Advertorial

SME Class Kompas100 CEO Forum powered by East Ventures Ajak Penonton Ngulik Bisnis Pengusaha Indonesia

Kompas.com - 13/11/2021, 07:43 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com – Pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai membuat sejumlah pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) atau small medium enterprise (SME) terombang-ambing. Permasalahan ini berpotensi menjadi bencana besar yang menghambat ketahanan dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Walau demikian, berbagai cara masih bisa dilakukan untuk tetap membangkitkan sekaligus menjaga kestabilan bisnis UMKM. Hal inilah yang menjadi pokok pembicaraan dalam sesi pra event Kompas100 CEO Forum powered by East Ventures: Ekonomi Sehat 2022 yang diselenggarakan Jumat (12/11/2021).

Sebagai informasi, Kompas100 CEO Forum powered by East Ventures merupakan forum diskusi yang menghadirkan para founder dan Chief Executive Officer (CEO) dari berbagai institusi ternama. Forum membahas isu-isu terkini terkait dunia usaha. Tahun ini, Kompas100 CEO Forum powered by East Ventures yang diselenggarakan untuk kedua belas kalinya mengangkat tema “Ekonomi Sehat 2022”.

Sesi pertama pre event Kompas100 CEO Forum powered by East Ventures: CEO On Stage yang diberi nama “SME Class” menghadirkan founder sekaligus CEO Sirclo Brian Marshal dan founder Ikat Indonesia Didiet Maulana.

Keduanya membahas mengenai bagaimana pandemi menyadarkan bahwa UMKM memiliki peran dalam menjaga ketahanan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Selain itu, beragam upaya yang dilakukan oleh keduanya untuk mendukung para pelaku UMKM.

Pada kesempatan tersebut, Brian Marshal mengisahkan, kelahiran Sirclo berawal dari perhatiannya terhadap permasalahan yang dihadapi pelaku UMKM.

Saat itu, kata Brian, masih banyak pelaku UMKM yang belum memahami cara memasarkan produk di platform online.

“Kami hadir sebagai perusahaan software yang membantu enterprise mengoptimalkan e-commerce. Produk kami adalah membuat website yang bisa diintegrasikan ke seluruh layanan untuk jualan online,” kata Brian.

Terkait peralihan ke ranah digital, menurutnya, salah satu kendala yang kerap dihadapi pelaku UMKM adalah minimnya skill. Sejumlah pelaku usaha mikro juga kerap belum mengerti mengenai hal-hal dasar untuk mempromosikan produknya, seperti pembuatan konten yang bisa membantu pengguna mengenali produk yang ditawarkan.

Tidak sedikit juga pelaku UMKM yang tidak memahami layanan integrasi yang ditawarkan pihaknya. Oleh sebab itu, tahap edukasi menjadi porsi paling besar yang harus dilakukan.

“Untuk mengatasi hal tersebut, kami memberikan on boarding kepada pelanggan selama 30 hari. Kami screening melalui person in charge (PIC) yang kami kirimkan kepada mereka. 30 hari ini adalah masa krusial bagi kami untuk melihat apakah pelaku usaha juga bisa mengembangkan produknya. Ini keunggulan kami,” ungkap Brian.

Selain memberikan on boarding kepada pelanggan, Brian juga menjelaskan bahwa pihaknya tidak menetapkan biaya program di awal kepada segmen UMKM. Dengan demikian, UMKM bisa membayar sesuai pencapaian yang diraih.

“Karena kami menyadari tidak semua UMKM memiliki modal yang besar, banyak yang terbatas. Namun, saya mengakui bahwa Sirclo mengalami peningkatan yang signifikan di masa pandemi ini. Sebab, banyak produk offline yang mengalami percepatan menjadi online,” papar Brian.

Gali budaya dari passion menjadi sebuah usaha

Narasumber berikutnya, Didiet Maulana, membagikan kisahnya dalam membangun usaha yang kini ia gawangi, Ikat Indonesia.

Ikat Indonesia, kata Didiet, mulai ia rintis pada periode 2009-2010. Saat itu hak milik kain batik masih menjadi perseteruan panas Indonesia dengan negara lain. Berkaca dari permasalahan itu, Didiet merasa bahwa hal itu merupakan pertanda bahwa masyarakat Indonesia kerap mengabaikan budayanya.

“Bila saja kita bisa mengolahnya lebih dalam dan lebih dulu, mungkin hak milik (produk kebudayaan Indonesia) tidak akan menjadi sebuah masalah. Sejak saat itu, saya tertarik mengolah salah satu budaya Indonesia, yaitu tenun ikat,” kata Didiet.

Kala itu, lanjutnya, tenun ikat belum menjadi produk yang ready to wear bagi masyarakat. Melihat peluang ini, ia pun berinisiatif untuk memperkenalkan produk budaya Indonesia, khususnya kepada generasi muda yang kerap terpapar budaya barat.

“Saya menjatuhkan pilihan ke tenun ikat karena potensi dari kebudayaan ini sangat besar. Banyak hal yang bisa saya ekspresikan melalui tenun ikat, walau banyak tantangan yang saya temukan dalam mengeksplorasi budaya ini,” kata Didiet.

Menurutnya, memperkenalkan Ikat Indonesia kepada anak muda bukan perkara mudah. Pasalnya, tenun kerap dicap sebagai material yang hanya bisa digunakan dalam acara formal oleh orang tua.

“Tantangan kedua, kami menemukan bahwa anak muda tidak tertarik untuk meneruskan bidang membatik atau menenun. Oleh karena itu, kami bekerja sama dengan pihak pemerintah daerah (pemda) dan sekolah agar menenun dan membatik dapat menjadi ekstrakurikuler bagi mereka,” ungkap Didiet.

Melalui upaya tersebut, ia berharap, penenun dan pembatik dapat menjadi profesi pilihan bagi generasi muda di depan.

Didiet juga berpesan agar generasi muda tidak takut memulai sebuah usaha. Menurutnya, ketika memulai usaha, masyarakat harus meyakini hal yang dilakukannya merupakan passion, bukan sekadar mengejar keuntungan semata.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com