KOMPAS.com – Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bekerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital menggelar webinar bertajuk “Memahami Perlindungan Data Pribadi”, Jumat (1/10/2021).
Kemenkominfo menghadirkan sejumlah narasumber dalam webinar tersebut, yaitu Project Manager PT Westmoore Tech Indonesia Panji Gentura, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Anang Masduki, anggota Kaizen Room Diana Balienda, akademisi dan penggiat masyarakat digital Bondan Wicaksono, serta anggota band J-Rocks Sony Ismail.
Dalam pemaparannya, Bondan menyampaikan bahwa hak atas privasi telah dijamin oleh Pasal 28 G Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Meski disebutkan secara implisit, menurut Bondan, ha katas privasi sudah ditegaskan melalui beberapa putusan pengadilan, di antaranya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 50/PUU-VI/2008 mengenai Perkara Pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“Perkembangan data pribadi yang pesat mengakibatkan peningkatan penggunaan data pribadi konsumen. Penggunaan ini harus diatur dan dibatasi agar tidak merugikan konsumen,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Senin (4/10/2021).
Lebih lanjut, Bondan mencontohkan dua hal penggunaan data pribadi yang dapat merugikan konsumen, yakni telemarketing dan profiling.
Maka dari itu, dibutuhkan harmonisasi aturan data pribadi. Hal ini perlu mengingat saat ini aturan data pribadi masih jadi standar peraturan sektoral seperti perbankan, telekomunikasi, UU ITE, dan UU Kesehatan.
“UU Data Pribadi akan menjadi payung bagi aturan-aturan yang bermacam-macam tersebut. Tujuannya adalah untuk mengharmonisasi aturan data pribadi dan menghindari tumpang tindih aturan,” kata Bondan.
Selaku narasumber key opinion leader, Sony menyampaikan bahwa perkembangan dunia digital yang semakin pesat memberikan sejumlah kemudahan baginya. Pasalnya, saat ini, semua hal bisa dilakukan secara online dan virtual.
Namun, efek negatif dunia digital juga ia rasakan. Kini, semua orang dapat mengakses dengan mudah lagu-lagu yang Sony ciptakan di internet. Sayangnya, hal tersebut mempermudah proses pembajakan.
“Soal pembajakan adalah sesuatu yang dari dulu belum pernah bisa dituntaskan. Itu merupakan satu hal yang perlu menjadi perhatian juga,” ujarnya.
Dampak negatif lain juga sering ditemukan adalah hoaks dan ujaran kebencian yang marak di media sosial.
Dalam webinar tersebut, salah satu peserta bernama Lutfiani bertanya mengenai pola pikir yang berubah karena semua menjadi serbadigital. Ia pun ingin tahu perubahan budaya digital seperti apa yang membuat masyarakat lebih cakap, kritis, kreatif, produktif, dan kolaboratif agar dapat lebih cakap digital.
Salah satu narasumber, Diana Balienda, menjawab pertanyaan tersebut. Menurutnya, dengan adanya transformasi digital, masyarakat bisa lebih mudah untuk bekerja. Ia juga meyakini bahwa budaya digital mampu mengubah pola pikir masyarakat.
“Dengan budaya digital, pola pikir pun bisa berubah dari fixed mindset menjadi growth mindset yang membuat kita lebih mudah dalam memanfaatkan media digital. Intinya yang harus dibenahi adalah cara berpikir memandang teknologi itu. Jangan takut untuk terus beradaptasi,” ujar Diana.
Sebagai informasi, webinar tersebut terbuka bagi siapa saja yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital.
Untuk itulah, penyelenggara membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada rangkaian webinar selanjutnya.
Bagi yang ingin mengetahui tentang Gerakan Nasional Literasi Digital secara keseluruhan bisa ikuti akun Instagram @siberkreasi dan @siberkreasi.dkibanten.