Advertorial

Waspadai Kejahatan Siber di Ruang Digital dengan Memahami Etiket dalam Teknologi

Kompas.com - 30/11/2021, 09:52 WIB

KOMPAS.com – Saat ini, masih banyak masyarakat yang mudah terpapar informasi tidak benar. Hal ini terjadi akibat rendahnya tingkat pemahaman dan kemampuan mengolah informasi, terutama yang berasal dari internet. Kondisi ini makin memprihatinkan mengingat pengguna internet terus meningkat.

Menyikapi hal tersebut, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) pun menggelar webinar bertajuk "Tips dan Trik Menghindari Kejahatan di Ruang Digital", Senin (22/11/2021).

Webinar yang merupakan seri dari literasi digital #MakinCakapDigital tersebut menghadirkan sejumlah narasumber, yaitu founderBombat.Media Pradna Paramita, aktivis kepemudaan lintas iman Novita Sari, CEO Pena Enterprise Aidil Wicaksono, dan dosen Universitas Budi Luhur Jakarta Andrea Abdul Rahman Azzqy.

Masing-masing narasumber membahas topik seputar digital, seperti digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety.

Webinar dibuka dengan topik dari Pradna, yakni tips menghindari kejahatan digital. Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah tidak mudah tergoda dengan barang yang dijual sangat murah di internet.

“Cek rekam jejak si penjual, cek nomor telepon penjual, dan pilih e-commerce tepercaya untuk berbelanja online. Terakhir, simpanlah bukti transaksi," ujarnya dalam keterangan pers yang diterima Kompas.com, Senin (29/11/2021).

Selanjutnya, topik dilanjutkan oleh Novita. Ia menambahkan bahwa masyarakat harus mewaspadai kejahatan siber yang kerap terjadi di internet. Misalnya, pelanggaran privasi, pelanggaran kekayaan intelektual, sabotase dan pemerasan siber, serta akses tanpa izin ke sistem, layanan komputer, dan konten ilegal.

"Salah satu penyebab tingginya angka kejahatan siber lantaran tinggi pula aktivitas masyarakat di media sosial selama pandemi Covid-19," ujarnya.

Setali tiga uang, Andrea juga mendefinisikan kejahatan kejahatan siber sebagai aktivitas ilegal dalam hal apapun yang melibatkan komputer, perangkat digital, atau jaringan komputer. Misalnya, rekayasa sosial, eksploitasi kerentanan perangkat lunak, dan serangan jaringan.

Kejahatan tersebut, kata Andrea, termasuk digital scamming. Adapun digital scamming merupakan segala bentuk tindakan yang sudah direncanakan dengan tujuan mendapatkan material berupa uang, data, dan informasi dengan cara menipu.

Novita kembali menjelaskan bahwa diperlukan etika internet atau biasa disebut netiquette untuk mencegah hal tersebut. Netiquette adalah kode perilaku yang baik dan sebaiknya ada di internet.

Pasalnya, lanjutnya, memperhatikan dan melakukan perilaku yang baik di dunia digital bukan hanya wajib. Ia menilai bahwa hal ini adalah tanggung jawab kita semua.

Etiket dalam masyarakat berbeda dengan etiket dalam teknologi. Dalam masyarakat, etiket merupakan sebuah kode perilaku sopan yang diperlukan untuk diperhatikan dan dilakukan sebagai warga yang baik.

Sementara, etiket dalam teknologi merupakan sebuah kode perilaku yang diperlukan untuk diperhatikan dan dilakukan saat berinteraksi dengan orang lain secara online.

“Kita semua manusia. Walaupun berada dalam dunia digital, jadi ikutilah aturan seperti dalam kehidupan nyata,” kata Novita.

Pencegajan kejahatan siber juga bisa dilakukan dengan menumbuhkan digital culture di masyarakat. Aidil menjelaskan, digital culture merupakan kemampuan individu dalam membaca, menguraikan, membiasakan, memeriksa, dan membangun wawasan kebangsaan, nilai Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari.

Digital culture juga merupakan prasyarat dalam melakukan transformasi digital. Sebab, penerapan budaya digital dititikberatkan pada perubahan pola pikir (mindset) masyarakat agar dapat beradaptasi dengan perkembangan digital. Orang yang bertahan adalah yang mampu menyesuaikan dan beradaptasi dengan lingkungan.

“Orang yang bertahan dalah (orang) yang mampu menyesuaikan dan beradaptasi dengan lingkungan,”tutur Aidil.

Maka dari itu, ia melanjutkan, pengguna perlu memiliki karakter mindful communication. Jika tidak, mereka berpotensi mengalami kesulitan berkomunikasi dan berpotensi menyinggung perasaan orang lain. Bahkan, dapat menyakiti lingkungan sosialnya secara umum.

Di sesi tanya jawab, peserta bernama Helwi Wulandari bertanya mengenai cara menyikapi antara kebebasan dan toleransi digital.

"Sesuai dengan etika digital, kita sendiri yang perlu menahan diri untuk tidak membagikan data-data sensitif kepada orang lain, terutama terkait dengan keamanan digital. Misalnya, informasi nama ibu kandung. Jadi, intinya, kita sendiri yang memang perlu untuk memagari diri sendiri," jawab Pradna.

Sebagai informasi, webinar tersebut merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital yang didukung oleh Kemenkominfo dan terbuka bagi siapa saja yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital.

Untuk itulah, penyelenggara membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada agenda webinar selanjutnya melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten dan @siberkreasi.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com