa obat psikiatri atau jiwa juga bisa menyebabkan gejala parkinson. Akan tetapi, pada kasus ini (psikiatri), gejala itu akan hilang ketika obatnya dihentikan,” jelas dr Agus.
Parkinson juga diduga dapat disebabkan oleh paparan zat toksin, baik disengaja maupun tidak, seperti keracunan logam.
Selain itu, tambah dr Agus, secara statistik penyakit parkinson lebih banyak menyerang pria. Hal ini bisa disebabkan oleh keaktifan aktivitas kaum pria pada masa muda.
“Meski masih didominasi pria, belakangan ini ada peningkatan pada wanita lansia di atas 60 tahun yang terkena parkinson,” ungkapnya.
Lebih lanjut, dr Agus menjelaskan, biasanya pasien baru memeriksakan diri setelah mengalami beberapa gejala parkinson. Umumnya, gejala ini baru dirasakan ketika berusia 60 tahun. Akan tetapi, beberapa orang juga bisa mendapatkan diagnosis parkinson pada usia di bawah 50 tahun yang disebut sebagai young-onset parkinson’s disease.
“Gejala awal parkinson yang bervariasi terkadang membuat diagnosisnya tidak bisa langsung kami ketahui. Parkinson menyerang satu sisi tubuh dahulu, seperti tremor pada kaki atau tangan. Amplitudo tremornya rendah. Jadi, kami terkadang belum bisa mendiagnosis secara langsung kalau itu parkinson,” papar dr Agus.
Tingkatan penyakit parkinson
Parkinson memiliki beberapa stage atau tingkat keparahan pada penderitanya. Tingkatan pertama biasanya ditandai dengan gejala tremor ringan pada salah satu bagian dan salah satu sisi tubuh, seperti tremor ringan di tangan kanan.
Selanjutnya, pada tingkatan kedua, tremor akan mulai menyebabkan gangguan pada anggota tubuh yang lain. Penderita parkinson pun akan mulai merasa terganggu, tetapi masih dapat melakukan aktivitas sehari-hari.
Pada tingkatan ketiga, penderita akan mulai merasakan gangguan yang lebih berat, baik pada area motorik maupun nonmotorik.
“Seperti, posturnya sudah mulai membungkuk, gangguan keseimbangan, dan suara mulai mengecil. Pada fase ini, penderita akan makin terganggu, tetapi masih belum membutuhkan bantuan orang lain untuk menjalankan kegiatannya,” papar dr Agus.
Pada fase tersebut, penderita juga akan rentan terkena gangguan masking mask. Kondisi ini ditunjukkan dengan tidak ada ekspresi pada wajah penderita, seperti senyum, sedih, tertawa, dan marah.
“Gangguan keseimbangan yang dialami penderita pada tingkatan ketiga juga berisiko menyebabkan penderita mengalami patah tulang yang disebabkan oleh jatuh secara mendadak,” kata dr Agus.
Sementara pada tingkatan keempat, penderita mulai membutuhkan bantuan orang lain untuk melakukan aktivitas ringan, seperti memakai baju, sepatu, dan gosok gigi. Pasalnya, tremor yang dialami penderita sudah masuk taraf berat atau hebat.
Terakhir, pada tingkatan kelima, penderita parkinson sudah tidak dapat melakukan aktivitas tanpa bantuan orang lain. Pada fase ini, penderita rentan mengalami perparahan kondisi parkinson akibat komplikasi dengan penyakit lain.
“Mereka akan di tempat tidur saja. Di fase ini, mereka juga akan lebih rentan terhadap kemungkinan terjadinya sejumlah penyakit lain yang bisa memperparah kondisinya. Contohnya, pneumonia. Mereka akan rentan sesak napas,” ujarnya.
Sementara, untuk mencegah parkinson bisa dimulai dengan gaya dan cara hidup yang baik. Dokter Agus menjelaskan, berdasarkan sejumlah jurnal, konsumsi makanan yang mengandung antioksidan, kurkuma (kunyit), dan kopi dapat membantu mencegah terjadinya parkinson di kemudian hari.
Selain itu, olahraga dan rasa bahagia juga dapat membantu mencegah parkinson dan berbagai penyakit neurodegeneratif.
Penanganan parkinson
Lebih lanjut, dr Agus menjelaskan, sebagai penyakit yang tidak dapat disembuhkan, parkinson bisa ditangani dengan memperlambat tingkat keparahannya. Beberapa cara untuk memperlambat parkinson adalah mengonsumsi makanan yang mengandung antioksidan, berolahraga, dan membangun rasa bahagia atau emosi positif.
Di Mayapada Hospital Bogor BMC, dokter saraf akan melakukan evaluasi parkinson secara klinis. Selain itu, tim medis juga akan melakukan sejumlah pemeriksaan lanjutan, seperti computed tomographyscan (CT Scan), electromyography (EMG), dan magnetic resonance imaging (MRI).
“Setelah melakukan evaluasi dan pemeriksaan, baru akan kami tentukan terapi atau penanganan yang diperlukan bagi penderita,” kata dr Agus.
Untuk diketahui, manajemen penanganan awal parkinson adalah pemberian obat-obatan untuk menggantikan dopamin yang hilang. Namun, sejalan dengan progresivitas parkinson, dosis obat yang diberikan pun akan semakin meningkat.
“Akibatnya, untuk mencapai efek yang diinginkan, pengobatan penderita parkinson sering kali diwajibkan kombinasi dengan obat yang lain. Terkadang, penderita bisa meminum obat sebanyak 10-20 tablet dalam sehari. Ini hal yang sangat memberatkan bagi penderita,” papar dr Agus.
Lebih dari itu, obat-obat tersebut juga bisa menimbulkan beragam efek samping, seperti halusinasi dan dyskinesia atau gerakan yang tidak terkendali pada bagian tubuh tertentu.
“Penderita parkinson memiliki masa on dan off. Masa on ditandai dengan gejala yang hilang setelah minum obat, begitu pun sebaliknya. Pada kasus parkinson, penderita akan memiliki masa on yang semakin menyempit dari waktu ke waktu sehingga obatnya harus selalu ditambah,” jelasnya.
Pada fase tersebut, tindakan bedah diperlukan. Tindakan bedah penderita parkinson memiliki sejumlah manfaat, di antaranya memperbaiki gejala, masa on dan off, serta mengurangi dosis obat.
“Pembedahan pada parkinson ada dua jenis. Pertama, menstimulasi otak menggunakan deep brain stimulation (DBS). Alat ini merupakan alat pacu otak berbentuk jarum elektroda panjang berdiameter kecil yang akan dimasukkan ke dalam titik inti otak yang bermasalah,” papar dr Agus.
Setelah alat tersebut berhasil masuk ke area inti, jarum akan disambungkan dengan generator listrik yang dapat diatur voltase listriknya.
“Ketika mengatur voltase listriknya, kondisi klinis pengidap parkinson dapat berkurang. Begitu alat pacunya diberhentikan, masalah tersebut akan kembali lagi. Kedua, pembedahan dengan memberikan radio frequency. Cara pembedahannya sama, bedanya kami panaskan jarum tersebut,” kata dr Agus.
Dari pembedahan tersebut, lanjutnya, gejala parkinson yang dirasakan penderita diharapkan dapat berkurang. Pembedahan ini juga dilakukan dengan posisi pasien yang sadar.
“Pasien akan kami suruh untuk melakukan beberapa hal, seperti mengangkat tangan, menulis, atau bermain musik. Dengan begitu, kami dapat melakukan evaluasi secara langsung efek dari operasi ini,” jelasnya.
Walaupun tidak menyembuhkan, operasi tersebut dapat memberikan kualitas hidup yang lebih baik bagi penderita parkinson.
“Selain pengobatan, dukungan dari keluarga dan orang sekitar pada penderita parkinson sangat berarti. Pembedahan pada penderita parkinson juga sangat penting karena di Indonesia, pembedahan ini belum banyak,” ungkap dr Agus.
Sebagai informasi, pada kuartal IV 2021, Mayapada Hospital akan membuka cabang di Kota Surabaya, Jawa Timur. Tepatnya, berada di Jalan Mayjen Sungkono Nomor 20, Surabaya Barat.
Bagi Anda yang berdomisili di Kota Surabaya dapat mengunjungi fasilitas kesehatan tersebut untuk pemeriksaan parkinson.
Selain itu, Mayapada Hospital juga membuka layanan telekonsul terkait berbagai gangguan kesehatan. Bagi yang ingin menggunakan layanan tersebut, silakan hubungi 150770.