KOMPAS.com - Bagi pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), inovasi produk adalah keniscayaan. Selain kunci untuk bersaing, inovasi merupakan langkah penting agar produk lokal tetap relevan dengan kebutuhan pasar.
Terlebih, di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi akibat pandemi Covid-19. Karenanya, pelaku UMKM harus mampu beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan perilaku konsumen yang dinamis.
Hal tersebut pun disadari oleh sejumlah pemilik brand lokal asal Yogyakarta. Salah satunya adalah founder Bakpiapia, Rasuna.
Rasuna mengatakan, meski bakpia identik sebagai penganan klasik tradisional, bukan berarti kudapan ini tak dapat dikembangkan sesuai tren dan keinginan pasar.
“Di Yogyakarta, saya melihat bakpia memiliki potensi pasar yang cukup apik. Karena itu, kami coba berinovasi memproduksi produk bakpia yang berbeda dengan bakpia lain,” ujar Rasuna dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Jumat (24/9/2021).
Untuk diketahui, bakpia adalah penganan khas Yogyakarta hasil akulturasi dengan budaya China. Kue berbahan tepung terigu yang dipanggang dengan isian kacang hijau ini sejak lama menjadi buah tangan andalan wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta.
Rasuna mengisahkan, Bakpiapia berdiri sejak Juni 2004 di Jalan Sosromenduran, Yogyakarta. Awalnya, Rasunah hanya gemar memasak berbagai penganan untuk dibagikan pada kerabat.
Salah satu kudapan yang dibuat Rasuna adalah bakpia. Ia pun membagikan bakpia buatannya kepada teman-teman terdekat dan tetangga.
Bak gayung bersambut, bakpia buatan Rasuna mendapat respons positif. Bahkan, beberapa orang kerabat memesan bakpia dalam jumlah banyak. Hal ini mendorong Rasuna untuk menjual bakpia.
“Alhamdulillah, mereka senang dengan apa yang saya buat. Sejak saat itu, mereka sering repeat order sehingga kami memberanikan diri membuka gerai bakpia,” kenang Rasuna.
Seiring waktu berjalan, bisnis Bakpiapia yang dijalankan Rasuna semakin berkembang pesat.
Meski demikian, Rasuna menyadari bahwa pelaku usaha bakpia di Yogyakarta kian menjamur. Oleh karena itu, ia berinovasi serta mengkreasikan bakpia dengan rasa baru.
“Awalnya, kami coba berinovasi isian (filling) bakpia, seperti durian dan selai nanas. Ternyata, rasa isian tersebut nyambung dan cocok dengan bakpia,” terang Rasuna.
Ia mengungkapkan, inovasi tersebut dilakukan karena keinginan konsumen semakin bervariasi. Berbagai rasa pun tak henti diwujudkan agar tetap relevan dengan kebutuhan pelanggan.
“Kami variasikan dengan rasa-rasa kekinian dan terus memperbaiki kualitas produk agar tidak membosankan. Kini, Bakpiapia menyediakan produk dengan isian terbaru, yaitu green tea, black beauty, dan keju edam,” papar Rasuna.
Pada kesempatan yang sama, Tano Nazoeaggi, founder Bakpiapia sekaligus putra sulung Rasuna, menjelaskan bahwa inovasi yang dihadirkan tak hanya dari segi rasa, tetapi juga dari sisi teknologi.
Hal itu dilakukan Tano untuk mendukung pengembangan produk bakpia yang lebih baik. Tujuannya, agar bisnis Bakpiapia semakin berkembang dan merambah pasar yang lebih luas.
“Inovasi teknologi yang kami lakukan adalah dari sisi pengawetan. Setelah melakukan berbagai riset, (teknik) pengawetan yang paling sehat dan memungkinkan untuk dilakukan adalah dari segi pengemasan (packaging). Karena itu, kami investasi alat vakum nitrogen dan silika gel,” terang Tano.
Dengan begitu, lanjut Tano, produk Bakpiapia bisa bertahan lama dan dapat diekspor ke mancanegara, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Tembus pasar internasional
Selain Bakpiapia, brand lokal Yogyakarta yang juga beradaptasi dengan perkembangan zaman adalah Gudeg Bu Tjitro.
Berkat inovasi yang dilakukan generasi-generasi penerusnya, Gudeg Bu Tjitro yang sudah berusia 96 tahun ini tetap bertahan. Bahkan, mampu menembus pasar mancanegara.
Direktur Gudeg Bu Tjitro Burhanul A Pasa mengatakan, bisnis Gudeg Bu Tjitro dimulai pada 1925.
“Nenek buyut saya, Mbah Tjitro, pertama kali jualan gudeg di emperan Pasar Ngasem, Yogyakarta,” kata Burhanul.
Saat dikelola oleh generasi kedua, imbuh Burhanul, Gudeg Bu Tjitro membuka cabang di Jakarta. Kemudian, generasi ketiga memperluas dan menambah cabang restoran di Yogyakarta.
“Kini, saya sebagai generasi keempat, melakukan inovasi gudeg kaleng. Inovasi ini kami rintis sejak 2010,” jelas Burhanul.
Burhanul menjelaskan, gagasan membuat gudeg kaleng berawal dari keluhan konsumen perihal gudeg yang tak bisa bertahan lama saat dijadikan oleh-oleh. Pasalnya, gudeg hanya bisa bertahan selama dua hari.
Hal itu mendorong Burhanul untuk memikirkan cara agar gudeg tetap awet dan bisa dijadikan buah tangan oleh para wisatawan.
Untuk mewujudkan hal itu, pihaknya berinisiatif menggandeng Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI) dalam melakukan riset pengalengan gudeg.
Berkat kolaborasi tersebut, tercipta proses pengalengan gudeg dengan prinsip sterilisasi menggunakan teknologi hampa udara. Alhasil, Gudeg Bu Tjitro dalam kemasan kaleng bisa awet hingga satu tahun. Hal ini menjadi nilai tambah untuk masuk ke pasar mancanegara, seperti Timur Tengah dan Eropa.
“Selanjutnya, kami bekerja sama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk mendapatkan izin edar,” jelas Burhanul.
Lewat kolaborasi dengan dua lembaga tersebut, Gudeg Bu Tjitro berhasil memberdayakan 50 UMKM sebagai mitra. Adapun sebagian besar UMKM yang dinaungi Gudeg Bu Tjitro telah mengantongi izin dari BPOM.
Merespons inovasi yang digagas brand-brand lokal asal Yogyakarta tersebut, Mantri Bank Rakyat Indonesia (BRI) Abdul mengatakan, para pelaku usaha dapat mengoptimalkan kolaborasi dengan UMKM lain sebagai mitra.
Dengan demikian, terbentuk ekosistem bisnis UMKM lokal yang kuat dan mampu berdaya saing.
Dari segi perbankan, pelaku usaha dapat memanfaatkan rekening BRI satu pintu. Dengan rekening tersebut, lanjut Abdul, pelaku usaha dapat melakukan sejumlah transaksi keuangan sekaligus.
“Mulai dari transaksi pembelian bahan baku, penggajian karyawan, hingga optimalisasi teknologi barcode untuk proses pembayaran. Dengan begitu, dana langsung masuk ke rekening satu pintu,” jelas Abdul.
Abdul menambahkan, ke depan, pihak perbankan tak perlu lagi melakukan evaluasi dan wawancara tatap muka bagi para kreditur.
“Dengan rekening satu pintu, bank dapat mengevaluasi omzet untuk melakukan penilaian kelaikan kredit. Hal ini karena pemasukan dan pengeluaran pelaku usaha terekam secara digital sehingga proses pengajuan kredit lebih mudah dan efisien,” kata Abdul.
Untuk mengetahui lebih dalam kisah-kisah inspiratif para pelaku UMKM di Tanah Air, Anda dapat menyaksikan Petualangan Brilian di kanal YouTube BRI pada tautan berikut.