Advertorial

Universitas Warmadewa Dobrak Paradigma Bambu untuk Konstruksi Bangunan Masa Depan

Kompas.com - 29/09/2021, 17:07 WIB

KOMPAS.com – Eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan mengubah pola konstruksi bangunan. Dahulu, kayu digunakan sebagai material bangunan. Lantaran mulai langka, konstruksi bangunan beralih menggunakan beton.

Sejatinya, penggunaan sumber daya material hasil alam dapat mendukung prinsip keberlanjutan atau sustainability ketimbang beton. Prinsip ini juga merupakan hal penting bagi kelangsungan makhluk hidup di era sekarang, mengingat dampak pemanasan global semakin nyata terasa.

Karena urgensi tersebut, sustainability pun dijadikan topik dan kajian pada berbagai bidang keilmuan, termasuk arsitektur.

Pada bidang ilmu arsitektur, kata “sustainability” tidak hanya berkaitan dengan lingkungan terbangun, tetapi juga aspek-aspek terkecil aktivitas manusia yang menghuni lingkungan tersebut.

Oleh sebab itu, ilmu arsitektur memperkenalkan konsep arsitektur hijau. Konsep ini berfokus pada efisiensi energi dan penyesuaian bangunan terhadap iklim.

Selain itu, arsitektur hijau juga mengedepankan pemakaian material yang mampu didaur ulang, meminimalkan pemakaian sumber daya yang tidak dapat diperbarui, optimalisasi bangunan, dan memperhatikan aspek penghuni.

Berkaitan dengan hal itu, Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik dan Perencanaan Universitas Warmadewa, Bali, bertekad membangun paradigma baru dengan memanfaatkan bambu sebagai material bangunan.

Hal tersebut kemudian diwujudkan melalui Kompetisi Desain Bambu dan Konstruksi Divisi Indonesia.

Kompetisi itu juga merupakan bagian dari rangkaian kerja sama dengan mitra South China University of Technology dan Guangzhou Nansha Bird Park. Adapun kerja sama ini telah dimulai sejak 2018.

Dekan Fakultas Teknik dan Perencanaan Universitas Warmadewa Prof Dr Ir I Wayan Runa MT mengatakan, kerja sama tersebut diharapkan dapat mendorong kreativitas dan eksplorasi bambu sebagai salah satu material bangunan yang memenuhi konsep sustainability.

“Bambu memiliki tingkat kesuburan yang lebih tinggi daripada kayu. Oleh karena itu, bambu layak dipertimbangkan sebagai alternatif material konstruksi di tengah kondisi pembangunan masif di Indonesia,” jelas Wayan Runa dalam keterangan pers yang diterima Kompas.com, Rabu (29/9/2021).

Dia melanjutkan, kompetisi tersebut juga dapat membentuk pemahaman material bambu yang sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat modern.

Bambu, lanjut Wayan Runa, sering dianggap sebagai material murahan. Oleh sebab itu, lembaga pendidikan di Indonesia, seperti halnya Universitas Warmadewa, harus berperan aktif dalam mengeksplorasi desain dan konstruksi bambu.

“Bambu dinilai memiliki karakter yang unik. Di satu sisi, bambu memiliki kekuatan seperti baja. Di sisi lain, bambu juga bertekstur lentur. Kedua hal ini menjadikan bambu jadi material yang dapat didesain dengan bentuk beragam,” papar Wajan Runa.

Sementara itu, bambu juga memiliki kekuatan dan ketahanan yang mumpuni. Bahkan, di wilayah beriklim tropis seperti Indonesia.

Hal itu dibuktikan dengan sejumlah arsitektur bambu yang terbangun di Indonesia. Satu satunya adalah Green School Bali. Bangunan ini dikenal sebagai pionir kebangkitan bambu dalam arsitektur.

Seperti diketahui, arsitektur bambu tidak luput dari pertukangan Indonesia. Keterikatan bambu dan masyarakat tradisional Indonesia juga sudah terbangun cukup lama.

Hal tersebut tecermin dari pemanfaatan bambu dalam berbagai produk kesenian, acara tradisional, konstruksi jembatan, serta rumah dan alat musik di Indonesia.

Selain itu, bambu juga memiliki nilai sejarah yang sangat signifikan dalam perjuangan rakyat Indonesia ketika merebut kemerdekaan.

Kala itu, bambu yang tumbuh subur di seluruh wilayah Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke, diruncingkan pada salah satu ujung. Kemudian, dijadikan senjata oleh rakyat untuk mengusir penjajah.

Karena hal itu, bambu runcing pun menjadi simbol perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau