KOMPAS.com – Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Papua Barat Filep Wamafma mengungkapkan pendapatnya mengenai hasil survei elektabilitas calon presiden (capres) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Untuk diketahui, survei tersebut dilakukan oleh tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kompas yang dilaksanakan sejak 26 September-9 Oktober 2021 terhadap 1.200 responden melalui wawancara tatap muka di 34 provinsi.
Hasil survei itu membuatnya bertanya, mengapa tidak ada capres dari kalangan ras Melanesia yang masuk dalam hasil survei? Padahal, ras Melanesia juga merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Adapun sejumlah figur terkemuka dengan elektabilitas tertinggi adalah Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo dengan 13,9 persen. Kemudian, Anies Baswedan dengan elektabilitas 9,6 persen, Ridwan Kamil 5,1 persen, dan Tri Rismaharini 4,9 persen.
Selanjutnya, Sandiaga Uno dengan elektabilitas 4,6 persen, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok 4,5 persen, Agus Harimurti Yudhoyono 1,9 persen, Mahfud MD 1,2 persen, dan Gatot Nurmantyo 1,1 persen.
Menurut Filep, sejumlah nama tersebut merupakan tokoh yang cukup familier dalam percaturan politik di Indonesia. Semuanya pun memiliki pengaruh melalui perannya masing-masing dalam penyelenggaraan kehidupan publik.
“Sebagai Senator Papua Barat, pertanyaan saya sangat sederhana, mengapa tidak ada nama dari ras Melanesia ataupun putra Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, atau Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam survei tersebut?” tanya Filep dalam keterangan pers yang diterima Kompas.com, Senin (25/10/2021).
Tidak hanya survei Litbang Kompas, lanjutnya, survei yang lain pun tidak pernah mengambil satu nama tokoh dari penduduk ras Melanesia.
Sejak Papua menjadi bagian dari NKRI, tokoh-tokoh Papua memang belum pernah menjadi orang nomor satu di Indonesia. Demikian pula dengan tokoh dari wilayah Maluku dan NTT.
Persoalan pokok politik identitas di Indonesia
Berkaca pada hasil survei tersebut, Filep berharap agar orang dari ras Melanesia dapat menjadi Presiden Indonesia, walaupun keinginannya itu bak mimpi di siang bolong.
Pasalnya, permasalahan pokok dari keinginan Filep terletak pada politik identitas yang kuat di Indonesia.
Menurutnya, politik identitas Indonesia mengusung makna asal-usul sehingga seorang calon presiden di Indonesia dijaga sedemikian rupa agar berasal dari wilayah Indonesia bagian barat.
Politik identitas tersebut diperkuat oleh beberapa hal. Pertama, masyarakat Indonesia masih memfokuskan diri pada calon-calon presiden dari Indonesia Barat, seperti dari Pulau Jawa. Menurut Filep, hal ini secara otomatis menghilangkan kemungkinan ras Melanesia untuk menjadi presiden.
Kedua, peran partai politik dalam membesarkan tokoh tertentu masih berpusat pada tokoh-tokoh publik di wilayah Jawa. Hal ini menyebabkan tokoh-tokoh dari ras Melanesia hanya sebatas menyukseskan figur-figur politik yang berkiprah dan dikenal di wilayah Jawa.
“Ketiga, sadar atau tidak, asumsi publik di Indonesia masih underestimate kemampuan tokoh-tokoh dari rumpun Melanesia. Hal ini menumbuhkan benih diskriminasi dan rasisme dalam tataran tertentu. Watak rumpun Melanesia yang keras, sering kali dianggap kurang pas sebagai pemimpin NKRI,” papar Filep.
Di antara berbagai politik identitas tersebut, tambahnya, ras Melanesia belum memiliki tokoh besar yang mampu mempersatukan semua orang dari hulu sampai hilir, dari gunung sampai pantai, dari hutan sampai perkotaan.
Bahkan, kalau pun ada, biasanya nasib tokoh tidak akan lama. Ketiadaan tokoh ini menyebabkan masyarakat rumpun Melanesia hanya mampu ikut memilih saja tanpa mampu menampilkan putra-putri terbaiknya untuk dipilih.
“Sejumlah persoalan tersebut seharusnya memberikan inspirasi dan motivasi bagi anak-anak ras Melanesia untuk mulai bertanya pada diri sendiri, kapan ras Melanesia bisa menjadi presiden Indonesia?” tutur Filep.
Ia melanjutkan, inspirasi tersebut akan memberikan motivasi agar peta politik masyarakat mampu melahirkan, membesarkan, dan memberi jalan luas bagi tokoh publik dari rumpun Melanesia sehingga diakui di kancah nasional.
Dengan demikian, ruang-ruang politik ras Melanesia dapat bersatu dan membawa nama-nama yang bisa bersaing di khazanah politik Indonesia.
Filep juga menyayangkan bahwa perpecahan politik yang disebabkan oleh ambisi pribadi ataupun kelompok, sering kali menghambat lahirnya tokoh politik dari ras Melanesia.
Dengan kata lain, perjuangan politik ras Melanesia masih sangat diaspora, menyebar tanpa koordinasi. Bila hal terkait inspirasi dan motivasi tidak segera terbangun, sampai kapan pun ras Melanesia tidak bisa menjadi presiden di Indonesia.
“Untuk mendukung hal tersebut, peran media pun sangat dibutuhkan untuk membesarkan tokoh politik dari ras Melanesia,” ujar Filep.
Apabila media nasional hanya berfokus pada publik figur di wilayah Jawa, kesempatan bagi tokoh publik rumpun Melanesia semakin meredup.
“Jadi, mau tidak mau, hanya orang Melanesia sendiri yang bisa menempatkan dirinya di bentara politik Indonesia,” tutur Filep.