Advertorial

Agar Tidak Terjebak Hoaks, Jangan Terpancing Perasaan Sentimental Saat Membaca Berita di Internet

Kompas.com - 29/09/2021, 21:16 WIB

KOMPAS.com – Dalam berinteraksi di dunia digital, hoaks menjadi salah satu penyebab masyarakat terpengaruh untuk berpikiran negatif. Ya, hoaks merupakan informasi atau berita yang keliru, tetapi dibuat seolah-olah benar.

Hoaks bertujuan membuat masyarakat yang membacanya merasa tidak aman, tidak nyaman, dan kebingungan. Dalam kebingungan, masyarakat cenderung mengambil keputusan yang lemah, tidak menyakinkan, dan bahkan salah.

Alhasil, hoaks dapat memicu perpecahan, ketakutan, menurunkan reputasi, membuat fakta menjadi sulit dipercaya, dan bahkan bisa memakan korban jiwa.

Menyikapi hal tersebut, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menjalin kerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital menggelar webinar dengan tajuk “Bersama Lawan Kabar Bohong (Hoaks)”, Rabu (22/9/2021).

Pada webinar tersebut, hadir beberapa narasumber yang meliputi Account Executive MNC Group Ali Elanshory, peneliti dan pengasuh Tarbiyahislamiyah.id Ridwan Muzir, CEO Kaizen Room Ismita Saputri, CEO @kubikkreatif Fariz Zulfadhli, dan musisi Sherrin Tharia.

Dalam pemaparannya, Ridwan Muzir menyampaikan, seseorang yang membuat atau menyebarkan hoaks adalah mereka yang memiliki kepentingan atau ingin mendapatkan keuntungan tertentu.

Misalnya, kepentingan ekonomi dalam persaingan bisnis promosi barang yang tidak berkualitas atau keuntungan politik dan kekuasaan dalam menjatuhkan lawan.

“Alasan banyak orang yang percaya hoaks dan turut menyebarkannya adalah karena saat ini kita hidup di ‘taman’ pascakebenaran, yakni kesesuaian antara kabar informasi dan kenyataan tidak lebih penting dari informasi itu sendiri,” kata Ridwan dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Senin (27/9/2021).

Kini, lanjutnya, akurasi dinomorduakan demi sensasi dan verifikasi diabaikan demi publikasi.

“Adapun cara menghadapi hoaks adalah dengan cara memperbanyak unsur sinis (skeptis) dalam sikap menghadapi informasi di media sosial dan dunia digital,” saran Ridwan.

Pendapat serupa juga disampaikan Sherrin. Ia mengatakan bahwa internet memiliki dampak yang luar biasa seiring kemudahan dalam mengaksesnya.

“Pengguna internet harus memanfaatkan teknologi secara positif. Sebagai orangtua, misalnya, harus pintar memanfaatkan teknologi canggih. Terlebih, internet tidak memiliki batasan berinteraksi di seluruh dunia. Orangtua harus lebih bijak memperkenalkan anak ke dunia maya,” jelas Sherrin.

Selain itu, lanjutnya, orangtua juga harus selalu up-to-date dengan perkembangan aplikasi agar anak dapat berkembang sebagai makhluk sosial dengan cara mengimbangi dunia digital dan dunia nyata.

“Ini merupakan sebuah wake-up call supaya kita bisa memanfaatkan media digital sebaik mungkin,” kata Sherrin.

Salah satu peserta yang hadir secara virtual, Tri Angkoco menyampaikan pertanyaan kepada narasumber.

“Bagaimana cara mencegah keluarga atau orangtua agar tidak termakan dan tidak menyebarluaskan berita hoaks? Lalu, bagaimana cara menyakinkan mereka bahwa berita tersebut adalah salah?” tanya Tri.

Pertanyaan tersebut dijawab dengan lugas oleh Ridwan. Ia mengatakan, seseorang harus mampu menjelaskan dengan bahasa yang santun dan kepala dingin.

“Sebab, hoaks yang dibagikan di grup keluarga pada situasi genting biasanya dicerna oleh banyak orang tanpa menggunakan akal sehat. Mereka jadi lebih mudah terpancing secara emosional. Sejumlah topik, seperti pandemi Covid-19 atau situasi politik, biasanya menyentuh sisi emosional manusia,” jelas Ridwan.

Sebagai informasi, webinar tersebut merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital yang diselenggarakan oleh @siberkreasi.dkibanten dan @siberkreasi. Bila ingin mengetahui webinar selanjutnya, silakan ikuti dan pantau akun Instagram tersebut.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com