KOMPAS.com – Perubahan zaman yang sejalan dengan kemajuan teknologi menuntut semua masyarakat untuk bisa mengoperasikan perangkat digital.
Tidak hanya mampu mengoperasikan, masyarakat juga harus mengembangkan wawasan digital skill untuk mengimbangi perilaku sekaligus reaksi di dunia digital dari berbagai informasi yang diterima saat berseluncur di dunia maya.
Hal tersebut juga diamini oleh dosen Universitas Diponegoro (Undip) Amni Zarkasyi dalam webinar “Etika Dunia Internet: Jarimu, Harimaumu” pada Kamis (23/9/2021).
“(Digital skill) penting karena masyarakat tidak cukup hanya mampu mengoperasikan berbagai perangkat komputer dalam kehidupannya sehari-hari, tetapi juga harus bisa mengoptimalkan penggunaannya agar bermanfaat bagi dirinya dan orang lain,” papar Amni dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Senin (27/9/2021).
Menurutnya, tidak semua hasil penelusuran yang ditampilkan oleh mesin pencarian memuat informasi yang benar. Sebab, informasi hoaks juga banyak ditemukan di sana.
Untuk itu, kata Amni, diperlukan kompetensi kritis pengguna agar dapat menyaring informasi yang diperoleh.
“Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hoaks adalah berita bohong atau berita tidak bersumber. Hoaks berisi informasi yang tidak sepenuhnya benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya,” jelas Amni.
Hoaks, lanjutnya, sengaja dibuat untuk mencapai tujuan tertentu dan mendapatkan keuntungan dari dampaknya.
Adapun cara untuk menghindari berita hoaks di antaranya adalah berhati-hati dengan judul provokatif, cermati alamat situs, periksa fakta, dan memeriksa keaslian foto.
Sejalan dengan Amni, dosen Kebijakan Publik Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Dwiyanto Indiahono mengatakan, berdasarkan survei yang dilakukan Digital Civility Index (DCI) 2021, Microsoft menyebut Indonesia menduduki peringkat ke 29 dari 32 negara dengan pengalaman negatif di dunia online.
Tiga faktor utama yang menyebabkan hal tersebut adalah hoaks, penipuan, serta ujaran kebencian dan diskriminasi.
“Karenanya, diperlukan network etiquette atau netiket. Netiket adalah etiket atau etika di jaringan dunia maya. Etiket diterapkan dalam penggunaan internet, baik yang bersifat pribadi maupun umum atau pada forum digital media sosial,” jelasnya.
Dwiyanto melanjutkan, tahapan bernetiket dalam membangun citra diri yang positif adalah berkumpul dengan komunitas yang baik dan menyaring informasi dengan cek konten yang mencurigakan.
“Lalu, menenangkan diri dan berpikir jernih dalam membuat konten, posting dan sharing konten yang valid, serta bermanfaat dan sampaikan informasi secara santun,” paparnya.
Director of Center for Public Policy and Management Studies Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) sekaligus anggota Indonesian Association for Public Administration (IAPA) Tutik Rachmawati mengatakan, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang ramah saat bertemu langsung.
Sementara ketika di dunia virtual, masyarakat Indonesia merasa memiliki hak untuk memberikan komentar. Akan tetapi, tidak ada yang merasa jika komentarnya harus dipertanggungjawabkan.
“Ketika berinteraksi di sosial media, pasti akan ditemukan lebih banyak ketidaksepakatan jika dibandingkan dengan interaksi secara face to face. Kalau dari sisi teori, ketidaksepakatan pandangan ataupun perbedaan pendapat serta keyakinan dapat mendorong masing-masing individu untuk lebih toleran terhadap satu sama lain,” papar Tutik.
Perbedaan tersebut, lanjutnya, seharusnya dapat membuat setiap pihak menjadi dapat berpikir lebih reflektif dan mengembangkan citra diri positif ketika berada di dunia virtual.
Bhinneka Tunggal Ika di ruang digital
Pada kesempatan yang sama, peneliti di Institut Humor Indonesia Mikhail Gorbachev menjelaskan, masyarakat perlu untuk menerapkan nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika di ruang digital.
Sila pertama nilai utamanya adalah cinta kasih dan saling menghormati perbedaan kepercayaan di ruang digital.
“Sila kedua nilai utamanya adalah kesetaraan, memerlakukan orang lain dengan adil, dan manusiawi di ruang digital. Sila ketiga nilai utamanya adalah harmoni, mengutamakan kepentingan Indonesia di atas kepentingan pribadi, atau golongan di ruang digital,” ujarnya.
Sila keempat, lanjut Mikhail, adalah demokratis serta memberi kesempatan setiap orang untuk bebas berekspresi dan berpendapat di ruang digital. Sila kelima adalah gotong royong, bersama-sama membangun ruang digital yang aman, dan etis bagi setiap pengguna.
Sama halnya dengan Mikhail, key opinion leader (KOL) Ken Fahriza mengatakan, berbicara kondisi saat ini, etika masyarakat di dunia nyata dan di dunia digital harus sama-sama baik. Pengguna tidak bisa seenaknya dengan orang lain dan harus mengikuti aturan yang berlaku.
“Dunia digital itu banyak orang lain, tidak hanya kita saja. Kembali lagi pada diri sendiri untuk menjaga etika,” papar Ken.
Dwiyanto kembali menjelaskan, penyebab seseorang senang menyebarkan berita hoaks antara lain ingin menjadi yang pertama dan berlomba-lomba dalam menyebarkan informasi, tergesa-gesa, serta tidak teliti.
“Untuk mencegah menyebarkan berita hoaks, pengguna dapat cek data yang diterima dan langsung bicarakan kepada orang tertentu dengan memberikan bukti yang sebenarnya sebagai konfirmasi,” tuturnya.
Untuk diketahui, webinar bertajuk “Etika Dunia Internet: Jarimu, Harimaumu” merupakan salah satu rangkaian kegiatan dalam Modul Literasi Digital yang diselenggarakan di Kabupaten Serang, Banten.
Webinar tersebut terbuka bagi siapa saja yang ingin menambah wawasan dan pengetahuan mengenai literasi digital. Peserta yang mengikutinya juga akan mendapatkan e-certificate.
Adapun rangkaian webinar Modul Literasi Digital merupakan gagasan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bersama Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital Indonesia.
Seri Modul Literasi Digital memiliki empat tema besar, yakni Cakap Bermedia Digital, Budaya Bermedia Digital, Etis Bermedia Digital, dan Aman Bermedia Digital.
Melalui program tersebut, masyarakat Indonesia diharapkan bisa memanfaatkan teknologi digital dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai dalam kehidupan berbudaya, berbangsa, dan bernegara.
Program literasi digital juga mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak yang terlibat sehingga dapat mencapai target 12,5 juta partisipan.
Untuk informasi lebih lanjut, Anda bisa mengikuti akun Instagram @siberkreasi dan @siberkreasi.dkibanten.