Advertorial

Software Engineer Lokal Mesti Ambil Peran dalam Ekonomi Digital Indonesia 2025

Kompas.com - 02/10/2021, 12:07 WIB

KOMPAS.com – Anggota Komisi X DPR RI, Bidang Pendidikan, Ekonomi Kreatif dan Teknologi, Bramantyo Suwondo menyebutkan, software engineer lokal harus mampu mengambil peran dalam pengembangan ekonomi digital Indonesia pada 2025.

Hal itu ia sampaikan dalam webinar “Menjadi Software Engineer Tuan Rumah di Negeri Sendiri” yang digelar Dikita Intergasi dan Rumah Coding Cerdas, Sabtu (25/9/2021).

Seperti diketahui, pemerintah menargetkan ekonomi digital Indonesia pada 2025 mencapai 130 miliar dollar Amerika Serikat (AS).

“Banyak lulusan teknis di Indonesia yang cukup baik, tetapi tidak memiliki soft skill yang mumpuni, seperti kolaborasi, public speaking, komunikasi, dan kendala bahasa,” kata Bramantyo dalam keterangan pers yang diterima Kompas.com, Sabtu (2/10/2021).

Ia menambahkan, cara mempelajari soft skill yang paling efektif adalah dengan mempraktikkannya secara langsung.

Para software engineer dan programmer, kata Bramantyo, harus aktif dan dinamis dalam menyiapkan diri dengan kebutuhan industri yang juga berkembang pesat.

“Di Jerman, kebutuhan industri dengan apa yang diajarkan di dunia pendidikan selalu sejalan sehingga lulusan dari institusi pendidikan dapat tersalurkan sesuai dengan kebutuhan industri,” terangnya.

Kondisi ini, lanjutnya, berbeda dengan lulusan sekolah teknologi informasi dan komunikasi (TIK) Indonesia. Pasalnya, jumlah lulusan yang cukup banyak belum diimbangi dengan program mix and match.

“Ini dikhawatirkan dapat menimbulkan over supply. Indonesia banyak lulusan TIK, tetapi secara kualitas masih banyak yang harus ditingkatkan.

Ciptakan Ekosistem

Merespons kondisi tersebut, Software Engineer Rumah Coding Cerdas Rachmat Fajrin mengatakan bahwa programmer Indonesia membutuhkan tempat bernaung untuk saling mendorong satu sama lain.

Karenanya, melalui Rumah Coding Cerdas, Fajrin membangun ekosistem untuk menjadikan software engineer menjadi lebih mandiri, kian berdaya, dan mampu bersaing dengan programmer asing.

“Kami berharap, banyak talenta yang paham bahwa dalam dunia software engineering, ada aspek-aspek lain, seperti komunikasi, leadership, manajemen waktu dan prioritas, serta networking atau relasi yang harus ditingkatkan kompetensinya. Jadi, tidak selalu soal teknis,” kata dia.

Hal senada disampaikan oleh Principal Web Tokopedia Irfan Maulana. Menurutnya, programmer lokal harus bisa berkomunitas dengan baik untuk perkembangan diri.

“Mereka (programmer lokal) akan susah untuk berkembang sendirian. Komunitas bukan tempatnya orang-orang jago berkumpul, tetapi tempat orang-orang yang mau belajar,” imbuhnya.

Irfan berkisah, meski berasal dari Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Akuntansi, ia bisa fokus di ilmu teknologi informasi (TI) dan mendapat banyak proyek selama kuliah karena aktif berkomunitas. Ia sadar, setelah lulus kuliah, masih banyak ilmu yang belum dipelajari.

“Saya sadar, kebutuhan ilmu di industri hanya dikover sekitar 10 persen di jenjang SMK atau perkuliahan. Maka dari itu, mencari opportunity itu harus di komunitas di luar sekolah atau kampus,” jelasnya.

Menurut dia, mindset sebagai software engineer perlu diarahkan ke dampak sosial yang masif.

“Melalui komunitas, software engineer lokal dapat saling berbagi sekaligus menjadi sarana untuk peningkatan kompetensi,” kata Irfan.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com