Advertorial

Tak Melulu Buntung, Sampah Plastik pun Bisa Mendulang Untung

Kompas.com - 23/11/2021, 09:32 WIB

KOMPAS.com – Sampah plastik menjadi persoalan serius yang tengah disoroti negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.

Dalam penelitian yang dilakukan Jenna Jambeck dari Universitas Georgia, Amerika Serikat, pada 2016, Indonesia menjadi negara penghasil sampah plastik terbanyak kedua setelah China.

Sementara, menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kementerian LHK), Indonesia menghasilkan 67,8 juta ton sampah pada 2020.

Berdasarkan jenisnya, 39,8 persen sampah tersebut terdiri dari sisa makanan, 17 persen plastik, 14,01 persen kayu atau ranting, dan 12,02 persen kertas atau karton. Kemudian, sisanya merupakan sampah logan, kain, kaca, karet, kulit, dan jenis lain.

Data yang dirilis Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018, sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton per tahun. Dari angka tersebut, sebanyak 3,2 juta ton sampah plastik dibuang ke laut.

Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, plastik merupakan kategori sampah anorganik (undegradable). Artinya, sampah ini sulit membusuk dan tidak dapat terurai.

Sifat itu yang membuat sampah plastik memberikan dampak buruk, baik bagi lingkungan maupun kesehatan dan kesejahteraan manusia.

Sampah plastik, baik yang berbentuk utuh maupun sudah hancur menjadi partikel kecil (mikroplastik), mengandung bifenil poliklorinasi dan pestisida.

Zat berbahaya tersebut dapat mengontaminasi air dan tanah serta merusak habitat makhluk hidup, seperti hewan laut, ikan, dan tumbuhan.

Saat ikan, sayur-sayuran, dan buah-buahan dikonsumsi manusia, zat berbahaya yang terbawa pada makhluk hidup itu akan turut masuk ke dalam tubuh. Hal ini berpotensi menimbulkan sejumlah masalah kesehatan, seperti kanker, kerusakan organ, serta gangguan pertumbuhan janin dan anak.

Sementara itu, jika sampah plastik dibakar, zat beracun yang ada di dalamnya dapat terlepas serta mencemari udara, air, dan tanah.

Dampak yang ditimbulkan akibat aktivitas tersebut berupa gangguan pernapasan dan penglihatan, korosi pada dinding logam, serta kerusakan cat pada bangunan. 

Pengelolaan sampah plastik

Untuk menangani masalah sampah plastik di Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan berbagai regulasi dan kebijakan.

Dalam UU Nomor 18 Tahun 2018, misalnya, sampah dimasukkan dalam permasalahan nasional. Ini berarti, pengelolaan sampah perlu dilakukan secara terpadu dan komprehensif dari hulu ke hilir.

Demi mengurangi penggunaan plastik, pemerintah melalui Kementerian LHK juga telah mengeluarkan surat edaran Nomor S1230/PSLB3-PS/2016.

Melalui edaran tersebut, pemerintah menerapkan kebijakan penggunaan kantong plastik berbayar di 22 kota di Indonesia. Kementerian LHK menetapkan harga Rp 200 untuk setiap kantong plastik yang digunakan.

Selain itu, pemerintah juga menargetkan dapat menurunkan sampah plastik di laut hingga 70 persen pada 2025.

Ilustrasi sampah plastik mikro yang mencemari laut.Dok. SHUTTERSTOCK Ilustrasi sampah plastik mikro yang mencemari laut.

Perencana Ahli Madya Direktorat Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Erik Armundito mengatakan, target tersebut telah tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Plastik.

“Target tersebut akan dicapai dengan aksi penanganan sampah laut," jelas Erik seperti diberitakan Kompas.com, Selasa (16/11/2021).

Tak hanya sampah laut, pemerintah juga mempunyai kebijakan dan rencana strategi nasional (jakstranas) dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sejenis rumah tangga yang diatur dalam Perpres Nomor 97 Tahun 2017.

Melalui jakstranas, pemerintah menargetkan 30 persen pengurangan sampah dan 70 persen pengelolaan sampah pada 2025.

Mendulang untung dengan konsep ekonomi sirkular

Seluruh regulasi dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkait pengelolaan sampah plastik tak hanya bertujuan mengatasi permasalahan lingkungan.

Lebih dari itu, pengelolaan sampah plastik secara terpadu dan komprehensif juga dapat mendulang keuntungan, terlebih jika dilakukan dengan penerapan konsep ekonomi sirkular.

Wakil Menteri LHK Alue Dohong menyatakan, dengan mengedepankan prinsip keberlanjutan (sustainability), konsep ekonomi sirkular sangat berpotensi dalam menyelesaikan persoalan sampah.

Sebagai informasi, konsep ekonomi tersebut menganut prinsip ramah lingkungan yang bertujuan memaksimalkan penggunaan material secara berulang.

Konsep itu meminimalisasi produksi limbah dengan cara memulihkan serta menggunakan kembali produk dan bahan sebanyak mungkin secara sistemik dan berulang.

Dengan penerapan ekonomi sirkular, sampah dapat diolah secara berkelanjutan menjadi sumber daya yang membantu pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Ilustrasi ekonomi sirkularDok. SHUTTERSTOCK Ilustrasi ekonomi sirkular

Diberitakan Kompas.id, Selasa (10/11/2020), Ketua Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) Christine Halim dalam webinar bertajuk ”Memperkuat ’Waste Management’ untuk Mendukung ’Circular Economy’”, menyampaikan bahwa dalam bisnis daur ulang, para pemulung menjadi pihak yang sangat strategis karena mereka merupakan pengumpul sumber bahan baku.

Plastik yang dikumpulkan pemulung akan dipisahkan sesuai dengan jenis kemudian disterilkan sebelum dibawa ke penggiling. Hasil penggilingan sampah lalu disalurkan ke perusahaan untuk dijadikan sintetik fiber atau bahan baku pembuatan barang lain.

Tak hanya berfokus pada konsumen dan pemulung sebagai sektor informal, pengelolaan sampah plastik pun membutuhkan ekosistem ekonomi sirkular yang kukuh.

Oleh sebab itu, pemerintah meminta produsen untuk bertransformasi menuju bisnis yang lebih sustainable.

Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah membuat peta jalan dalam mengurangi sampah melalui pembatasan daur ulang dan pemanfaatan kembali kemasan plastik.

Tak hanya itu, pemerintah juga terus menggenjot pembangunan bank sampah di Indonesia. Sebagai informasi, menurut data Kementerian LHK, hingga 2021, jumlah bank sampah di Indonesia tercatat sebanyak 11.556 unit. Angka ini tersebar di 363 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia.

Hingga Juli 2021, bank sampah tersebut memiliki 419.204 nasabah dan mengantongi omzet sekitar Rp 2,8 miliar per bulan. Selain itu, bank sampah ini juga berkontribusi dalam mengurangi 2,7 persen total timbulan sampah nasional.

Menurut Christine, seluruh upaya pengelolaan sampah plastik tersebut dapat menekan produksi plastik dari bahan baku asli, menghemat energi, dan mencegah plastik berakhir di tempat pembuangan akhir yang bisa mencemari lingkungan.

Sementara dari sisi finansial, daur ulang dapat dijadikan sumber pemasukan ekonomi bagi masyarakat.

Langkah tersebut juga dinilai dapat membantu pemerintah melakukan penghematan devisa karena bisa menekan dan mengurangi impor limbah plastik untuk didaur ulang.

Dukungan berbagai pihak

Demi pengelolaan sampah plastik yang berkelanjutan tercipta, pemerintah membutuhkan kolaborasi dengan berbagai pihak, mulai dari masyarakat, organisasi, media, akademisi, hingga pelaku industri, termasuk sektor perbankan.

Sebagai salah satu bank terbesar di Asia, UOB turut berkomitmen mewujudkan pembangunan berkelanjutan melalui UOB's Sustainable Finance Frameworks.

Kerangka tersebut terdiri dari Green Trade Finance Framework, Smart City Sustainable Finance Framework (SCSFF), Real Estate Sustainable Finance Framework, dan Green Circular Economy Framework.

Khusus pengelolaan sampah plastik berbasis sustainable, UOB memiliki kerangka Green Circular Economy Framework.

Executive Director IG Head Resources and Property UOB Indonesia Susanto Lukman menjelaskan, melalui framework tersebut, UOB Indonesia menyediakan pembiayaan atau refinancing, baik sebagian maupun seluruhnya, bagi perusahaan yang memenuhi syarat dan kriteria Green Circular Economy Framework.

“UOB Green Circular Economy Framework akan membantu dalam mengakses pembiayaan bisnis berkelanjutan," ujar Susanto seperti diberitakan Kontan, Rabu (7/7/2021).

Susanto menjelaskan, UOB Green Circular Economy Framework membantu menyederhanakan penerapan bisnis keberlanjutan.

Hal tersebut dilakukan dengan berbagai cara, seperti memberdayakan debitur dengan wawasan dan pengetahuan, membantu proses yang efisien dan transparan dari kualifikasi hingga pelaporan, serta memberikan solusi khusus yang memenuhi kebutuhan debitur.

Dengan dukungan solid dari berbagai pihak, termasuk perbankan, pengelolaan sampah plastik tetap dapat mengedepankan aspek kesehatan bagi masyarakat dan keamanan bagi lingkungan. Bahkan, dapat menghasilkan keuntungan dengan menggunakan pendekatan ekonomi sirkular.

Artikel ini merupakan bagian keenam dari seri Membangun Kota Berkelanjutan hasil kerja sama KG Media dan UOB Indonesia.

- -

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com