KOMPAS.com – Membangun kota berkelanjutan (sustainable cities) menjadi poin ke-11 dalam rencana aksi global Sustainable Development Goals (SDGs). Mengutip dari situs www.sdg-tracker.org, salah satu indikator kota berkelanjutan adalah pengelolaan sampah solid (solid waste) yang baik.
Namun, sampah masih menjadi isu pelik bagi negara-negara di dunia. Menurut publikasi yang dirilis World Bank pada 2019, penduduk dunia menghasilkan 2,01 miliar ton sampah solid setiap tahun. Ironisnya, sebanyak 33 persen dari jumlah tersebut tidak terkelola dengan baik.
Pengelolaan sampah menjadi lebih rumit di negara berkembang, seperti Indonesia. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), jumlah sampah nasional mencapai 67,8 juta ton pada 2020. Angka ini diperkirakan akan meningkat hingga 70,8 juta ton pada 2025.
Peningkatan volume tersebut sejalan dengan pertumbuhan aktivitas penduduk, pertambahan jumlah penduduk, dan keterbatasan tempat pembuangan akhir (TPA). Hal ini semakin diperparah dengan pengelolaan sampah yang kurang baik.
Hingga saat ini, sekitar 60 persen sampah di Indonesia dikelola dengan pola linear, yakni kumpulkan, angkut, serta buang ke TPA. Pola ini dilakukan tanpa pemilahan dan memperhatikan aspek keberlanjutan (sustainability).
Sementara itu, 30 persen sampah tidak dikelola dan mencemari lingkungan, serta hanya 10 persen yang melewati proses daur ulang.
Menurut situs Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) KLHK, jumlah sampah rumah tangga dan sejenis rumah tangga yang terkelola dari 276 kabupaten/kota di seluruh Indonesia mencapai 59,39 persen dari total timbulan sampah pada 2020.
Sementara, jumlah yang belum terkelola adalah 40,61 persen. Sebagai informasi, total timbulan sampah pada 2020 mencapai 33.186.583,20 ton.
Dampak terhadap lingkungan
Seperti diketahui, pengelolaan sampah yang tidak tepat berdampak besar terhadap lingkungan, misalnya, pencemaran laut, sungai, dan tanah. Pencemaran ini turut memengaruhi makhluk hidup di lingkungan tersebut. Pengelolaan sampah yang buruk juga menghambat pembentukan air tanah.
Sementara itu, sampah yang menumpuk di TPA membuat lingkungan sekitar menjadi kotor, gersang, dan berbau busuk. Bahkan, masyarakat yang tinggal di sekitar TPA berisiko mengalami masalah kesehatan, seperti gangguan pernapasan.
Dampak yang lebih luas lagi, sampah tersebut dapat mengeluarkan gas metana (CH4). Gas berbahaya ini tidak hanya merusak tanaman yang tumbuh di sekitar TPA, tetapi juga memberikan dampak perubahan iklim secara global.
Gas metana yang terlepas ke atmosfer akan menimbulkan efek rumah kaca dan memicu pemanasan global (global warming). Bahkan, gas ini juga berkontribusi besar terhadap bencana hidrometeorologi.
Mengutip laman konservasidas.fkt.ugm.ac.id, bencana hidrometeorologi diakibatkan oleh parameter-parameter meteorologi, seperti curah hujan, kelembapan, temperatur, dan angin.
Bencana hidrometeorologi mencakup kekeringan, banjir, badai, kebakaran hutan, El Nino, La Nina, dan longsor.
Salah satu penyebab bencana hidrometeorologi adalah perubahan cuaca yang dipicu kerusakan lingkungan secara masif, termasuk akibat pengelolaan sampah yang buruk.
Ekonomi sirkular dalam pengelolaan sampah
Demi membangun sustainable city dengan pengelolaan solid waste yang baik, pemerintah telah mengeluarkan berbagai regulasi dan instrumen kebijakan.
Salah satunya adalah Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. UU ini menjadi payung hukum bagi pengelolaan sampah di Indonesia.
Dalam UU tersebut, sampah dimasukkan dalam permasalahan nasional yang pengelolaannya perlu dilakukan secara komprehensif, sustainable, dan terpadu dari hulu ke hilir.
Dengan demikian, sampah tidak mengganggu kesehatan masyarakat dan aman bagi lingkungan. Pengelolaan sampah dapat dilakukan dengan pendekatan ekonomi sirkular.
Diberitakan Kompas.com, Rabu (20/10/21), konsep ekonomi sirkular menganut prinsip ramah lingkungan yang bertujuan memaksimalkan penggunaan material secara sirkular.
Konsep itu meminimalisasi produksi limbah dengan cara memulihkan serta menggunakan kembali produk dan bahan sebanyak mungkin secara sistemik dan berulang.
Pendekatan ekonomi sirkular menggunakan metode sharing, leasing, reusing, repairing, refurbishing, dan recycling.
Pendekatan tersebut berbeda dengan pendekatan tradisional yang menggunakan metode take-make-dispose (ambil-pakai-buang) sehingga menimbulkan pola linear (kumpulkan-angkut-buang) dalam pengelolaan sampah.
Direktur Jenderal (Dirjen) Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Diana Kusumastuti mengatakan, implementasi ekonomi sirkular mampu memperpanjang waktu pakai produk serta material sehingga dapat mengurangi sampah dan polusi.
Hal tersebut pada akhirnya akan mendukung regenerasi ekosistem secara alami dan menjadi investasi bagi masa depan.
“Penerapan konsep tersebut juga membuka peluang ekonomi dalam menstimulasi pertumbuhan bisnis dan inovasi baru serta menambah peluang usaha dan lapangan kerja di masyarakat,” ujar Diana.
Dukungan berbagai pihak
Untuk diketahui, UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah juga menekankan kontribusi seluruh pihak untuk mewujudkan pengelolaan yang komprehensif, sustainable, dan terpadu.
Pemerintah, baik pusat maupun daerah, memerlukan dukungan masyarakat dan pelaku industri, termasuk sektor perbankan.
Sebagai bagian dari bank terbesar di Asia, UOB Indonesia turut berkomitmen mewujudkan pembangunan berkelanjutan melalui UOB's Sustainable Finance Frameworks.
Kerangka tersebut terdiri dari Green Trade Finance Framework, Smart City Sustainable Finance Framework (SCSFF), Real Estate Sustainable Finance Framework, dan Green Circular Economy Framework.
Khusus pengelolaan sampah berbasis sustainable, UOB Indonesia memiliki kerangka Green Circular Economy Framework.
Executive Director IG Head Resources UOB and Property Indonesia Susanto Lukman menjelaskan, melalui framework tersebut, UOB Indonesia menyediakan pembiayaan atau refinancing, baik sebagian maupun seluruhnya, bagi perusahaan yang memenuhi syarat dan kriteria Green Circular Economy Framework.
“UOB Green Circular Economy Framework akan membantu dalam mengakses pembiayaan bisnis berkelanjutan," ujar Susanto seperti diberitakan Kontan, Rabu (7/7/2021).
Susanto menjelaskan, UOB Green Circular Economy Framework membantu menyederhanakan penerapan bisnis keberlanjutan.
Hal tersebut dilakukan dengan berbagai cara, seperti memberdayakan debitur dengan wawasan dan pengetahuan, membantu proses yang efisien dan transparan dari kualifikasi hingga pelaporan, serta memberikan solusi khusus yang memenuhi kebutuhan debitur.
Dengan dukungan solid dari berbagai pihak, termasuk perbankan, ekosistem ekonomi sirkular dapat terbentuk. Niscaya, permasalahan sampah di Indonesia dapat teratasi. Bahkan, memberikan manfaat ekonomi dan menjadi investasi bagi masa depan.
Artikel ini merupakan bagian keempat dari seri Membangun Kota Berkelanjutan hasil kerja sama KG Media dan UOB Indonesia.