KOMPAS.com - Sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo untuk melakukan transformasi bisnis ke arah green economy, PT Pertamina (Persero) menargetkan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen pada 2030, baik dengan usaha sendiri maupun bantuan internasional.
Salah satu upaya yang dilakukan perseroan demi mewujudkan hal tersebut adalah dengan menggandeng ExxonMobil untuk mengembangkan teknologi rendah karbon.
Kerja sama itu ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman antara Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati dan President ExxonMobil Indonesia Irtiza H Sayyed di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa di Glasgow, Skotlandia, Senin (1/11/2021).
Penandatanganan tersebut turut disaksikan oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Badan Usaha Milik Negera (BUMN) Erick Thohir, beserta Wakil Menteri BUMN Pahala N. Mansury, dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif.
Erick Thohir mengatakan, Kementerian BUMN terus mendorong Pertamina untuk melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk perusahaan global dalam pengembangan teknologi carbon capture, utilization, and storage (CCUS).
"Kolaborasi CCUS merupakan langkah untuk mewujudkan energi hijau. Kemitraan ini sangat penting untuk mengurangi efek GRK dan meningkatkan kapasitas produksi gas minyak nasional," ujar Menteri BUMN Erick Thohir dalam keterangan pers yang diterima Kompas.com, Selasa (11/2/2021).
Sementara itu, Luhut Binsar Panjaitan mengapresiasi dan mendukung upaya tersebut. Ia pun mendorong kerja sama Pertamina dan ExxonMobil dalam penerapan teknologi rendah karbon dan CCUS.
Kolaborasi tersebut, lanjutnya, akan memperkuat kemitraan strategis yang berkelanjutan antara Pertamina dan ExxonMobil yang telah terjalin sejak tahun 1970-an di sektor hulu dan hilir.
“Peluang yang dikaji kedua perusahaan di Indonesia, kombinasi dari kebijakan pemerintah yang tepat, dan kolaborasi industri berpotensi memberikan dampak yang luar biasa di sektor-sektor yang menyumbang emisi tertinggi. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di Asia Tenggara,” ujar Luhut.
Ia menegaskan, dalam rangka menghadapi perubahan iklim global, langkah-langkah pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) perlu dilakukan. Langkah ini penting untuk mengatasi peningkatan suhu global agar tidak melebih 1,5 derajat celcius.
Inisiasi di sektor hulu dan hilir
Terkait pengurangan emisi di sektor hulu, Pertamina telah menginisiasi beberapa proyek CCUS di lapangan minyak dan gas (migas) dengan potensi pengurangan karbon dioksida hingga 18 juta ton.
Salah satu pengembangan teknologi CCUS dilakukan di Lapangan Gundih, Cepu, Jawa Tengah.
Fasilitas itu terintegrasi dengan teknologi enhanced gas recovery (EGR) sehingga berpotensi mengurangi sekitar 3 juta ton karbondioksida (CO2) dalam 10 tahun dan meningkatkan produksi migas. Proyek direncanakan beroperasi pada tahun 2026.
“Penerapan teknologi CCUS merupakan bagian dari agenda transisi energi menuju energi bersih yang tengah dijalankan Pertamina. Teknologi rendah karbon ini akan mendukung keberlanjutan bisnis Pertamina di masa depan,” ujar Nicke Widyawati.
Nicke mengatakan, tantangan dalam pengembangan CCUS terletak pada nilai investasi yang besar dan nilai keekonomian yang belum ideal.
Dalam menjawab tantangan ini, lanjutnya, Pertamina terus melakukan sinergi dan kerja sama dengan berbagai perusahaan migas dunia. Dengan begitu, perseroan dapat mengakselerasi implementasi CCUS melalui transfer technology, joint development, dan peningkatan capacity building.
Bersama ExxonMobil, Pertamina akan mengembangkan penerapan teknologi rendah karbon untuk mencapai emisi net-zero dalam mempromosikan global climate goals.
Teknologi CCUS diaplikasikan melalui penerapan proses injeksi CO2 ke dalam lapisan subsurface untuk diterapkan pada depleted reservoir di wilayah kerja Pertamina, serta mengkaji potensi skema hubs and cluster.
Pertamina dan ExxonMobil juga akan mengkaji terkait berbagi data technical subsurface. Ini diperlukan untuk penilaian subsurface formation sebagai tempat menyimpan CO2 dan karakteristik di lokasi tertentu di Indonesia.
Kedua perusahaan juga akan mengkaji terkait berbagi data infrastruktur, termasuk data pipa, fasilitas, dan sumur. Hal ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan ulang infrastruktur yang ada untuk transportasi.
Aplikasi teknologi tersebut juga dapat diterapkan pada produksi blue hydrogen yang dikombinasikan teknologi CCUS.
Selain itu, aplikasi lain yang akan dikaji adalah CCUS atau pemanfaatan CO2 yang akan diubah menjadi produk bernilai tambah. Adapun penerapannya dilakukan di industri hulu dan hilir migas.