JAKARTA, KOMPAS.com – “Tidak akan tercapai kemuliaan Islam dan kebangkitan syariatnya di dalam negeri-negeri jajahan.”
Itulah salah satu isi Resolusi Jihad yang digaungkan Rais Akbar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Kiai Haji Hasyim Asyari pada 22 Oktober 1945.
Resolusi tersebut merupakan bentuk komitmen dan dedikasi umat Islam, termasuk para santri, untuk memperjuangkan cita-cita kemerdekan Indonesia.
Puluhan tahun setelah Indonesia merdeka, tepatnya sejak 2015, momen bersejarah tersebut kemudian dijadikan landasan pemerintah untuk menetapkan Hari Santri Nasional.
Momen tersebut juga menjadi pengingat bahwa umat Islam, khususnya para santri dan kiai, memegang peranan penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kini, mereka turut bertanggung jawab untuk mempertahankan kemerdekaan.
Sebagai upaya mempertahankan kemerdekaan dan menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) berharap agar para santri senantiasa berpegang teguh pada ideologi Pancasila, termasuk dalam kehidupan bermasyarakat.
“Membangun ideologi Pancasila sangat penting di tengah radikalisme dan terorisme yang berpotensi memecah belah bangsa,” ujar Sekretaris Utama (Sestama) BPIP Dr Drs Karjono SH, MHum dalam acara “Hari Santri 2021: Santri untuk Negeri” yang disiarkan secara langsung di KompasTV, Sabtu (23/10/2021).
Karjono menjelaskan, peringatan Hari Santri 2021 merupakan momen untuk kembali mengingat dan mengapresiasi perjuangan para santri dalam mengusir kolonialisme dengan berpegang teguh pada Pancasila.
Sebagai informasi, Hari Santri 2021 mengusung tema “Santri Siaga Jiwa dan Raga”. Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, tema tersebut merupakan bentuk pernyataan sikap santri Indonesia agar selalu siap siaga menyerahkan jiwa serta raga untuk mempertahankan persatuan Indonesia dan mewujudkan perdamaian dunia.
“Siaga jiwa dan raga juga merupakan komitmen seumur hidup santri untuk membela Tanah Air dengan berlandaskan kesantunan dan kerendahhatian, serta pengalaman dan tempaan santri selama di pesantren,” jelas Yaqut.
Senada dengan Yaqut, Karjono juga menilai bahwa sebagai tulang punggung kemajuan agama, para santri juga merupakan salah satu kekuatan negeri.
Pasalnya, selama di pesantren, mereka tak hanya diajarkan ilmu sejati menuju keberkahan Sang Ilahi, tetapi juga pendidikan formal dan vokasi. Menurut Karjono, dengan keseimbangan ilmu agama dan duniawi, mereka akan semakin siap untuk menjalani kehidupan bermasyarakat.
“Kunci pendidikan pesantren adalah ilmu agama. Dengan ilmu agama yang kuat, para santri akan memiliki fondasi jiwa dan raga yang kuat sehingga siap menorehkan prestasi membanggakan, baik di tingkat nasional maupun di kancah global,” ujar Karjono.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama (Kemenag) Dr H Waryono Mag mengatakan, ilmu bermasyarakat, seperti kepemimpinan dan politik, juga dapat ditemukan dalam Kitab Kuning yang menjadi landasan pendidikan di pesantren.
Dengan keilmuan tersebut, lanjut Waryono, lulusan pesantren akan semakin siap untuk hidup bermasyarakat, termasuk ketika menduduki jabatan strategis di pemerintahan.
“Tak perlu heran jika lulusan pesantren berprofesi sebagai politikus atau teknokrat. Bahkan, posisi Wakil Presiden pun diduduki oleh lulusan pesantren,” ucap Waryono mencontohkan.
Dia melanjutkan, para santri juga akan menghadapi tantangan yang lebih besar pada masa mendatang. Hal ini disebabkan perubahan sosial yang cepat.
“Oleh sebab itu, santri dituntut untuk menguatkan keilmuan, kapasitas, pengalaman, dan jaringannya sehingga bisa mengambil peran besar, baik bagi kemajuan Indonesia maupun global,” imbuh Waryono.
Waryono menambahkan, menurut data Kemenag, saat ini terdapat 33.890 pesantren di Indonesia. Seluruh pesantren berkomitmen untuk menjaga persatuan dan kedaulatan serta memajukan NKRI dengan semangat ideologi Pancasila.