JAKARTA, KOMPAS.com – Letusan mahadahsyat Gunung Toba 74.000 tahun lalu menjadi karunia tersendiri bagi Indonesia. Bagaimana tidak, letusan yang terjadi di sisi utara Pulau Sumatera itu berhasil menyulap tanah Batak menjadi danau nan indah dengan segala keunikan serta kekayaan geologi, biologi, dan budaya.
Tak heran, Lembaga Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Persatuan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pun menetapkan Kaldera Toba sebagai Geopark Dunia.
Terkait sejarah panjang proses letusan Gunung Toba, geolog kondang Indyo Pratomo pun angkat suara.
“Kaldera Toba terbentuk dari erupsi supervolcano 74.000 tahun lampau yang menyebabkan kekosongan dapur magma hingga menyisakan kawah berukuran sangat besar,” papar Indyo dalam konferensi internasional bertajuk “Heritage of Toba: Natural and Cultural Diversity”, Rabu (13/10/2021).
Sebagai informasi, konferensi internasional tersebut merupakan kerja sama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dan Harian Kompas. Konferensi ini menghadirkan sejumlah pakar dari berbagai latar belakang keilmuan, seperti geologi, ekowisata, budaya, fesyen, musik, dan kuliner.
Indyo menjelaskan, Kaldera Toba dikategorikan supervolcano karena memuntahkan material lebih dari 2.800 kilometer (km) kubik sehingga berdampak dahsyat terhadap perubahan iklim dunia.
“Erupsi Gunung Toba menghasilkan asap yang menembus lapisan stratosfer dan volcanic winter yang menjangkau Asia Timur, Asia Tengah, (bahkan) hingga Afrika Timur. Akibat abu vulkanik, suhu bumi turun hingga 5 derajat Celcius,” terang Indyo.
Tak hanya berdampak terhadap perubahan iklim, letusan kompleks Gunung Toba yang dinamis menyisakan jejak-jejak geologi di sekitar Danau Toba.
Hal itu bisa dilihat pada lapisan-lapisan permukaan perbukitan yang terdapat di kawasan Toba.
“Corak permukaan dinding bukit yang terlihat seperti susunan kue lapis merupakan hasil endapan atau proses sedimentasi terangkatnya permukaan Pulau Samosir kala itu. Ini adalah museum alam yang bisa dilihat wisatawan untuk mengenal sejarah Kaldera Toba,” terang Indyo.
Alam perlu bicara
Merespons uraian Indyo terkait pembentukan Kaldera Toba, ahli ekowisata IPB University Profesor Harini Muntasib mengatakan, kisah panjang Gunung Toba berpotensi untuk dioptimalkan sebagai materi branding ke kancah dunia.
“Dalam konteks ekowisata, alam perlu bicara kepada wisatawan. Potensi alam Danau Toba tak sekadar untuk dilihat, tapi juga dirasakan dan diketahui jejak tapaknya,” tutur Harini.
Menurut Harini, hal itu bisa dilakukan pemerintah dengan membangun narasi Danau Toba sebagai bagian dari branding pariwisata. Salah satunya dapat dituangkan dalam bentuk film dokumenter.
“Kalau difilmkan, pengunjung bisa ikut merasakan kehebatan letusan Gunung Toba kala itu, mulai dari sebelum terjadinya letusan hingga terbentuknya Danau Toba. Narasi demikian akan membuat takjub masyarakat dunia sehingga mereka tahu bahwa Danau Toba merupakan bagian dari letusan gunung terbesar dunia,” jelas Harini.
Selain itu, lanjut Harini, potensi Danau Toba yang beragam bisa dioptimalkan untuk membangun destinasi wisata tematik. Sebagai contoh, pengembangan potensi sumber daya alam (SDA) khas lokal, seperti tanaman andaliman dan ikan batak.
Kemudian, wisata tematik sosial budaya juga bisa dikembangkan. Salah satunya, pola adaptasi ekologi masyarakat Batak terhadap perubahan geologi yang dinamis.
“Bagaimana budaya adaptasi masyarakat Batak terhadap lingkungan, interaksi antara alam dan manusia yang membentuk budaya lokal. Ini bisa jadi tema-tema wisata di Danau Toba,” terang Harini.
Ulos, musik, dan kuliner
Selain kekayaan alam dan budaya, potensi produk ekonomi kreatif (ekraf) masyarakat di sekitar Danau Toba pun perlu dikembangkan. Hal ini dilakukan untuk mendukung Kaldera Toba sebagai Geopark Dunia serta Destinasi Super Prioritas (DSP) Indonesia.
Adapun salah satu produk ekraf khas Batak yang selama ini menarik perhatian wisatawan adalah wastra atau kain ulos.
Perancang busana Athan Siahaan mengatakan, ulos Batak dapat mendorong pariwisata di Toba karena mengandung nilai estetika dan lekat akan tradisi.
“Saya beberapa kali membawa ulos ke luar negeri. Tak dinyana, ternyata ulos sangat diminati masyarakat mancanegara,” kata Athan.
Demikian pula dari sisi kuliner. Praktisi kuliner Indonesia Santhi Serad mengungkapkan, penganan asli Batak dengan cita rasa khas bisa mendulang popularitas pariwisata Toba.
“Ragam kuliner Toba yang dapat dikembangkan antara lain, masakan ikan mas arsik, naniura, dan olahan susu kerbau atau disebut keju Batak dali ni horbo,” ujar Shanti.
Musik Batak pun tak kalah potensial dibandingkan ulos dan kuliner. Musikus Viky Sianipar mengatakan, musik tradisional Toba juga dapat digemari banyak orang. Musik tradisional yang dikemas dengan aransemen baru terbukti didengarkan secara luas di seantero Indonesia.
Upaya kolaboratif
Arah pengembangan kepariwisataan Danau Toba tersebut juga sejalan dengan rencana yang disiapkan Kemenparekraf.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) sekaligus Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Barekraf) Sandiaga Salahuddin Uno mengatakan, pengembangan Danau Toba sebagai salah satu DSP Indonesia merupakan langkah untuk menjaga keberlanjutan kawasan tersebut.
“Untuk menjaga keberlanjutannya, Toba perlu menyatukan visi, berkolaborasi dengan para pemangku kepentingan, serta menjaga dan melestarikan aset dunia ini sehingga dapat memberikan dampak positif dalam hal ekonomi, lingkungan, dan kesejahteraan bagi masyarakat,” ujar Sandi.
Sementara itu, Perwakilan UNESCO untuk Indonesia Mohamed Djelid mengatakan, Kaldera Toba adalah salah satu geopark dengan lanskap paling ikonik yang penting untuk dijaga kelestariannya.
“Hal itu bisa diwujudkan dengan mengombinasikan prinsip-prinsip proteksi, edukasi, dan keberlanjutan,” terang Mohamed.
Pada kesempatan yang sama, Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggaraan Kegiatan Kemenparekraf Rizki Handayani mengatakan, Kemenparekraf berupaya mengembangkan Toba sebagai destinasi wisata minat khusus yang mengedepankan potensi alam dan budaya.
"Wisatawan saat ini membutuhkan experience ketika berkunjung. Untuk itu, upaya kolaboratif juga perlu dilakukan dengan biro-biro perjalanan yang diharapkan dapat membuat paket-paket wisata tematik ini," tutur Rizki.
Pengelolaan kepariwisataan ibarat orkes simfoni yang memerlukan keterlibatan para pemain secara harmonis.
Karena itu, diperlukan partitur pembangunan kepariwisataan yang dapat dijadikan pedoman oleh semua pemangku kepentingan, baik pemerintah, pelaku usaha, maupun masyarakat.